Penekanan tentang muara dari rasa cinta pada tanah air sangat eksplisit yaitu mau mengorbankan segala-galanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa. Pernyataan serupa diulang kembali pada paragraf penutup penceritaan tentang Robert Wolter Mongosidi. Dari dua kali pola pengulangan (bahkan diulang juga pada dua cerita lainnya, kisah tentang Yosaphat Sudarso dan I Gusti Ngurah Rai) yang dilakukan penulis, menunjukkan kepemimpinan membutuhkan mentalitas cinta yang tak bersyarat kepada bangsa dan negara. Mental seperti itu pembuktiannya bukan ketika seseorang masih hidup, akan tetapi pada saat wafatnya nantilah waktu akan menyematkan bahwa dirinya bersyarat atau tanpa syarat dalam melakukan baktinya bagi bangsa dan negara.
Memahami Identitas Diri dan Terbuka Pada Kritik
Bagi sebagian orang memahami identitas diri terkadang sulit dilakukan. Manusia cenderung lebih mudah melakukan imitasi terhadap keadaan diluar dirinya, daripada menemukan dan menumbuhkan rasa bangga pada diri sendiri. Cara yang ditawarkan oleh penulis dalam bukunya, yaitu dapat diperoleh dari upaya mengenal asal usul diri kita, orang tua kita, kakek-nenek, buyut dan seterusnya. Dari situlah, rasa bangga dan syukur atas karunia yang diberikan oleh Tuhan.
Pada buku Kepemimpinan Militer: Catatan Dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto, seorang pemimpin digambarkan ideal dengan mau menghargai dan menghormati keberadaan keluarga. Manifestasi harga dan hormat bukan diungkapkan dengan menjadikan buku sebagai etalase prestasi keluarga, tetapi beliau menarik sebuah makna dari peristiwa yang dianggap dapat menjadi pembelajaran bagi pembaca. Penulis pun tidak segan-segan mengkritik (menilai) peristiwa yang terjadi di dalam lingkaran inti keluarga, agar menjadi nilai pembelajaran bagi pembaca.
Sekian belas tahun kemudian, saya dengar dari adik saya, Hashim Djojohadisukumo, bahwa kurang lebih satu bulan sebelum Pak Mitro meninggal, saat itu Pak Mitro sudah sakit di tempat tidur, Pak Hashim bertanya ke Pak Mitro, “Pak ada tidak yang bapak menyesal dalam hidup Bapak? Kira-kira apa yang paling menyesal dalam hidup Bapak?”
Kemudian Pak Mitro menjawab,”Satu hal yang paling menyesal adalah bahwa saya berpisah dari Bung Karno. Harusnya saya tetap bersama beliau.”
Itu adalah hal-hal yang menjadi catatan bagi saya. Dan situlah generasi ’45. Berbeda pandangan, berbeda pendapat, tapi sebenarnya saling menghormati. (hlm.307)
Pada bagian itu, urusan politik bukan lagi alasan untuk mengambil sebuah kebijaksaan nilai dari latar belakang diri dan keluarga. Tetapi, lagi-lagi rasa cinta pada nusa dan bangsa menjadi titik temu dari segala perbedaan yang terjadi. Perkara politik menjadi sesuatu yang tidak ada nilainya, ketika disandingkan dengan aktualisasi dari cinta pada tanah air itu sendiri. Dari buku itu masih ada kisah-kisah yang selama ini belum diketahui sebagian besar pembaca tentang latar belakang keluarga yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak Menhan Kabinet Indonesia kerja II. Bahkan, dari kisah-kisah dalam buku tersebut, pembaca akan lebih memahami alasan mendalam Prabowo Subianto mau bergabung dengan pemerintahan Joko Widodo 2019-2024, meski sebelumnya berkompetisi menuju RI 1.