Mohon tunggu...
Diki Yakub Subagja
Diki Yakub Subagja Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang Kota Tangerang Selatan

Mahasiswa Fakultas Hukum yang senang dengan perkembangan isu Sosial, Politik dan Hukum yang terjadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Evaluasi Pilkada 2024: Mencari Saluran Alternatif Suara Rakyat

30 November 2024   22:32 Diperbarui: 30 November 2024   22:32 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Dok. Penulis saat proses pelaksanaan Pilkada 2024 di salahsatu TPS di Kab. Tangerang

Jika kita tinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, setelah disahkannya kemenangan suara kotak kosong, untuk mengisi kekosongan kepemimpinan di dalam suatu daerah menurut pasal 14 UU Nomor 30 Tahun 2014 tersebut nantinya akan digantikan oleh Penjabat (Pj) Kepala Daerah yang diberikan mandat oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang telah di setujui oleh Presiden. 

Terlepas dari penjabat yang ditunjuk tersebut adalah orang non-partai, kecurigaan terhadap isu-isu kepentingan politik penguasa dalam struktur pemerintahan untuk menjalar dari tingkat pusat sampai tingkat terendah tetap tidak bisa dihindarkan. Hal tersebut dikarenakan Menteri merupakan pembantu Presiden, sedangkan Presiden merupakan bagian dari partai politik. 

Lantas, jika dari kemenangan suara kotak kosong (elected point) tersebut merupakan perlawanan masyarakat terhadap calon yang diusung oleh partai politik apakah benar-benar menjadi kemenangan masyarakat? atau jangan-jangan masyarakat sama sekali tidak diberikan peluang untuk diberikan kemenangan karena mandat Penjabat (Pj) Kepala Daerah tersebut masih merupakan bagian "titipan" dari orang-orang partai politik (political point)? 

Lebih berbahaya lagi, apabila dibalik semua kepentingan politik itu berasal dari kelompok oligarki ataupun dinasti yang mempunyai ambisi besar untuk meraup keuntungan besar dari kekayaan sumber daya alam yang negara tercinta kita miliki. 

Lagi-lagi hal tersebut masih menjadi pertanyaan besar yang perlu dikaji dan dijawab oleh kita bersama dalam sebuah rencana aksi yang nyata. Beberapa tindakan monitoring dan controlling dari seluruh elemen masyarakat sipil kedepannya masih perlu ditingkatkan untuk menghindari upaya kepentingan penyalahgunaan kekuasaan mulai dari tingkat pusat sampai daerah. 

Mencari Solusi dari Rendahnya Angka Partisipasi

Tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024 hanya 68,16% lebih rendah daripada Pilpres 2024 kemarin yang mencapai lebih dari 80%. Dengan menurunnya angka partisipasi dari masyarakat ini perlu dilakukan upaya evaluasi bersama mulai dari menghadirkan regulasi yang lebih inklusif untuk aspirasi masyarakat sampai optimalisasi pelaksanaan teknis lembaga penyelenggara pemilu. 

Sebagaimana kita ketahui, dengan adanya regulasi ambang batas pencalonan baik itu di tingkat pusat maupun di tingkat daerah menjadi salahsatu pemicu ketidakstabilan partai politik untuk berkompetisi untuk mengusung kader-kader terbaiknya. 

Dampaknya, partai politik cenderung lebih pragmatis untuk mencari peluang kemenangan dengan melakukan pembentukan koalisi sebesar mungkin yang tentunya atas dasar kompromi kepentingan yang cukup proporsional daripada mendidik kader-kadernya secara ideologis untuk siap mengabdi menjadi perantara masyarakat di pemerintahan untuk menciptakan kebijakan yang berkeadilan. 

Selain daripada itu, optimalisasi dan inovasi dari penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi sorotan penting. Hal ini dapat dilihat dari angka partisipasi masyarakat yang menurun akibat kurangnya pelaksanaan teknis KPU dalam melaksanakan sosialisasi pemilu kepada masyarakat. Lebih daripada itu, KPU perlu melakukan inovasi dalam rangka rekrutmen pasangan calon baik itu dari tingkat pusat sampai daerah yang lebih inklusif dan bermakna. 

Sebagai salahsatu contohnya adalah dalam merekrut pasangan calon independen (non-partai) yang lebih merepresentasikan aspirasi rakyat. Sejauh ini, calon pasangan independen terkesan kurang merepresentasikan aspirasi rakyat karena dari sistem prosedur yang di berlakukan cukup dengan menggunakan fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) masyarakat sebagai bukti dukungan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun