Mohon tunggu...
Diki Yakub Subagja
Diki Yakub Subagja Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang Kota Tangerang Selatan

Mahasiswa Fakultas Hukum yang senang dengan perkembangan isu Sosial, Politik dan Hukum yang terjadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Evaluasi Pilkada 2024: Mencari Saluran Alternatif Suara Rakyat

30 November 2024   22:32 Diperbarui: 30 November 2024   22:32 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Dok. Penulis saat proses pelaksanaan Pilkada 2024 di salahsatu TPS di Kab. Tangerang

Dalam momentum Pemilihan Kepala Daearah (Pilkada) tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serentak pada tahun 2024 ini, Indonesia mempunyai catatan sejarah pemilu yang buruk. Hal tersebut di buktikan dengan kembali hadirnya fenomena kemenangan suara alternatif dan meningkatnya suara tidak sah atau daftar pemilih yang tidak melakukan pemilihan. 

Sementara ini, saluran suara alternatif rakyat yang secara legal-formil terbentuk dalam opsi kotak kosong melawan calon pasangan tunggal yang di usung oleh koalisi partai politik yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2018. Namun, secara lebih luas, saluran suara alternatif rakyat tersebut bisa dilihat juga dari angka suara tidak sah dan suara yang tidak digunakan dalam pelaksanaan suatu pemilihan umum. 

Fenomena tersebut dapat dilihat dalam beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini. Pertama, kemenangan telak suara kotak kosong dalam Pilwalkot Pangkalpinang Provinsi Bangka Belitung. Berdasarkan real count jagasuara2024.org, kotak kosong unggul telak dengan perolehan 48.528 suara atau sebesar 57,98%.

Kedua, kemenangan telak suara tidak sah dalam Pilwalkot Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan. Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Banjarbaru berdasarkan penghitungan form C1 per-Jumat (29/11/2024), suara tidak sah mencapai 78.322, hampir dua kali lipat suara sah.

Ketiga, rendahnya angka partisipasi masyarakat dalam Pilkada Sumatera Utara dan DKI Jakarta. Berdasarkan pemantauan via Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU RI pada Jumat sore (29/11/2024), dari 98,5 persen data yang masuk terlihat tingkat partisipasi pemilih di Sumatera Utara hanya 55,6%. Sedangkan tingkat partisipasi pemilih di DKI Jakarta 57,6% sehingga menjadi capaian terburuk dalam sejarah pemilu indonesia. 

Biasanya, fenomena seperti ini terjadi dikarenakan berbagai macam faktor. Diantaranya, kondisi internal partai politik yang tidak sehat, dominasi petahana yang kuat, biaya politik yang tinggi, tidak adanya kekuatan oposisi dan kondisi rendahnya kepercayaan masyarakat baik itu terhadap calon yang diusung koalisi partai politik maupun terhadap lembaga penyelenggara pemilu. 

Lantas, dari beberapa fenomena yang terjadi seperti diatas menimbulkan pertanyaan penting seperti bagaimana konsekwensi dari kemenangan kotak kosong atau suara tidak sah dan seperti apa solusi yang perlu di tawarkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi dalam proses pemilu kita. 

Konsekwensi Kemenangan Kotak Kosong

Kemenangan suara kotak kosong yang sempat dirayakan oleh berbagai kelompok masyarakat di Kota Pangkalpinang menjadi sorotan. Hal tersebut dianggap sebagai bentuk kemenangan atas perlawanan kelompok masyarakat yang tidak puas terhadap kinerja calon pasangan tunggal. 

Namun, perlu dikaji kembali apakah dengan menangnya suara kotak kosong akan membuka peluang untuk menghadirkan calon pemimpin yang benar-benar akan menjadi bagian aspirasi masyarakat atau jangan-jangan skema tersebut justru akan semakin menutup peluang calon pemimpin yang merupakan aspirasi masyarakat? 

Jika kita tinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, setelah disahkannya kemenangan suara kotak kosong, untuk mengisi kekosongan kepemimpinan di dalam suatu daerah menurut pasal 14 UU Nomor 30 Tahun 2014 tersebut nantinya akan digantikan oleh Penjabat (Pj) Kepala Daerah yang diberikan mandat oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang telah di setujui oleh Presiden. 

Terlepas dari penjabat yang ditunjuk tersebut adalah orang non-partai, kecurigaan terhadap isu-isu kepentingan politik penguasa dalam struktur pemerintahan untuk menjalar dari tingkat pusat sampai tingkat terendah tetap tidak bisa dihindarkan. Hal tersebut dikarenakan Menteri merupakan pembantu Presiden, sedangkan Presiden merupakan bagian dari partai politik. 

Lantas, jika dari kemenangan suara kotak kosong (elected point) tersebut merupakan perlawanan masyarakat terhadap calon yang diusung oleh partai politik apakah benar-benar menjadi kemenangan masyarakat? atau jangan-jangan masyarakat sama sekali tidak diberikan peluang untuk diberikan kemenangan karena mandat Penjabat (Pj) Kepala Daerah tersebut masih merupakan bagian "titipan" dari orang-orang partai politik (political point)? 

Lebih berbahaya lagi, apabila dibalik semua kepentingan politik itu berasal dari kelompok oligarki ataupun dinasti yang mempunyai ambisi besar untuk meraup keuntungan besar dari kekayaan sumber daya alam yang negara tercinta kita miliki. 

Lagi-lagi hal tersebut masih menjadi pertanyaan besar yang perlu dikaji dan dijawab oleh kita bersama dalam sebuah rencana aksi yang nyata. Beberapa tindakan monitoring dan controlling dari seluruh elemen masyarakat sipil kedepannya masih perlu ditingkatkan untuk menghindari upaya kepentingan penyalahgunaan kekuasaan mulai dari tingkat pusat sampai daerah. 

Mencari Solusi dari Rendahnya Angka Partisipasi

Tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024 hanya 68,16% lebih rendah daripada Pilpres 2024 kemarin yang mencapai lebih dari 80%. Dengan menurunnya angka partisipasi dari masyarakat ini perlu dilakukan upaya evaluasi bersama mulai dari menghadirkan regulasi yang lebih inklusif untuk aspirasi masyarakat sampai optimalisasi pelaksanaan teknis lembaga penyelenggara pemilu. 

Sebagaimana kita ketahui, dengan adanya regulasi ambang batas pencalonan baik itu di tingkat pusat maupun di tingkat daerah menjadi salahsatu pemicu ketidakstabilan partai politik untuk berkompetisi untuk mengusung kader-kader terbaiknya. 

Dampaknya, partai politik cenderung lebih pragmatis untuk mencari peluang kemenangan dengan melakukan pembentukan koalisi sebesar mungkin yang tentunya atas dasar kompromi kepentingan yang cukup proporsional daripada mendidik kader-kadernya secara ideologis untuk siap mengabdi menjadi perantara masyarakat di pemerintahan untuk menciptakan kebijakan yang berkeadilan. 

Selain daripada itu, optimalisasi dan inovasi dari penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi sorotan penting. Hal ini dapat dilihat dari angka partisipasi masyarakat yang menurun akibat kurangnya pelaksanaan teknis KPU dalam melaksanakan sosialisasi pemilu kepada masyarakat. Lebih daripada itu, KPU perlu melakukan inovasi dalam rangka rekrutmen pasangan calon baik itu dari tingkat pusat sampai daerah yang lebih inklusif dan bermakna. 

Sebagai salahsatu contohnya adalah dalam merekrut pasangan calon independen (non-partai) yang lebih merepresentasikan aspirasi rakyat. Sejauh ini, calon pasangan independen terkesan kurang merepresentasikan aspirasi rakyat karena dari sistem prosedur yang di berlakukan cukup dengan menggunakan fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) masyarakat sebagai bukti dukungan. 

Seharusnya, KPU bisa menghadirkan saluran untuk menjaring aspirasi masyarakat dalam menjaring calon pemimpin independen berdasarkan dedikasi dan kontribusinya dalam meningkatkan kondisi tanah air tercinta mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Dengan hadirnya saluran tersebut, masyarakat akan mempunyai pilihan alternatif yang benar-benar hadir berasal dari akal dan nurani masyarakat. 

Jadi, masyarakat tidak akan terjebak oleh skema calon pasangan yang sudah di rancang oleh kepentingan segelintir kelompok elite atau partai politik saja. Pada akhirnya, kita tinggal tunggu saja apakah KPU mau melakukannya (optimalisasi & inovasi) atau masih mau tenggelam dalam sistem lama yang sudah usang dan rentan di manipulasi oleh segelintir kelompok yang berkepentingan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun