Selama berjam-jam, pertanyaan itu terus mengganggu dirinya, tak bisa terjawab. Hafizh mencoba tidur, tetapi matanya tidak kunjung terpejam. Ia teringat pesan Ustadz Salam yang terkesan seperti peringatan:
"Kamu ini anak terpilih, Hafizh. Tetapi ingat, jangan sampai tergoda oleh apapun di sana. Jaga hatimu agar tetap bersih. Jangan biarkan kenikmatan dunia mengaburkan tujuanmu."
Kenikmatan dunia? Hafizh tidak mengerti. Ndalem, tempat keluarga Kiyai tinggal, selama ini ia anggap sebagai rumah yang penuh kesederhanaan. Kyai dan keluarganya tidak menunjukkan kehidupan mewah. Namun, pesan Ustadz Salam terasa seperti peringatan akan bahaya yang tersembunyi di balik kedamaian itu. Apakah ada sesuatu di sana yang akan menggoda dirinya?
Kegelisahan itu akhirnya membawanya tertidur, meski tidurnya tidak nyenyak.
Pagi harinya, setelah Subuh, Hafizh melangkah perlahan menuju ndalem. Ia tidak bisa mengusir perasaan gelisah yang masih membayangi dirinya. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat dari biasanya, dan pikirannya dipenuhi banyak kemungkinan yang tak terjangkau akal.
Ndalem itu memang besar, tetapi sederhana. Terletak di tengah pesantren, jauh dari keramaian, ndalem selalu dipandang penuh rasa hormat oleh para santri. Halaman luas dengan tanaman yang tertata rapi, ada taman kecil dengan bunga melati yang mekar, serta perpustakaan yang penuh dengan kitab-kitab kuno. Ketika Hafizh melangkah masuk, ia disambut oleh seorang santri yang telah mengabdi di ndalem sejak lama, yang segera memberitahunya tentang tugas yang harus ia lakukan.
"Menyapu halaman setiap pagi, menjaga kebersihan ruang tamu, merapikan rak-rak buku di perpustakaan Kyai, dan terkadang membantu di dapur jika diperlukan," ujarnya sambil memandunya.
Hafizh mendengarkan dengan seksama, berusaha untuk menyesuaikan diri dengan suasana baru ini. Tak ada yang istimewa, ia pikir. Begitu banyak pekerjaan yang tampak seperti rutinitas biasa, seperti di pesantren. Namun, tetap ada rasa tidak nyaman yang tak dapat ia lepaskan begitu saja.
Seiring berjalannya hari, Hafizh mulai merasa lebih tenang. Namun, sebuah kejutan datang di sore hari.
Hafizh sedang menyapu halaman depan ketika seorang perempuan muda tiba-tiba muncul di pintu masuk ndalem. Hafizh menoleh, dan matanya bertemu dengan seorang santriwati berkerudung krem yang tampak tenang. Gadis itu memperkenalkan dirinya.
"Assalamu'alaikum, saya Nadhira," ucapnya dengan suara lembut, tetapi jelas.