Mohon tunggu...
Sophan Ajie
Sophan Ajie Mohon Tunggu... Penulis - Pengajar&Penulis

Biasa dipanggil Ophan atau Ajie adalah seorang pengajar, sutradara, dan pembuat ilustrasi cerita.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kepemimpinan di Indonesia dari Filosofi Militer Prabowo Subianto

10 Agustus 2021   19:40 Diperbarui: 10 Agustus 2021   20:08 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini akan saya buka dengan pernyataan, bahwa niat saya mengulas buku terbaru karangan Prabowo Subianto adalah memberikan tanggapan kebangsaan dari buku yang ditulis oleh salah satu orang paling berpengaruh di Indonesia. Tanggapan kebangsaan saya kiranya menjadi lebih netral, karena yang dibayangkan saat saya menulis artikel ini adalah sebuah ruang kelas yang besar, dimana di depan saya ada ratusan anak generasi Z yang sedang mendengarkan paparan saya. Generasi Z yang sebagian mereka kaya raya dalam gagasan internasional, namun perlu disadari juga jika mereka perlu diberikan subsidi literatur nasional yang kekinian, ‘zaman now’. Perlu rasanya mereka, kids zaman now, mendapat referensi kekinian perihal kebangsaan. 

Buku dengan judul Kepemimpinan Militer: Catatan Dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto, seperti membawa saya berkeliling masuk ke suatu masa dan alam pikiran jenderal bintang tiga yang sudah tiga kali mencalonkan diri sebagai presiden Indonesia. Gaya militer yang sering kali diumpamakan dengan serba keras, ‘main perintah’, mendikte anak buah, dipatahkan dalam gaya penulisan dan sudut pandang tulisan yang ditawarkan sang penulis yaitu, Prabowo Subianto. Gaya penulisan yang sederhana, lugas, dan saya rasa dapat dibaca oleh semua kalangan, latar belakang pendidikan, sosial, agama, budaya, dan lintas generasi. Beliau dengan hati dan lapang dada hendak berbagi cerita kepada para pembaca melalui refleksi-refleksi intelektual dan batinnya, sekaligus bersaksi pada saat bertemu dengan para tokoh besar Republik Indonesia dan bahkan dunia. Pertemuan-pertemuan, peristiwa-peristiwa yang dialami penulis sebagai bahan dasar cerita adalah kisah-kisah pilihan yang sangat sakral dan personal. Bukan perkara mudah memilah dan memilih kisah atau pengalaman yang akan dihadirkan kepada pembaca, mengingat sosok sebesar Prabowo Subianto memiliki pengalaman yang beraneka ragam, krusial, dan berarti dalam kemajuan bangsa dan negara.

Selain itu, Prabowo Subianto adalah salah satu tokoh penting dalam perjalanan militer Indonesia yang menyimpan rahasia negara dan saya yakin masih ada yang tidak diutarakan dalam bukunya, karena hanya akan disimpan olehnya sampai akhir hayat. Bukan karena beliau tidak mau berbagi, tetapi itu adalah bagian dari profesionalitas dan pengabdiannya pada negara. Seorang militer disumpah untuk tidak mengkhianati negara, apapun resikonya. Buku yang terurai dalam empat belas bab, belum termasuk bagian pembuka dan penutup, seolah-olah pembaca diajak berkenalan secara pribadi dengan salah satu putra doktor ekonomi pertama di Indonesia. Lalu, bercakap-cakap sambil melihat sisi lain yang kehidupan pribadi Prabowo Subianto yang belum pernah diekspos di media sosial. 

 Pemimpin yang Memiliki Semangat Kepahlawanan

Pada bagian-bagian awal buku dikisahkan empat tokoh pejuang yang sangat mempengaruhi Prabowo Subianto, yaitu Jenderal Soedirman, I Gusti Ngurah Rai, Robert Wolter Mongosidi, dan Yosaphat Sudarso. Dari keempat tokoh tersebut dan peletakan penulisan yang ada di awal buku yang ditulis oleh Prabowo Subianto, menjadi penanda bahwa darah kepahlawanan yang nasionalis dan patriotik mengalir deras dalam diri penulis. Baginya kecintaan pada tanah air semacam syarat wajib jika ingin berkenalan lebih jauh dengan dirinya.

Rasa cinta kepada tanah air pun dikualifikasi dengan sangat ketat oleh penulis. Bukan cinta buta atau cinta monyet kepada tanah air. Mereka yang memiliki cinta seperti itu akan mudah sakit hati pada saat cintanya bertepuk sebelah tangan. Apalagi rasa untuk mudah jatuh cinta yang terkadang satu paket dengan rasa mudah melupakan. Rasa cinta yang direfleksikan oleh penulis melalui keempat tokoh pejuang besar Republik Indonesia yaitu kemuliaan dari cinta pada nusa dan bangsa. Kemuliaan dari rasa cinta pada nusa dan bangsa terletak pada dengan totalitas, tanpa meminta balas, dan menuntut kehormatan dari yang dicintainya. Dari rasa cinta yang teramat besar akan muncul jiwa kepahlawanan sebagai muara dari dari cinta kepada tanah air.

Semangat kepahlawan di Indonesia pada masa pandemik merupakan semangat yang paling diperlukan demi membangun ketahanan dan kekuatan di lapisan masyarakat. Rendahnya implementasi nilai kepahlawanan seperti rela berkorban, menekan ego pribadi demi kepentingan umum, menjadi stimulan bertambahnya angka penyebaran Covid 19 di Indonesia. Indonesia mengalami penurunan kualitas solidaritas sosial, sehingga lambat laun dapat mengancam karakteristik bangsa Indonesia sebagai bangsa Pancasilais.


Sikap dan tindakan Pak Dirman pada saat itu tidak lain adalah suatu sikap dan tindakan pemimpin prajurit sejati. Dari situ lahir tradisi TNI yang tidak kenal menyerah, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kelompok dan yang berani mengorbankan segala-galanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa. Kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi. (hlm. 9)


Sikap dan tindakan Robert Wolter Mongosidi telah memberikan kepada generasi bangsa Indonesia berikutnya suatu warisan nilai-nilai kepemimpinan penuh keteladanan dan kepahlawanan, yang berani mengorbankan segala-galanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa, yang menjadi landasan harga diri dan kebanggaan untuk gerenasi-generasi pemimpin bangsa berikutnya. (hlm. 15)


Penekanan tentang muara dari rasa cinta pada tanah air sangat eksplisit yaitu mau mengorbankan segala-galanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa. Pernyataan serupa diulang kembali pada paragraf penutup penceritaan tentang Robert Wolter Mongosidi. Dari dua kali pola pengulangan (bahkan diulang juga pada dua cerita lainnya, kisah tentang Yosaphat Sudarso dan I Gusti Ngurah Rai) yang dilakukan penulis, menunjukkan kepemimpinan membutuhkan mentalitas cinta yang tak bersyarat kepada bangsa dan negara. Mental seperti itu pembuktiannya bukan ketika seseorang masih hidup, akan tetapi pada saat wafatnya nantilah waktu akan menyematkan bahwa dirinya bersyarat atau tanpa syarat dalam melakukan baktinya bagi bangsa dan negara.    


Memahami Identitas Diri dan Terbuka Pada Kritik

Bagi sebagian orang memahami identitas diri terkadang sulit dilakukan. Manusia cenderung lebih mudah melakukan imitasi terhadap keadaan diluar dirinya, daripada menemukan dan menumbuhkan rasa bangga pada diri sendiri. Cara yang ditawarkan oleh penulis dalam bukunya, yaitu dapat diperoleh dari upaya mengenal asal usul diri kita, orang tua kita, kakek-nenek, buyut dan seterusnya. Dari situlah, rasa bangga dan syukur atas karunia yang diberikan oleh Tuhan.

Pada buku Kepemimpinan Militer: Catatan Dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto, seorang pemimpin digambarkan ideal dengan mau menghargai dan menghormati keberadaan keluarga. Manifestasi harga dan hormat bukan diungkapkan dengan menjadikan buku sebagai etalase prestasi keluarga, tetapi beliau menarik sebuah makna dari peristiwa yang dianggap dapat menjadi pembelajaran bagi pembaca. Penulis pun tidak segan-segan mengkritik (menilai) peristiwa yang terjadi di dalam lingkaran inti keluarga, agar menjadi nilai pembelajaran bagi pembaca.

Sekian belas tahun kemudian, saya dengar dari adik saya, Hashim Djojohadisukumo, bahwa kurang lebih satu bulan sebelum Pak Mitro meninggal, saat itu Pak Mitro sudah sakit di tempat tidur, Pak Hashim bertanya ke Pak Mitro, “Pak ada tidak yang bapak menyesal dalam hidup Bapak? Kira-kira apa yang paling menyesal dalam hidup Bapak?”

Kemudian Pak Mitro menjawab,”Satu hal yang paling menyesal adalah bahwa saya berpisah dari Bung Karno. Harusnya saya tetap bersama beliau.”

Itu adalah hal-hal yang menjadi catatan bagi saya. Dan situlah generasi ’45. Berbeda pandangan, berbeda pendapat, tapi sebenarnya saling menghormati. (hlm.307)


Pada bagian itu, urusan politik bukan lagi alasan untuk mengambil sebuah kebijaksaan nilai dari latar belakang diri dan keluarga. Tetapi, lagi-lagi rasa cinta pada nusa dan bangsa menjadi titik temu dari segala perbedaan yang terjadi. Perkara politik menjadi sesuatu yang tidak ada nilainya, ketika disandingkan dengan aktualisasi dari cinta pada tanah air itu sendiri. Dari buku itu masih ada kisah-kisah yang selama ini belum diketahui sebagian besar pembaca tentang latar belakang keluarga yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak Menhan Kabinet Indonesia kerja II. Bahkan, dari kisah-kisah dalam buku tersebut, pembaca akan lebih memahami alasan mendalam Prabowo Subianto mau bergabung dengan pemerintahan Joko Widodo 2019-2024, meski sebelumnya berkompetisi menuju RI 1.


Kehidupan Adalah Sekolah Sejati

Penjahat, orang baik, dapat dihasilkan dari sistem pendidikan. Muara dari pendidikan ditentukan oleh cara seseorang mengelola pengalaman hidupnya dan juga sistem Pendidikan itu sendiri. Dalam buku Kepemimpinan Militer, secara eksplisit disemai kesadaran pada Pendidikan untuk memiliki kemampuan diri dalam belajar dari masa lalu. Kemudian, menghubung-hubungkannya dengan pengalaman yang terjadi pada waktu dan tempat berbeda. Bukan untuk membandingkan, melainkan mencari titik temu yang dapat dijadikan anyaman pengalaman dan makna hidup.

Agar kita tidak mengulang kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan di masa lalu, dan agar kita dapat bangkit menjadi bangsa yang menang, kita harus pelajari dan hidupi sikap-sikap pemenang para pendahulu kita. Terutama pendahulu kita yang telah memberi kemenangan besar bagi bangsa Indonesia. (hlm. 442)


Pernyataan yang disampaikan oleh Prabowo Subianto itu pun sejalan dengan pemikiran Soren Kiegergaard, filsuf yang lahir di Copenhagen, Denmark. Ia menyatakan bahwa hidup bukan sekedar apa dipikirkan, melainkan sesuatu yang dihayati. Kedalaman seorang pribadi menghayati hidupnya, semakin dalam juga makna hidupnya. Kedalaman penghayatan akan hidup inilah yang menjadi salah satu modal vital dalam menciptakan gagasan-gagasan yang bermanfaat di masa depan.

Di ekosistem digital yang juga terkoneksi dengan jaringan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan, penghayatan terhadap hidup itu sendiri kadang kala mengalami kekeringan. Dinamika politik -meskipun sesekali gaduh- tetapi kering akan makna. Sebagian politisi kehilangan penghayatan dalam panggilan politiknya. Lalu, terjebak pada aksi formalitas yang sekedar ada, sekedar hadir, namun kehilangan makna. Kondisi ini yang menjadi tontonan masyarakat, sehingga menjadi role model yang kemudian ditiru oleh masyarakat.

Begitu selanjutnya dengan bidang-bidang lain. Dampaknya, adalah bencana kekeringan nasionalisme. Terkadang, berbicara nasionalisme justru dengan mudah berubah menjadi perdebatan nasionalisme yang kehilangan titik temunya. Mahasiswa-mahasiswa melakukan demontrasi yang hanya sekedar aktualisasi diri atau kelompok, bahwa mereka kaum muda Indonesia yang memiliki energi untuk memberontak. Bangsa Indonesia seolah kehilangan arah yang dituju oleh karena kebijakan publik yang sifatnya temporary, dan bergesernya makna kritik yang seharusnya menilai, tetapi digeser paksa berkonotasi negative menjadi ancaman, menyudutkan, dan mengobral aib atau kekurangan.

Pada kondisi inilah, kita ditawakan pada ikhitiar untuk kembali menghayati hidup manusia Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Melalui kesadaran untuk menghayati Pancasila, pengalaman hidup sehari-hari tidak berlalu begitu saja, tetapi menjadi sebuah sarana untuk mengubah nasib bangsa yang sudah sepatutnya berada di garis kemakmuran dan keberadaban. Di new normal penghayatan menjadi kunci penting untuk menyadari posisi dan peran kita di dalam kehidupan kita masing-masing. Keteladannya sudah ditunjukan oleh Tuhan yang Maha Esa melalui para pendahulu kita, pejuang-pejuang yang telah mengorbankan diri mereka demi sebuah nilai luhur, yaitu kemerdekaan. Apakah kita masih berbedat sudah merdeka atau belum? Bertengkar melalui agama demi kekuasaan. Sibuk mengeluh pada keadaan. Tanpa Lelah menginventarisasi kesalahan orang lain (termasuk pemerintah), akan tetapi lupa menghayati siapa diri kita sesungguhnya? Sekali merdeka tetap merdeka! Mari kita isi kemerdekaannya dengan semangat Pancasila dan penghayatan terdalam pada kemerdekaan negara Republik Indonesia.

 

"Mari kita sekarang pelajari, dalami, jalani, sikap-sikap pejuang kita. Mari kita beri arti nilai kepada perjuangan mereka. "

(Prabowo Subianto dalam Kepemimpinan Militer, hlm. 467)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun