Saya hadir di sana bukan hanya sebagai tamu undangan saja, tetapi juga sebagai saksi atas semangat kolektif. Agenda tahunan seperti Public Expose and Poverty Outlook adalah ruang di mana negara dan masyarakat sipil dapat menjalin harmoni. Namun, harmoni itu harus melampaui panggung, menjadi gerakan nyata yang menjangkau hingga lapisan terdalam masyarakat.
Saya teringat Hadis Nabi Muhammad SAW, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." Hadis ini menegaskan bahwa kebermanfaatan sejati adalah inti dari keimanan dan kemanusiaan. Esensi Dompet Dhuafa adalah melanjutkan tradisi tangan-tangan yang membantu itu---sebuah tradisi gotong-royong yang telah menjadi DNA bangsa.
Namun, keadilan sosial -- sebagai sila ke-5 Pancasila -- tidak boleh berhenti pada tangan-tangan kedermawanan. Sebagaimana dikatakan Nelson Mandela, "Menghapuskan kemiskinan bukanlah tindakan kedermawanan, melainkan keadilan." Filantropi adalah pelengkap, bukan pengganti tanggung jawab negara. Sinergi antara lembaga filantropi dan negara harus menjadi panggung utama, dengan komitmen pada transparansi, akuntabilitas, dan visi jangka panjang untuk menciptakan keadilan yang berkelanjutan.
Yang juga penting diingat adalah filantropi yang ideal bukan hanya tentang memberikan bantuan, tetapi juga menciptakan pemberdayaan (empowerment) bagi masyarakat.
Program-program filantropi harus dirancang untuk membangun kemandirian, bukan ketergantungan. Di sinilah letak tantangan besar: memastikan bahwa penerima manfaat tidak tumbuh dalam budaya ingin dikasihani, atau lebih buruk lagi, sengaja terlihat miskin agar terus mendapatkan bantuan.
Seperti kata pepatah, "Berikan kail, bukan hanya ikan." Bantuan yang bersifat sementara memang penting untuk menangani kebutuhan mendesak. Tetapi tanpa strategi pemberdayaan, bantuan tersebut hanya menjadi solusi jangka pendek. Sebuah komunitas yang diberdayakan seharusnya mampu mengambil kendali atas nasibnya sendiri, melahirkan inisiatif-inisiatif lokal, dan memutus rantai kemiskinan yang membelenggu.
Di tengah ironi kemiskinan di negeri yang disebut "tanah surga," Dompet Dhuafa telah menunjukkan bahwa harapan tidak pernah benar-benar mati. Filantropi menjadi oase yang menyejukkan, memberi kehidupan di tengah gersangnya keadilan sosial.
Filantropi memang telah menyentuh hati dan mengubah hidup banyak orang. Tetapi keadilan, seperti kata Nelson Mandela, harus menjadi fondasi yang kokoh---bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk masa depan.
Maka di sini negara harus hadir, bukan sekadar sebagai pengatur, tetapi sebagai pelindung dan pelayan rakyatnya. Sebab, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka."
Usai acara, saya keluar gedung, disambut sinar matahari hangat. Ada keyakinan yang terbawa bahwa membangun bangsa yang berkeadilan adalah tugas kita bersama. Karena pada akhirnya, bukan jumlah uang yang kita kumpulkan atau janji yang kita sampaikan yang akan dikenang. Melainkan, seberapa jauh kita mampu menghapuskan ketimpangan dan mengembalikan kemanusiaan kepada mereka yang telah lama kehilangan harapan.