Mohon tunggu...
Dila AyuArioksa
Dila AyuArioksa Mohon Tunggu... Seniman - Motto Lucidity and Courage

Seni dalam mengetahui, adalah tahu apa yang diabaikan -Rumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mak Lerong Korong

18 Januari 2020   12:43 Diperbarui: 19 Januari 2020   12:38 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Embun diatas dedaunan pun sudah hilang diterkam matahari pagi. Semua jendela terbuka lebar, dewa angin singgah menyusuri ruangan dalam rumah kayu. 

Hingga merayuku untuk keluar dari kamar dan melihat suramnya rabu. Rabu adalah warna abu. Tak ada yang istimewa semua terasa hambar bagiku.

Ibuku selalu berpesan untuk tidak keluar rumah setiap hari. "Sunah, jangan sampai ibuk memarahimu  kayak minggu lalu".

Omelan ibu sebelum berangkat ke sawah yang pasti kudengar ketika melanggar aturan ibuk. Kadang saya pun merasa kesal jika ibuk selalu mengurungku.

Ibuk bekerja ke  sawah dari pagi sampai sore. Jarang sekali ibuk di rumah . Palingan kalau hujan  Tapi ibukku memang orang yang tidak pernah bisa diam. Selalu  menyibukan diri.

Ibukku sangat akrab dengan semua tetangga. Tapi saya dilarangnya untuk berkeliaran di sekitaran rumah. Katanya lagi " anak perempuan itu, tidak boleh berkeliaraan keluar rumah" sebelum tersirat niat dihatiku untuk bermain kerumah sahabat kecilku.

Aku penasaran dengan kabar Ides setelah kelahiran anak pertamanya. Terakhir Saya melihat Ides ketika kandungannya sudah sembilan. Ides menetap di rumah mertuanya, dan baru kembali ke kampung dua minggu sebelum melahirkan.

Ides melahirkan di rumah. Karena masyarakat kampungku lebih  percaya dengan dukun beranak untuk proses melahirkan dibandingkan sama bidan.

***
Masih tergiang ditelingaku kejadian suara Lelaki memanggil mak Lerong di tengah malam "Mak, Mak Lerong bangunlah mak, Ides ketubannya pecah, Mak" suara ketokan Pintu yang sangat kencang

Saya terbangun dan melangkah ke jendela kamar, berupaya mencari lubang kecil di jendela untuk bisa melihat keributan di rumah Mak Lerong.

"Ides, Ides anak siapa?" Jawab mak Lerong dengan binggung ketika memegang lampu pijar ditangganya

Bapak Ides, mulai panik melihat mak Lerong yang mulai pikun " tidak perlu bertanya Mak, langsung sajakerumah Saya, cepat ambil kebutuhannya mak, Saya tunggu mak di sini"

Langsung mak Lerong masuk kerumahnya yang berpintu kayu itu, tidak lama kemudian mak Lerong muncul membawa sebungkus kain dan tas lusuh yang selalu disandangnya. 

Mak Lerong naik sepeda Bapak Ides, dengan laju bapak Ides menggayuh sepeda unta tersebut. Bunyi rantai sepeda pun masih terdengar olehku ketika lampu pijar mak Lerong hilang lenyap dalam kegelapan.

***
Penasaran ku dari tengah malam sampai siang ini belum terjawab. Kabar keadaan Ides dan anaknya masih bisu  bagiku.

Berhubung sekarang ibuk ke sawah, jadi Saya bisa keluar rumah dan pergi kerumah Ratih untuk menyakan kabar Ides.

" Asalamualaikum Tih, Ratih"
Tidak Ada jawaban dari Ratih, akhirnya saya memilih untuk pergi kembali pulang.
Sebelum masuk ke rumah, Saya melihat mak Lerong sedang duduk di pintu rumahnya, sedang mengunyah sirih.

 Wajahnya yang keriput, rambut ubannya yang tertutup dengan selendang kain merah yang sudah pudar. Selendang tersebut tidak pernah lepas dari kepala mak Lerong.

Tidak sanggup bertanya ke mak Lerong Saya pun langsung masuk ke rumah dan mengunci pintu rumah.

***
Mak Lerong tinggal seorang diri di Rumah kayu yang sudah dimakan anai. Atap rumah yang beberapa bocorpun tidak membuatnya ingin  beranjak pindah dari rumah tersebut.

Kadang saya Kasihan melihatnya dan ingin sekali menolong mak Lerong, namun ibuku selalu melarang untuk pergi ke rumah Mak Lerong.

Terkadang perhatian ibuk membuatku terpenjara dalam bertindak.

***
Kuambil kain rajut di tumpuan meja yang masih belum siap menjadi sebuah tas kecil. Duduk diatas kayu bambu buatan alm. Bapak membuatku terasa nyaman dan merasakan kehangatan alm. Bapak.

Ketika sedang asik merajut, kosentrasiku sempat terganggu ketika seorang tamu datang mengetuk Pintu "assalamualaikum mak, assalamualaikum mak"
Dengan bergegas Saya pun melangkah mendekati Pintu " ya buk," Pintu pun kubuka. Secara langsung saya menatap tamu berwajah pucat tersebut dari atas sampai bawah. 

Begitupun dengan tamu yang melihat kebingungan kepadaku. Kami saling terdiam sesaat.

"Kamu, cucu mak dukun ya?"
Dengan tegas Saya menjawab " bukan buk, Saya tetangganya, rumah Mak Lerong di belakang buk"  menunjukan arah ke rumah Mak Lerong.

Wanita hamil muda tersebut langsung bergegas Tanpa mengucapkan terimakasih kepadaku.

" Kadang manusia itu memang Sombong, mengucapkan kata terimakasih saja tidak bisa" omelku menuju ke kursi bambu.

Wanita Sombong tadi, membuat kosentrasiku hilang. Akhirnya kain rajutan  tadi, saya simpan dalam keranjang wol. Kulangkahkan kaki untuk kembali ke kamar untuk tidur sekejap. 

Ketika ingin memejamkan Mata saya teringat dengan tamu Mak Lerong. Saya pun mengintip dari sela-sela jendela kamar, agar tidak diketahui mak Lerong yang memiliki Mata tajam walaupun sudah berumur 80 tahun.

Dari kejauhan saya melihat pintu rumah  Mak Lerong  terbuka lebar, keadaan gelap ruangan mak Lerong, membuatku susah untuk mengamati keadaan suasana di dalam.

Seperti bisikan perintah yang datang ke telinga mak Lerong. Agar mak Lerong menutup Pintu rumah.

Langkah kaki mak Lerong menuju pintu membuatku ketakutan. Mata tajam mak Lerong langsung tertuju pada sela jendela dimana aku mengintip Mak Lerong.  Jantungku berdebar karena ketakutan,  langsung Saya tarik jendela dan mengunci erat dari dalam.

Sungguh tatapan mak Lerong membuatku mengigil. Memang benar kata orang, kalau mak Lerong memiliki kekuatan magis yang kuat.
Setelah kejadian itu Saya jadi trauma untuk mengintip kegiatan mak Lerong dengan pasiennya.

****
Tiga Hari berlalu. Tidak Ada yang berubah. Ibuk masih pergi ke sawah untuk bertani, dari pagi  sampai sore. Keadaan kampung yang selalu ramai oleh anak-anak kecil yang berkeliaran bermain lari-larian. 

Suara tetangga yang tidak bisa diam memarahi anaknya
 Terdengar suara wanita parubaya mengomeli suaminya yang masih  tidur. "Malu sama  ayam yang sudah mencari makan dari subuh"
Hiruk pikuk kampungku tidak dipedulikan oleh mak Lerong .

Seperti biasanya mak Lerong duduk di pintu rumah sambil mengunyah sirih. wajar saja giginya bewarna hitam dan mulut penuh dengan warna merah darah. 

Ampas sirih yang selalu dibuang didepan halaman rumah mak Lerong membuatku tidak bernafsu untuk makan pagi ini, setelah membuka jendela kamar. 

Lirikan Mata mak Lerong memaksaku untuk senyum padanya.

Pohon tua yang berada di samping rumah mak Lerong. Menggambarkan kepribadian mak Lerong  tanpa dedaunan apalagi buah segar. 

Hanya bersisa ranting-ranting lapuk dan batang pohon yang penuh dengan bercak-bercak putih. Beberapa burung gereja hinggap didahan ranting kemudian kembali terbang

***
Ketika menyapu lantai teras rumah, Saya terkejut melihat seorang wanita pucat yang berjalan seorang diri. Saya merasa tidak asing dengan wanita itu. Tapi saya merasakan Ada yang aneh dari wanita muda itu.

Saya pun mengamatinya sambil berpikir keras tentang sosok wanita itu. Akhirnya saya sadar bahwa wanita itu adalah wanita yang mengetok pintu rumah saya dua minggu yang lalu. Dalam kondisi hamil. 

Tapi kenapa perut wanita itu bisa hilang. Apa yang terjadi denganya? Tidak mungkin dia siap melahirkan.

"Jangan-jangan dia menggugurkan kandungannya" suara batinku bergejolak ketakutan.

***

Malam sudah semakin tua. Suara-suara binatang malam beriring dengan nyanyian kesedihan.  Lampu pijar dan cahaya redupnya tidak bisa menyihir mataku agar tidur.  Malahan otakku berpikir keras mengingat kejadian dua minggu  yang lalu, dan memastikan keraguan dalam diri.

Kosong tak berarti pikiran malam ini. akhirnya, Saya beranikan kembali untuk mengintip di lubang kecil jendela kamar dan memandang ke arah rumah mak Lerong.

Tidak Ada yang aneh dari rumah tersebut. Tapi tidak lama kemudian Saya mendengar langkah orang berjalan. Terdapat 1 orang laki-laki dan satu orang perempuan. Mengetuk Pintu rumah Mak Lerong. 

Sembari menunggu mak Lerong keluar rumah. Wanita tersebut duduk di teras rumah mak Lerong dengan keadaan lesu dan menangis tersedu-sedu. Ingin rasanya aku menolong wanita yang seumuran dengan diriku itu.
Sikap sepasang manusia  itu memang aneh. 

Apalagi  melihat tindakan laki-laki yang bersama wanita itu, dia selalu menarik wanita itu untuk berdiri. Wanita yang tak berdaya itu ingin memaksa pasanganya untuk kembali pulang.

Pertengkaran hebat pun terjadi. Ketika laki-laki itu menarik wanita itu dengan keras, sehingga membuanya  terjatuh di lantai.

Laki-laki itu menutup mulut wanita yang malang. Tiba-tiba muncul mak Lerong Dan menyuruh tamu masuk. Pintu dikunci mak Lerong.

"Sialan, ini tidak bisa dibiarkan" geramku dalam kamar redup
Tapi, Saya juga takut dengan mak Lerong itu jangan kan menemuinya menatap matanya yang cekung , sudah membuatku ketakutan.

Sembari duduk diatas kasur dan berjalan mondar mandir, menunggu tamu Mak Lerong kaluar. Saya dikejutkan dengan suara teriakan wanita kesakitan. Langsung saya mengintip. 

Namun pintu mak Lerong masih terkunci.
Ingin rasanya aku membangunkan ibu. 'aneh kenapa tidak Ada warga yang terbangun mendengar teriakan wanita itu"
Sontak kaki Saya melangkah menuju kamar ibuk, tapi Saya ragu untuk membangunkan ibuk.

Karena ibuk selalu berpesan "jangan ikut campur urusan orang lain Nah, urus saja dirimu, paham"  cerewet ibuk kalau Saya butuh pendapatnya.

Akhirnya kuundurkan langkah kaki kembali menuju ke kamar.  Bersandar di dinding kamar dan menghentakan kepala ke dinding untuk mencari solusi.

Tanpa pikir panjang Saya putuskan untuk pergi ke rumah Mak Lerong. Kegelapan malam telah menjadi saksi keberanianku. Langkah kaki pasti menginjak teras rumah mak Lerong yang tidak pernah Saya datangi setelah kematian ayah 2 tahun yang lalu. Bau amis rumah Mak Lerong sangat tajam. Membuatku menahan napas. 

Kucoba mendengar lebih dekat. Teriakan wanita itu semakin kencang. Tangan ini langsung mendorong pintu rumah Mak Lerong. Namun hanya ruangan gelap yang kudapati. Tak seorang didalam rumah tersebut. 

Kakiku menggigil dan mulutku kaku untuk memanggil mak Lerong.
Muncul cahaya dari kegelapan yang semakin dekat semakin terang. Tak sadar mak Lerong tepat dihadapanku. Diri ini mati rasa.

***
Besok paginya saya terbangun dalam keadaan kepala berat untuk diangkat. Seorang wanita membawakan air hangat mendekatiku. "Minum air hangat ini, Nah"
" Bu, kenapa kepala ku pusing" suara kupun juga berubah serak pagi ini
"Badanmu panas, tidurlah dulu" ibuku mengambil kompres diatas meja samping kasurku
Saya berupaya duduk namun Tak mampu. 

Ibuku pun membatuku untuk duduk agar mudah untuk minum.

Kenapa tubuh ini mendadak sakit. Padahal kemaren Saya masih sehat dan tidak Ada tanda-tanda akan datang penyakit. "Memang aneh" gusarku kebingungan.

****
Suatu hari ibuku menghilang dari rumah. Tidak biasanya ibu kesawah Dan meninggalkan semua atribut yang selau ditententeng menuju ke sawah. "Buk, dimana Buk?. Setelah mondar mandir ruangan depan Dan belakang Saya tidak mendengar suara ibuk. 

Kemudian Tak sengaja Saya melihat keluar dari jwndela kamar. Setelah diamati dengan serius akhirnya Saya melihat sesuatu kepunyaa ibuk. "itukan sendal ibuk", ngak biasanya ibuk bertamu kerumak mak Lerong, pasti Ada yang tidak beres". 

Tidak mau ikut campur urusan ibuk. Jadi Saya hanya menunggu ibuk di rumah.  Perasaanku mulai tidak enak, melihat keberadaan ibuk di rumah Mak Lerong. Selang beberapa waktu kemudian  ibuk datang dengan kondisi butu-buru. "Ada apa bu?" Saya mengikuti ibuk ketika dia mengambil air di dalam rumah. 

Ibuk tidak menjawab. Setelah air diambil ibuk langsung kembali ke rumah Mak Lerong. "Kami tunggu sini, jangan. Ikut campur urusan orang lain" pesan ibuk setelah sampai di depan pintu.

Ibuk pun memanggil tetangga yang lain untuk masuk ke rumah Mak Lerong. Akhirnya salah satu warga keluar dan menutup hidungnya. Saya mulai binggung dan kepanikan melihat ekspresi dari tetangga Saya itu. Karena penasaran Saya menunggu tetangga lewat dihadapan rumahku." Buk, apa yang terjadidengan mak Lerong buk" tanyaku Ibuk itu menggelengakn kepala " aduh, Nah, perut ibu mual. Setelah melihat keadaan mak Lerong .

"Memang Ada apa dengan mak Lerong buk"
"Dia mengalami kudis yang parah, sampai-sampai berulat" ibuk itu mengeluarkan air lidahnya Dan pergi menutup mulut
"Astafirullah , apa benar itu buk"
Pantasan dalam 2 Minggu ini Saya jarang melihat mak Lerong dan tamu yang datang keruamhnya.

****
Simpang siur kabar datang ke telinga Saya mendengar berita buruk tentang mak Lerong. Ada yang bilang mak Lerong butuh tumbal, hukum karma, pembalasan nujuman untuk mak Lerong Dan masih banyak lagi. 

Sampai akhirnya salah satu warga menghubugi anak mak Lerong yang dirantau. Anak itulun kembali ke kampung dan merawat  mak Lerong. Sudah 10 tahun anak mak Lerong di rantau.

 Tidak Ada kabar tentang hubungan harmonis mak Lerong dengan anaknya.
Dulu ketika saya kecil mak Lerong tetal dengan pekerjaan nya mengobati orang, membantu melahirkan dan masih banyak kepandaian mak Lerong dalam hal gaib yang tidak banyak Saya ketahui. 

Untunglah anak mak Lerong mau merwat mak Lerong yang sakit parah tersebut.
Waktu berputar Kian cepat. Mak Lerong tetap dengan kondisi yang semakin parah. Beberapa pengobatan pun dilakukan namun tidak Ada yang berhasil.

 Sampai akhirnya di sarankan oleh satu warga untuk berobat ke buya Zainudin. Seorang buya yang juga bisa mengobati orang sakit.

Buya itu datang dan melakukan dialog dengan mak Lerong. Awalnya mak Lerong menolak kedatangan buya tersebut " putih dan hitam tidak bisa bersama" ungkapan itu selalu disampaikan mak Lerong kepada buya dengan suara yang  terbata-bata
Tetap saja buya mendekatinya untuk membantu mak Lerong
"Mak, tinggalkan yang hitam, lahirkanlah yang putih"

"Hitamku sudah menjadi diriku, putih bukan jati diriku"

"Namun putih merindukan mak Lerong untuk kembali ke ke jalan yang benar"

"Pergilah buya, aku tidak butuh bantuanmu" ungkap mak Lerong dengan kasar"

"Aku akan sembuh dengan caraku sendiri"

" Kedatanganku kesini atas izin tuhan mak"

"Tuhan" mak Lerong mengigil saat mendengar nama tuhan

Dia pun meneteskan air Mata, atas apa yang telah di perbuat mak Lerong semasa hidupnya. Dialog panjang antara mak Lerong dan buya berlangsung.
Sampai akhirnya buya keluar dalam ruangan mak Lerong yang sangat gelap.

Buya pun memerintahkan beberapa ibuk-ibuk yang datang untuk membuka seluruh jendela rumah Mak Lerong. 

"Biarkan cahaya masuk kedalam rumah ini''
Ibuk-ibuk pun membuka pintu yang sudah berdebu Dan susah untuk dibuka karena faktor engsel pintu yang berkarat

***
"Apakah Sulin sudah dihubungi?" Tanya Buya pada pengunjung

"Sudah buya, kemungkinan besok dia baru sampai kesini"
"Susah kalau anak seorang diri, jauh dari rantau.

 Kalau meninggalkan orang tua seorang diri di kampung"
Warga pun melakukan perbincangan kecil atas keinginan besar sulin untuk pergi merantau.

Terdengarlah oleh buya bahwa salah satu warga mengatakan bahwa mak Lerong pernah memaksa sulin untuk mengugurkan kandungan anaknya.

Sebab mak Lerong membutuhkan tumbal untuk menambah kekuatan gaibnya.

 Sulin memberontak pada malam itu. Lebih memilih lari di tempat suaminya belerja di Kota yang jauh dari kampung. Semenjak itu Sulin tidak pernah mendatangi mak Lerong yang semakin Hari semakin menua.

Buya pun berupaya memahami permasalahan yang dialami mak Lerong.

"Sudah ibuk-ibuk jangan berburuk sangka dulu doakan saja Mak Lerong dapat cepat sembuh"

 kemudian buya pergi keluar rumah Mak Lerong sambil berpikir.

Tak lama kemudian Mak Lerong memanggil Buya untuk mendekati nya. Buya pun langsung duduk disamping Mak Lerong yang terbaring. 

"Buya, aku memang berdosa selama ini, aku akan bisa pergi dengan ikhlas jika Buya mau membantuku" dengan suara yang terbata-bata

"Jangan kwartir mak, saya akan membantu sebisanya"
Mak Lerong tersenyum kaku dan menunjuk ke sebuah lemari tua, "tolong, buang botol yang didalam lemari itu"
Buya tahu maksud Mak Lerong. 

Langsung mengambilnya dan melihat isi yang dalam botol dengan tertegun. "Astagfirullah, bersekutu dengan jin, tidak akan mendapatkan faedah, yang ada hanya mudarat bagi pengikutnya"

Buya menutupi botol itu dengan serbannya setelah di bacakan doa-doa pengusir jin. Botol dibuang Buya dan Mak Lerong pun menghembuskan napas terakhir. Apapun itu dalam botol kami tidak tahu isinya. Sekarang Mak Lerong telah pergi dan gugur bersama dedaunan kering.

Pergi untuk tidak kembali. Kesendirian mu selama ini telah membuatnya bersekutu dengan hal gaib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun