Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lembaga Filantropi di Tengah Ketimpangan

3 Februari 2025   06:58 Diperbarui: 3 Februari 2025   06:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Indonesia Humanitarian Summit (I-Hits) Dompet Dhuafa,, Hall Usmar Ismail, Jakarta, 26 Februari 2025 (Sumber: Dokumen pribadi) 

Saya hadir di sana bukan hanya sebagai tamu undangan saja, tetapi juga sebagai saksi atas semangat kolektif. Agenda tahunan seperti Public Expose and Poverty Outlook adalah ruang di mana negara dan masyarakat sipil dapat menjalin harmoni. Namun, harmoni itu harus melampaui panggung, menjadi gerakan nyata yang menjangkau hingga lapisan terdalam masyarakat.

Saya teringat Hadis Nabi Muhammad SAW, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." Hadis ini menegaskan bahwa kebermanfaatan sejati adalah inti dari keimanan dan kemanusiaan. Esensi Dompet Dhuafa adalah melanjutkan tradisi tangan-tangan yang membantu itu---sebuah tradisi gotong-royong yang telah menjadi DNA bangsa.

Namun, keadilan sosial -- sebagai sila ke-5 Pancasila -- tidak boleh berhenti pada tangan-tangan kedermawanan. Sebagaimana dikatakan Nelson Mandela, "Menghapuskan kemiskinan bukanlah tindakan kedermawanan, melainkan keadilan." Filantropi adalah pelengkap, bukan pengganti tanggung jawab negara. Sinergi antara lembaga filantropi dan negara harus menjadi panggung utama, dengan komitmen pada transparansi, akuntabilitas, dan visi jangka panjang untuk menciptakan keadilan yang berkelanjutan.

 Membantu yang membutuhkan. (Ilustrasi: https://suaraaisyiyah.id/)
 Membantu yang membutuhkan. (Ilustrasi: https://suaraaisyiyah.id/)

Yang juga penting diingat adalah filantropi yang ideal bukan hanya tentang memberikan bantuan, tetapi juga menciptakan pemberdayaan (empowerment) bagi masyarakat.

Program-program filantropi harus dirancang untuk membangun kemandirian, bukan ketergantungan. Di sinilah letak tantangan besar: memastikan bahwa penerima manfaat tidak tumbuh dalam budaya ingin dikasihani, atau lebih buruk lagi, sengaja terlihat miskin agar terus mendapatkan bantuan.

Seperti kata pepatah, "Berikan kail, bukan hanya ikan." Bantuan yang bersifat sementara memang penting untuk menangani kebutuhan mendesak. Tetapi tanpa strategi pemberdayaan, bantuan tersebut hanya menjadi solusi jangka pendek. Sebuah komunitas yang diberdayakan seharusnya mampu mengambil kendali atas nasibnya sendiri, melahirkan inisiatif-inisiatif lokal, dan memutus rantai kemiskinan yang membelenggu.

Di tengah ironi kemiskinan di negeri yang disebut "tanah surga," Dompet Dhuafa telah menunjukkan bahwa harapan tidak pernah benar-benar mati. Filantropi menjadi oase yang menyejukkan, memberi kehidupan di tengah gersangnya keadilan sosial.

Filantropi memang telah menyentuh hati dan mengubah hidup banyak orang. Tetapi keadilan, seperti kata Nelson Mandela, harus menjadi fondasi yang kokoh---bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk masa depan.

Maka di sini negara harus hadir, bukan sekadar sebagai pengatur, tetapi sebagai pelindung dan pelayan rakyatnya. Sebab, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka."

Usai acara, saya keluar gedung, disambut sinar matahari hangat. Ada keyakinan yang terbawa bahwa membangun bangsa yang berkeadilan adalah tugas kita bersama. Karena pada akhirnya, bukan jumlah uang yang kita kumpulkan atau janji yang kita sampaikan yang akan dikenang. Melainkan, seberapa jauh kita mampu menghapuskan ketimpangan dan mengembalikan kemanusiaan kepada mereka yang telah lama kehilangan harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun