Dimana pihak instansi pendidikan sekarang harus mengurus segala tek-tek bengek yang merepotkan yaitu administrasi, manajemen, rencana pengembangan, anggaran belanja, moral kerja, publikasi, kredibilitas dan lain-lainnya.
Mungkin jika pembaca sekalian mengikuti pemberitaan akhir-akhir ini pernah mendengar kebijakan di perguruan tinggi yang mempromosikan program Pinjaman Online (Pinjol) dengan bunga 2% setiap bulan untuk membantu para mahasiswanya dalam mengatasi permasalahan pembiayaan kuliahnya.
Tentu, hal tersebut menjadi kontroversi yang menuai kritik dari berbagai kalangan khususnya para mahasiswa itu sendiri. Bukannya dianggap solusi, justru kebijakan tersebut dapat membawa masalah baru yang akan melilitkan hutang kepada para mahasiswa yang melakukan peminjaman.
Apalagi kebijakan tersebut sangat bertentangan dengan pasal 76 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah dan/atau perguruan tinggi berkewajiban untuk memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi dengan melakukan kebijakan "Pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan".
Selain itu, isu komersialisasi dan privatisasi sistem pendidikan kita menjadi suatu hal yang menjadikan akses pendidikan sangat ekslusif dan elitis dikalangan masyarakat khususnya kelompok masyarakat miskin.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2023, terjadi inflasi biaya pendidikan sebesar 2,38 persen. Tak hanya itu, terjadi juga kenaikan rata-rata uang pangkal sekolah sebesar 10-15 persen setiap tahunnya.
Kenaikan pendapatan rata-rata orangtua dalam satu tahun belum tentu dapat mengejar tingginya peningkatan biaya pendidikan tersebut. Besarnya kenaikan biaya pendidikan otomatis akan menambah beban ekonomi orangtua para siswa menjadi semakin menjerit.
Banyak juga beberapa perencana pendidikan di negara kita masih berasumsi bahwa kemajuan kualitas bisa dicapai dengan kuantitas seperti memperbanyak gedung sekolah, jumlah guru, jumlah sarana dan prasarana belajar dan seterusnya.
Logika yang diterapkan sepertinya masih menggunakan logika parkinson yang memberi pengertian bahwa pekerjaan berkembang sesuai dengan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Bahwa biaya-biaya yang meningkat jumlahnya, sesuai dengan meningkatnya jumlah penerimaan dan bahwa pertumbuhan berarti semakin ruwetnya permasalahan.
Itu artinya pendidikan kita memang berkembang, tapi bukan secara kualitas melainkan secara kuantitas.
Lagi-lagi, dengan peningkatan jumlah sekolah yang tujuan awalnya memang ingin memberikan pemerataan pendidikan dan pengembangan sistem pendidikan yang layak justru semakin banyak menambah masalah baru serta memperbesar biaya.