Mohon tunggu...
Diki Yakub Subagja
Diki Yakub Subagja Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang Kota Tangerang Selatan

Mahasiswa Fakultas Hukum yang senang dengan perkembangan isu Sosial, Politik dan Hukum yang terjadi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ketika Raja & Ratu Bersengketa Soal Tahta, Rakyat di Mana?

27 Agustus 2024   16:25 Diperbarui: 27 Agustus 2024   16:50 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bentuk loyalitas yang ditunjukkan oleh rakyat Jawa Kuna pada raja di abad XIII--XV dapat dipilah ke dalam tiga kelompok, yaitu jasa dalam perang, pengabdian luar biasa, dan menjaga kesejahteraan rakyat. Perbedaan bentuk loyalitas itu dipengaruhi oleh faktor tertentu: keagamaan, kondisi kenegaraan kerajaan, dan kedudukan sosial.

Faktor keagamaan berperan pada awal pembentukan loyalitas masyarakat pada raja. Kondisi kenegaraan kerajaan memengaruhi loyalitas karena rakyat sebagai loyalis akan menyesuaikan bentuk bantuan dengan apa yang dibutuhkan oleh raja. Kedudukan sosial memengaruhi tindakan pemberi loyalitas. Loyalis dengan kedudukan sosial lebih rendah biasanya menemukan lebih banyak batasan dalam loyalitas pada raja.

Bentuk loyalitas serta faktor yang memengaruhinya menunjukkan jenis loyalitas yang diberikan oleh rakyat Jawa Kuna pada raja, yaitu kombinasi dari loyalitas natural dan loyalitas kontraktual. Loyalitas rakyat Majapahit pada raja pada awalnya terbentuk secara alami, baik karena pengaruh nilai-nilai yang dianut maupun karena afektivitas antara loyalis dan raja. Kemudian, loyalitas rakyat Majapahit juga menunjukkan ciri-ciri loyalitas kontraktual, yaitu tindakan itu dilakukan secara sadar dan dengan harapan raja akan memberi balasan atas kesetiaannya.

Temuan fenomena loyalitas dalam masyarakat Jawa Kuna menunjukkan peran masyarakat dalam pemerintahan pada masa itu dan relasi vertikal antara raja dan rakyat. Keduanya bersinergi dalam membangun dan mempertahankan kerajaan dari musuh.

Loyalitas Masyarakat Kepada Raja atau Institusi dalam Konteks Saat Ini
Meskipun pengaruh budaya dari sejarah bangsa kita masih melekat kedalam karakter masyarakat, namun dengan seiring berkembang pesatnya akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini telah membuat orientasi loyalitas masyarakat bergeser dari loyalis simbolik kepada Raja, Ratu atau Institusi menjadi loyalis substantif yaitu kepada nilai-nilai ideal yang rasional.

Namun, pergeseran loyalitas itu masih belum merata karena masih terjadi beberapa kondisi ketimpangan seperti pendidikan dan ekonomi serta upaya-upaya hegemoni yang dilakukan oleh kelompok-kelompok elit sehingga menimbulkan rasa ketergantungan dari para masyarakat yang merasa tidak berdaya untuk tetap mempertahankan loyalitasnya hanya kepada simbol ketokohan atau instansi.

Dari kondisi tersebut berhasil melahirkan suatu kondisi masyarakat feodal yang dimana suatu kelompok masyarakat yang mempunyai kekuatan besar baik itu secara fisik, ekonomi, spiritualitas, intelektualitas maupun konektivitas berpotensi menghegemoni kelompok yang mempunyai kondisi lebih lemah.

Akhirnya, jalan cepat untuk mengubah kondisi kelompok yang lemah adalah dengan cara "menjilat" kepada kelompok yang lebih kuat. Jika dalam istilahnya Bambang Wuryanto atau yang sering dikenal dengan sebutan "Bambang Pacul" menyebutnya dengan istilah "Menjadi Korea".

Hal itu bisa dilihat dari kondisi dalam kontestasi politik hari ini. Mulai dari Pilpres (Pemilihan Presiden) pada 14 Februari 2024 lalu, sampai momentum Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang akan digelar pada bulan November 2024 nanti. Hampir seluruh peserta kontestasi itu mempraktikan Politik Dinasti. Dimana para anggota keluarga dari kelompok Petahana langsung diberikan posisi-posisi strategis untuk melanjutkan kursi kekuasaan. Bahkan, mereka mencoba untuk memanipulasi sistem penyelenggaraan kontestasi supaya anggota keluarga mereka berhasil menjadi pemenang.

Dari peristiwa itu, muncul suatu trending topik yang menarik dimana Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia mengucapkan istilah "Raja Jawa" dalam salah satu pidatonya pekan lalu. Dimana istilah itu tentu secara tidak langsung akan mengarah kepada Presiden Joko Widodo yang dimana beliau berasal dari suku Jawa dan saat ini masih memegang kekuasaan tertinggi.

Dengan kekuasaannya itu, masyarakat secara tidak sadar hampir kecolongan dengan manuver politiknya yang membegal partai-partai politik untuk menciptakan koalisi besar yang bernama KIM Plus (Koalisi Indonesia Maju Plus) yang tidak bisa di kalahkan untuk proses kepentingan politik dinastinya itu di berbagai wilayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun