Mohon tunggu...
diko siadari
diko siadari Mohon Tunggu... Administrasi - Creator

"TIME IS MONEY"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Filosofi Budaya Batak Toba Dalam Dunia Pendidikan

15 Januari 2025   15:10 Diperbarui: 15 Januari 2025   14:57 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 (Sumber: Canva.com))
 (Sumber: Canva.com))

 (Sumber:Canva.com))
 (Sumber:Canva.com))

ABSTRAK

Kelompok etnik Batak Toba mempunyai filosofi budaya dalam membimbing kehidupan mereka, untuk menggapai filosofi tersebut mereka melaksanakan pendidikan karena mereka sadar bahwa pendidikan merupakan anak tangga dalam mencapai filosofi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: mengkaji filososfi budaya Batak Toba dalam membentuk pola pikir Kelompok etnik Batak Toba terhadap pentingnya dunia pendidikan. Metode penelitian bersifat kualitatif dengan pendekatan pendeskripsian. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka sebagai bahan literatur yang dapat menyajikan data dan disertai dokumen pendukung yang menjadi referensi penting dalam kajian ini. Hasil penelitian diketahui bahwa filosofi budaya kelompok etnik Batak Toba dapat dikatakan tertuju pada daya dan upaya mencapai kepemilikan sahala dan pemahaman tentang manusia rajawi. Yang tertuang pada sahala adalah hagabeon (memiliki keturunan), hasangapon (kehormatan yang dicapai lewat pendidikan, dan pengalaman), dan hamoraon (kekayaan). Dan dalam konsep manusia rajawi tertuang kemerdekaan dalam mengembangkan diri, keleluasaan dalam membangun visi dan mengejar ambisi hidup. Dalam mencapai nilai hagabeon, hasangapon, hamoraon dan ambisi hidup adalah dengan menjalani pendidikan guna membentuk pola pikir yang baik dan mendapatkan pengetahuan. Sehingga tidak mengherankan bahwa, pendidikan pada kelompok etnik Batak cukup berkembang dan maju.

 PENDAHULUAN

Negara Indonesia mempunyai ber- bagai macam suku atau etnik yang ting- gal saling berdampingan, dimana Indo- nesia adalah negara yang kaya akan bu- daya serta adat istiadat dari Sabang sam- pai Merauke dan setiap daerah memiliki nilai dan norma tersendiri yang berlaku secara umum untuk membentuk karakter masyarakatnya sesuai dengan kebuda- yaannya. Kesatuan hidup manusia dan sa- ling berinteraksi antar sesama menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama disebut masyarakat  (Koentjaraningrat,  2015:

116). Selanjutnya Jenks (2008: 9-10) mengatakan, kebudayaan merupakan keseluruhan cara hidup suatu kelompok dan menghadirkan suatu kondisi per- kembangan intelektual dan moral di dalam masyarakat. Budaya terbentuk dari sekelompok orang terorganisasi yang mempunyai tujuan, keyakinan dan nilai- nilai yang sama, dan diukur melalui pengaruhnya pada motivasi.

Kebudayaan ada karena adanya ke- lompok etnik, yang dimana kebudayaan menuntun atau membimbing kehidupan kelompok etnik tersebut. Di Indonesia kelompok etnik yang menonjol dan sang- at dikenal oleh kelompok etnik lainnya adalah kelompok etnik Batak Toba ka- rena mereka mempunyai kompleks "har- ga diri" yang ditafsirkan sebagai keingin- an untuk menjadi "nomor satu". Hal ini dapat dilihat bahwa kelompok etnik Ba- tak Toba hidup dengan cara berpindah- pindah untuk mempertahankan kehidupan mereka dan mencari kemakmuran di tem- pat lain (Kraemer dalam Pelly, 2013: 123).

Kelompok etnik Batak-Toba dari Sumatera bagian Utara adalah salah satu sub-etnis dari Etnis Batak, yang terdiri dari Toba, Karo, Simalungun, Man- dailing, Angkola, dan Pakpak. Dalam perkembangannya, masyarakat Batak- Toba masuk dalam klasifikasi wilayah Batak bagian Selatan seturut dengan Angkola dan Mandailing (Sibeth dalam Siagian, 2017). Kelompok etnik Batak Toba sebagai bagian dari kelompok etnik Batak yang mempunyai filosofi budaya, yang dimana filosofi ini akan menuntun dan menjadi pedoman kelompok etnik Batak Toba dalam menggapai kehidupan yang lebih baik. Hal ini dapat kita lihat dari arsitektur rumah adat etnik Batak Toba, dimana rumah adat etnik Batak Toba adalah hal terluar dari kebudayaan kelompok etnik Batak Toba yang dapat kita lihat secara jelas. Atap rumah etnik Batak Toba memiliki atap depan yang lebih tinggi daripada atap yang di belakang. Hal itu mengandung filosofi bahwa anak seharusnya lebih tinggi dari- pada orang tua, yang dalam falsafat Batak-nya panangkokhon ma ianakhon sian natorasna. Artinya, anaklah yang harus dikedepankan, agar lebih maju mengharumkan nama orang tua (Purba et al., 2017: 220). Filosofi ini menuntun agar anak berhasil dan mau berjuang di dalam kehidupannya sehingga harkat martabat keluarga terangkat dari usaha si anak. Filosofi lainnya yang sering diku- mandangkan oleh kelompok etnik Batak Toba adalah Hamoraon (Kekayaan), Hagabeon (banyak keturunan), dan Ha- sangapon (kehormatan) (Simanjuntak, 2011: 142)

Filosofi tersebut tertanam di setiap pola pikir kelompok etnik Batak Toba yang dimana mereka harus dapat melak- sanakan nilai dari filosofi budaya kelom- pok etnik tersebut. Untuk mendapatkan tujuan tersebut, kelompok etnik Batak Toba mengutamakan pendidikan dan melaksanakannya dalam menggapai tuju- an pandangan hidup tersebut. Dengan pendidikan, kelompok etnik Batak Toba mengakui bahwa mereka akan dapat melaksankan tujuan dari filosofi atau ni- lai budaya tersebut.

Pendidikan menurut Jenilan (2018: 71) merupakan modal dasar pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan setiap manusia. Istilah pendidikan berasal dari kata "didik", dengan memberinya awalan "pe" dan akhiran "kan", mengandung arti "perbuatan" (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini awalnya berasal dari bahasa Yunani, yaitu "paedagogie", yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diter- jemahkan ke dalam bahasa Inggris deng- an "education" yang berarti pengem- bangan atau bimbingan. Tanpa pen- didikan, manusia tidak akan berada pada dinamika pola pikir dan gaya hidup yang lebih baik dari awalnya. Pendidikan me- lekat pada pertumbuhan dan perkem- bangan manusia. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor alam dan sosial yang memungkinkan adanya dampak yang timbul dari setiap apa yang diterima manusia tersebut dari lingkungan seki- tarnya. Oleh karena itu, pendidikan sang- at penting sehingga terjadi proses pertum- buhan pola pikir, intelektual, maupun emosionalnya.

Dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan sebagai "usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pemba- waan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan". Usaha- usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tersebut serta mewariskan kepada generasi beri- kutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan sebagai usaha manusia untuk melestarikan hidupnya.

Dalam pendidikan, terdapat se- jumlah nilai budaya yang dapat ditrans- formasikan sekolah kepada diri setiap peserta didik agar mereka dapat berperan secara aktif dalam era global yang ber- cirikan persaingan yang sangat ketat (high competitiveness), yakni: (1) nilai produktif, (2) nilai berorientasi pada keunggulan (par excellence), dan (3) kejujuran. Nilai yang berorientasi pada keunggulan adalah identik dengan moti- vasi berprestasi seseorang. Moral keju- juran adalah moral universal, moral yang dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa mo- dern dan beradab. Bangunan masyarakat yang sehat adalah yang didasarkan atas nilai-nilai kejujuran. Kejujuran pada gili- rannya akan menumbuhkan kepercayaan (trust), dan kepercayaan merupakan salah satu unsur modal sosial. Untuk itu, tugas pendidikan adalah menanamkan nilai- nilai kejujuran kepada setiap komponen di dalamnya, baik itu siswa, staf, guru, maupun komponen lainnya. Pendidikan anti korupsi adalah pendidikan yang ber- kaitan dengan cara-cara untuk mena- namkan nilai-nilai kejujuran pada diri peserta didik melalui serangkaian cara dan strategi yang bersifat edukatif (Harmanto, 2008:7).

Pentingnya pendidikan selalu ber kaitan dengan status dan kedudukan manusia yang terbagi dalam sifat-sifat ber- bagai macam kelompok etnik. Kelom- pok etnik Batak Toba memiliki karak- teristik yang berbeda dengan suku lainnya, terkhusus dalam bidang pendidikan. Kelompok etnik Batak Toba sangat mem pedulikan pendidikan dikarenakan dilan- dasi oleh nilai-nilai filosofi hidup etnik Batak Toba yang menghantarkan ketu- runannya atau anak-anaknya menjadi orang handal. Pernyataan tersebut sejalan dengan Purba et al., (2017:219), bahwa "The principle of their lives as they be- lieved in the Batak Toba; that education is the only way to "glory of life" and change the fate for the better." Kelom- pok ini meyakini bahwa pendidikan adalah satu-satunya cara untuk mengubah nasib menjadi lebih baik. Lebih lanjut juga dijelaskan bahwa kelompok ini da- pat menjadi cermin keberhasilan keluarga Indonesia dengan ekonomi rendah. Hal ini menjadi dorongan untuk sukses di bidang pendidikan, sains, sosial dan bu- daya.

Studi ini bertujuan mendeskripsi- kan filosofi budaya Batak Toba, yaitu: bagaimanakah Filososfi budaya Batak Toba membentuk pola pikir Kelompok etnik Batak Toba terhadap dunia pen- didikan? Tulisan ini mencoba untuk memberikan pemahaman baru mengenai bagaimana kelompok etnik Batak Toba memahami makna filosofi 3H (Ha- moraon, Hagabeon dan Hasangapon) da- lam kehidupan sehari-harinya. Tulisan ini mengembangkan hasil penelitian dari Purba (2017:223) dimana rekomendasi penelitian selanjutnya keluarga Kelom- pok etnik Batak Toba mengutamakan pendidikan sebagai cara untuk mencapai sahala yaitu Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon. Antropolog dapat meman- faatkan tulisan ini sebagai referensi da- lam memahami filosofi kebudayaan da- lam pendidikan. Para peneliti juga dapat melakukan studi lanjutan bidang Antro- pologi dengan mempertimbangkan hasil studi ini. Diharapkan, bidang Antropologi Indonesia dapat berkembang secara kon- tekstual dan berkontribusi dalam menye- lesaikan berbagai permasalahan manusia dan kebudayaannya yang terjadi di setiap daerah.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendidikan dalam Budaya Batak Toba

Pendidikan merupakan anak tangga dalam mencapai segala tujuan yang kita inginkan. Pendidikan dapat mengubah cara berpikir dan status setiap orang. Dengan memasuki dunia pendidikan, se- tiap orang berharap dapat memperoleh status sosial yang tinggi seperti kehor- matan, kekayaan, kedudukan dan kekuasaan.

Fungsi pendidikan antara lain usaha meneruskan kebudayaan dari generasi ke generasi, mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan, mempro- mosikan mobilitas sosial, memberikan tanda kelulusan, pelatihan kerja, mening- katkan hubungan sosial, membangun se- mangat nasional serta penjagaan anak. Disamping itu, pendidikan juga mem- perluas cakrawala pandangan serta me- ningkatkan daya dan sikap kritis terhadap hal-hal yang berhubungan dengan segala kehidupan (Spencer dalam Simanjuntak, 2011: 191).

Pentingnya pendidikan bagi ke- lompok etnik Batak Toba, membuat para orang tua di huta (kampung) maupun di kota berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri sebagai orang tua. Dengan kata lain, kelompok etnik Batak Toba, baik dari kelas sosial yang kaya, menengah maupun miskin, sama-sama berkeinginan agar anak-anak- nya mendapatkan pendidikan yang ter- baik daripada dirinya. Mereka berupaya mewujudkan hal itu sesuai kemampuan masing-masing. Artinya, tidak ada per- bedaan sikap diantara golongan pendi- dikan dalam usaha menyekolahkan anak. Baik orang tua yang tidak berpendidikan, maupun yang berpendidikan, sama-sama memiliki keinginan yang keras dalam menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang lebih tinggi (Simanjuntak, 2011:193).

Dalam hal ini, kelompok etnik Ba- tak Toba melakukan hal apa saja dan ber- usaha keras dalam menyekolahkan anak- nya agar si anak mempunyai pemikiran yang maju dan mampu mencapai kemak- muran ataupun kekuasaan yang ingin mereka dapatkan dari konsep kebudayaan mereka.

Budaya Batak Toba memiliki peran dalam dunia pendidikan, bahkan sudah terjadi sejak anak tersebut terlahir. Ter- jadi persaingan antar marga (clan) dalam mewujudkan cita-cita keturunan mereka

merupakan bagian kesadaran dari ke- luarga tersebut sebagai fondasi perkem- bangan pribadi. Pendidikan sudah diberi- kan orang tua kepada anaknya sejak lahir  dengan "meniru" orang tua mereka. Kata "meniru" ini diasumsikan secara luas karena melibatkan nilai-nilai agama, mo- ral, sosial, pengetahuan, dan keteram- pilan. Umumnya, anak laki-laki akan meniru ayah mereka yang cenderung aktif di luar rumah, sedangkan anak pe- rempuan akan meniru ibunya dalam membantu pekerjaan rumah tangga, berladang, ataupun membantu berjualan di pasar (Aritonang, 1944: 45-48)

Penelitian Lubis et al. (2019: 209) menyatakan bahwa prinsip kehidupan 3H (Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon) juga berpartisipasi dalam membentuk pendidikan karakter generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan mereka da- lam mencapai tujuan hidup yang efektif dan efisien. Pendidikan karakter yang ter- bentuk dari prinsip tersebut yaitu sopan, disiplin, jujur, mandiri, dan setia (Purba et al., 2017: 220). Memberikan anak mereka pendidikan yang lebih tinggi hingga kemampuan keterampilan hidup yang berguna untuk meningkatkan ke- hidupan generasi anak-anaknya. Orang tua akan berusaha mendidik anak-anak mereka menjadi orang yang dapat me- ningkatkan martabat keluarganya. 

  Filosofi Budaya Batak Toba

Menurut pandangan kelompok et- nik Batak Toba, kebudayaan merupakan sebuah sistem nilai budaya yang amat penting, yang menjadi tujuan dan pan- dangan hidup mereka secara turun temu- run, hal ini disebut dengan istilah filosofi. Filosofi bagi seseorang atau kelompok masyarakat berfungsi menjadi alat atau cara sebuah tindakan yang mendasari kehidupan sehari-harinya. Oleh karena- nya, filosofi hidup kelompok etnik Batak Toba dapat dikatakan tertuju pada daya dan upaya mencapai kepemilikan sahala. Sahala sebagai konsep falsafah kelompok etnik Batak Toba sangat besar pengaruh- nya dalam segala gerak hidup mereka. Menurut Pelly (2016: 72), sahala adalah berhubungan dengan adat dan kehidupan sehari-hari. Karena itu awalnya saudara semarga tersebut tinggal dalam satu kampung atau huta, agar mereka secara gotong royong melakukan kegiatan se- hari-hari. Jika timbul suatu pertentangan, maka pihak dongan sabutuha wajib untuk menanganinya dan setiap orang yang se- marga tidak boleh saling kawin diantara mereka. Dongan sabutuha terkadang juga disebut dengan dongan tubu; Boru adalah anak perempuan, yang termasuk golong- an boru adalah suami dari anak perem- puan serta anak-anaknya, orang tua suaminya dan dongan sabutuha sua- minya. Meskipun dalam adat pihak boru tidak ikut menjadi pihak pewaris, namun penghormatan bagi pihak boru meru- pakan hal yang tertinggi. Biasanya sete- lah pernikahan, pihak boru akan diha- diahi sebidang tanah, hal ini disebut dengan istilah pauseang dengan mem- berikan ulos nasoolo atau sejenis kain yang tidak dapat usang. Dan dalam acara pernikahan, pihak boru-lah yang dibe- rikan tanggung jawab dan hak dalam menentukan penyampaian bagian atau jambar dalam berbicara dan dalam pembagian bagian tubuh hewan sembe- lihan menurut fungsi, peran, dan kedudu- kannya dalam Dalihan Na Tolu. Hula- hula, adalah pihak yang memberikan pengantin perempuan. Semua dongan sabutuha orang tua (baik ibu dan ayah) pengantin perempuan, yaitu tulang atau paman dari saudara ibunya. Perkawinan dengan putri tulang adalah perkawinan ideal menurut orang Batak Toba. Per- kawinan seperti ini disebut dengan istilah kawin pariban. Pihak hula-hula adalah pihak yang sangat dihormati pihak boru dalam sistem kekerabatan, namun sebagai gantinya pihak hula-hula akan membe- rikan perlindungan terhadap pihak boru seperti jika seorang wanita tidak dapat dinafkahi atau diceraikan oleh pihak dongan sabutuha, maka pihak hula-hula memiliki  kewajiban  untuk  melindungi pihak boru. Pihak dongan sabutuha dan pihak boru juga harus secara aktif meng- atasi persoalan tersebut.

Kedua adalah religi, yang mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradi- sional maupun agama-agama baru yang mengatur hubungan dengan Sang Maha Pencipta serta hubungannya dengan sesa- ma manusia dan lingkungan dimana ma- nusia itu berada. Ketiga yaitu hagabeon, yang berarti memiliki banyak anak dan berumur panjang. Bagi orang Batak, sum- ber daya manusia sangat penting karena kekuatan suku bangsa dapat dibangun dengan adanya jumlah populasi yang besar pada suku tersebut. Tampaknya hal ini terkait dengan sejarah suku bangsa Batak yang memiliki budaya kompetitif yang tinggi, yang tercermin dari perang huta atau kampung. Keempat, yaitu hasangapon (kemuliaan, kewibawaan, dan kharisma) yang merupakan nilai utama yang mendorong masyarakat sub etnis Batak Toba untuk gigih mencapai kejayaan. Terlebih lagi pada zaman modern ini, jabatan dan pangkat yang tinggi menjadi simbol kemuliaan, kewi- bawaan, kharisma, dan kekuasaan pada orang Batak Toba. Nilai budaya yang kelima, yaitu hamoraon atau kaya raya, merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang sub etnis Batak Toba untuk mencari harta dalam bentuk benda materil yang banyak Keenam, hamajuon atau kemajuan, yang dapat dicapai dengan meninggalkan kam- pung halaman dan menuntut ilmu setinggi-tingginya. Nilai budaya hama- juon ini sangat kuat mendorong orang Batak merantau (marserak) dan pergi ke berbagai daerah di tanah air dan seluruh dunia, dengan tujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan semangat berkom- petisi demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi bagi dirinya dan anak- anaknya. Ketujuh, patik dohot uhum atau aturan dan hukum. Nilai patik dohot uhum ini merupakan nilai yang kuat yang disosialisasikan oleh orang Batak untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan menjalani kehidupan menurut hukum yang berlaku. Kedelapan, pengayoman. Nilai ini mencerminkan kehadiran pengayom, pelindung, ataupun pembawa kesejahteraan, yang setidaknya kehadi- rannya diperlukan dalam situasi yang sangat mendesak. Meski sesungguhnya karakter kemandirian cukup tinggi dite- kankan pada orang Batak sehingga nilai pengayom tersebut tidak terlalu menon- jol. Nilai kesembilan adalah marsisarian, atau usaha orang Batak untuk tetap saling mengerti, saling menghargai, dan saling membantu. Bila terjadi konflik atau perseteruan dalam kehidupan berma- syarakat, maka prinsip marsisarian perlu dikedepankan (Simanjuntak dalam Valentina & Martani, 2018: 2-3).


Nilai-Nilai Didikan Leluhur (Filosofi Budaya) Etnik Batak Toba Membentuk Pola Pikir Kelompok Etnik Batak Toba terhadap Dunia Pendidikan

Dalam kelompok etnik Batak Toba, anak adalah warisan mutiara yang paling berharga di dunia ini. Anak mempunyai hikmad pada diri setiap orang tua dan tercetus pada sikap dan perilakunya. Segala sesuatu yang dilakukan orang tua ditujukan untuk masa depan ketu- runannya. Etnik Batak memuliakan sang pencipta, menghargai sesama manusia, menghargai waktu, belajar dan menuntut ilmu ditujukan agar keturunannya mem- punyai masa depan yang baik dan meng- alami kehidupan yang baik. Kelompok etnik Batak memandang anak memiliki nilai-nilai magis spritual, sosial dan eko- nomi yang terintegrasi dalam falsafah hidup mereka, dimana kelompok etnik Batak Toba memandang anakonki do na ummarga di au, anakonki do hamoraon di au. Artinya, anak adalah harta yang tertinggi, anak adalah segalanya bagi suku  Batak.  Sehingga  segala  sesuatu ntuk pertumbuhan anak, pendidikan anak, tingkah laku anak adalah perhatian utama (Revida, 2006: 217).

Membentuk pemikiran yang mem- bangun dan maju pada anak bagi ke- banyakan orang tua etnik Batak Toba, adalah cara utama membuat anak tersebut untuk dapat hidup lebih baik daripada dirinya sendiri sebagai orang tua. Dimana orang tua menanamkan nilai kepada si- anak bahwa pendidikan sangat penting guna mencapai kemakmuran dalam hidup. Dengan adanya pengetahuan dan pengalaman, maka segala keinginan da- pat tercapai. Seringkali orang tua dimo- tivasi oleh keinginan bahwa kehidupan anak-anaknya akan lebih baik daripada kehidupan yang dijalani orang tuanya. Nilai-nilai ditransmisikan, diakui-sisi, dan diinternalisasikan ketika indi-vidu beradaptasi dengan adat istiadat, praktik, norma, dan kebiasaan yang dihadapi sehari-hari melalui pemodelan, penguat- an, dan pengajaran secara verbal dan eksplisit. Orang tua atau orang-orang yang mewariskan nilai tersebut, secara sadar dan tidak sadar berusaha mena- namkan nilai-nilai yang mendorong kelangsungan hidup kelompok dan ke- makmuran (Brighouse dan Swift dalam Valentina & Martani, 2018: 4).

Dari pemaparan di atas, dapat kita lihat bahwa anak sangat berharga bagi kehidupan kelompok etnik Batak Toba, dimana si orang tua menginginkan anak- nya lebih berhasil dari pada orang tuanya. Nilai ini menjadi warisan leluhur kepada kelompok etnik Batak Toba agar mereka mampu mengusahakan agar si anak lebih berhasil dari orang tuanya.


Konsep Hamoraon, Hagabeon, Hasang- apon (3H)

Konsep tentang 3H dalam kelom- pok etnik Batak Toba begitu mengkristal di dalam kehidupannya. 3H dalam ke- lompok etnik Batak Toba adalah sing- katan dari Hamoraon, Hagabeon, Ha- sangapon. Konsep ketiga hal ini seka ligus merupakan tujuan hidup dari setiap kelompok etnik Batak Toba. Ini me- rupakan wujud dari kebudayaan sebagai ide dan gagasan yang terus menerus mewarisi dan mendarah daging bagi ke- lompok etnik Batak Toba. Selain itu, konsep Hamoraon, Hagabeon, Hasang- apon telah melekat pada pola pikiran dan setiap tingkah laku kelompok etnik Batak Toba (Revida, 2006: 216).

Tiga kesatuan tujuan utama kelom- pok etnik Batak Toba atau falsafah etnik Batak Toba yang tertuju pada sahala yaitu, hagabeon (kebahagiaan, memiliki keturunan), hasangapon (kehormatan yang dicapai lewat pendidikan, dan peng- alaman), dan hamoraon (kekayaan). Keti- ga nilai inilah yang sangat mewarnai hi- dup dan kehidupan kelompok etnik Batak Toba, sehingga dapat dikatakan tujuan hidup kelompok etnik ini sudah terumus- kan secara jelas. Ketiga falsafah hidup tersebut merupakan tingkatan-tingkatan hidup dari nilai-nilai budaya Batak Toba, dimana seseorang harus memiliki keber- hasilan duniawi sehingga ia mendapatkan kekuatan nyata dan menjadikan dirinya sebagai manusia penting dan kuat. Akan tetapi, ketiga hal tersebut yang tertuang dalam sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh atau hilang.

Hamoraon (kekayaan) merupakan salah satu nilai budaya Batak Toba yang mendasari individu atau kelompok untuk mencari harta yang banyak. Konteks mencari harta yang banyak tersebut sang- at ditopang adanya kehadiran anak dalam keluarga Batak Toba. Oleh karenanya, se- gala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang yakni individu Batak Toba dimana keka- yaan tersebut telah diidentikkan dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak, individu Batak Toba tidak akan merasa kaya, meskipun banyak harta.

Hagabeon (kebahagiaan, memiliki keturunan) merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari individu Batak Toba memiliki keturunan yang banyak.

Banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putri 16. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh, hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak.

Hasangapon (kemuliaan dan kehor- matan) merupakan kedudukan seseorang dalam lingkungan masyarakat. Individu Batak Toba dengan adanya hasangapon (kemuliaan, kewibawaan, kharisma) men- jadikan ia memiliki suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi do- rongan kuat, lebih-lebih pada kelompok etnik Batak Toba pada zaman modern ini untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan (Simangunsong, 2018: 210)

Tidak ada urutan prioritas dari ke- tiga nilai tersebut. Namun diasumsikan bahwa diantara ketiga nilai yang paling utama adalah nilai hagabeon sebab di dalamnya telah tercakup dambaan etnik Batak memiliki keturunan, unsur-unsur kaya, dan prestise dalam diri anak. Anak adalah kebahagiaan, anak adalah masa depan, anak adalah penderitaan. Hal ini terungkap dari umpasa (kiasan) berikut hosuk humosukhosuk, hosuk di tombak ni batang toru porsuk ni na porsuk, sai umporsuk dope naso maranak marboru Artinya, penderitaan yang paling berat di dunia ini adalah jika tidak punya ketu- runan, dan kehilangan nilai (arti) anak (Simanjuntak, 2015:145). Dalam kelom- pok etnik Batak Toba, jalan untuk mencapai nilai hasangapon dan hamo- raon adalah melalui jalur pendidikan. Sehingga tidak mengherankan bahwa, pendidikan pada etnik Batak cukup berkembang. Kelompok etnik Batak Toba rela tidak memiliki harta, rela meminjam

uang demi pendidikan anaknya. Mereka memandang pendidikan jalan terbaik untuk mencapai hasangapon, dan hamo- raon, serta pendidikan anak adalah wa- risan yang tertinggi nilainya di masa depan.

Dalam terjemahan artikel "Hamo- raon, Hagabeon & Hasangapon as the Basic Philosophy in Educating Child- ren" menuliskan kelompok etnik Batak mempunyai tekad untuk anak-anaknya agar berhasil dalam mencapai harapan, kuncinya adalah mereka sudah siap dan orang tua mereka rela berkorban meski harus melalui situasi pahit. Tekadnya adalah "anak-anak mereka tidak lagi memiliki cara hidup seperti orang tua mereka bermandikan keringat untuk me- menuhi kebutuhan mereka". Seba- gaimana dinyatakan dalam kata bijak "pergi ke sekolah anak-anakku, karena itu semua membuat jalan hidup Anda berubah sehingga tidak seperti apa yang kami alami". Motivasi muncul dari sti- mulus; mereka menjalani proses pen- didikan untuk mencapai harapan dan keyakinan bahwa dengan pengetahuan dan keterampilan akan mencapai hidup yang layak. Harapan kehidupan yang terhormat dalam hal ini memiliki hasang- apon sebagai salah satunya cita-cita uta- ma setiap orang tua yang ditularkan kepada anak-anak mereka (Dalimunthe & Lubis, 2019: 206).

Kebudayaan etnik Batak Toba juga mempunyai foklor atau ungkapan-ungkapan adat yang dimana ungkapan ini memiliki makna yang tersirat, ungkapan diambil dari umpasa yang berhubungan dengan saran, nasehat yang dapat menuntun kehidupan kelompok etnik Batak Toba (Simanjuntak, 2015: x). Dalam foklor atau umpasa etnik Batak Toba, terdapat umpasa-umpasa yang dimana pendidikan harus dilaksanakan dan menjadi pola hidup kelompok etnik Batak Toba. Isi umpasa tersebut adalah sebagi  berikut:  hotang  hotari  hotang pulogos, gogo ma mansari na dangol do na pogos; mengandung arti berusahalah sekuat tenaga karena kemiskinan menimbulkan penderitaan. Bekerja keras, belajar keras agar berhasil sukses jauh dari kemiskinan dan penderitaan. Umpasa lainnya adalah Ijuk di parapara hotang di panabian, nabisuk napuna hata na oto dapotan parulian; mengandung arti orang cerdas, bijaksana memiliki ilmu pengetahuan dan setiap orang yang termasuk bo- doh memperoleh berkah. Dari sebagian umpasa ini, maka dapat dilihat bahwa kelompok etnik Batak Toba mementing kan pendidikan dalam kehidupan mereka guna mendapatkan hidup yang layak. Selain itu, pendidikan juga dapat mengantarkan kehidupan mereka mencapai ke- pemilikan sahala atau tujuan hidup yaitu hamoraon, hasangapon dan hagabeon.

KESIMPULAN

Penting untuk menegaskan bebe- rapa hal sebagai kesimpulan tentang filo- sofi kebudayaan dalam membentuk pola pikir kelompok etnik Batak Toba dalam dunia pendidikan. Harus dikatakan bahwa falsafah/ filosofi kelompok etnik Batak Toba merupakan kekayaan besar yang bisa memberi sumbangan bagi pengem- bangan peradaban bangsa dan dunia. Ada beberapa hal yang bisa diungkapkan pada bagian ini yaitu: martabat hidup rajawi. Menarik bahwa kelompok etnik Batak Toba memahami diri sebagai putra-putri raja, anakni raja dan boruni raja. Sebagai keturunan raja, mereka mengklaim diri memiliki martabat rajawi. Martabat ini tidak hanya dimiliki oleh elite tertentu karena garis keturunan, darah biru, tetapi dimiliki oleh semua orang dari generasi Toba. Pemahaman ini menggambarkan kesadaran akan martabat luhur manusia dan harus meraih kebaikan dalam kehi- dupan. Hak setiap orang untuk mem- peroleh hidup yang layak yakni nilai hamoraon, hagabeon dan hasangapon merupakan representasi  dari  nilai-nilai kemanusiaan yang mendasari hak-hak asasi manusia. Nilai tersebut juga per- tanda bahwa kelompok etnik Batak Toba yang sudah menggapai nilai tersebut, maka mereka dapat dikatakan individu/ kelompok masayarakat yang sukses. Hal tersebut mendorong kelompok etnik ini untuk bersemangat menekuni dunia pen- didikan, karena melalui pendidikan me- reka sudah mengantongi kehidupan yang makmur di masa depan kemudian. Selain itu, kelompok etnik Batak Toba juga dapat melaksanakan filosofi Batak Toba yaitu menggapai hamoraon, hagabeon dan hasangapon.

GALERI

(Sumber: gogle/shutterstock))
(Sumber: gogle/shutterstock))
(Sumber: Google ))
(Sumber: Google ))

 

Rumah Batak (Sumber: Google))
Rumah Batak (Sumber: Google))

                                                                                                                                                 

 Penulis : Harto Mardiko Siadari & Tegar Arif Permana Marbun (Mhs STIE Dharma Putra)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun