Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pelajaran dari Kabar Hoaks Meninggalnya Acil Bimbo

1 Februari 2025   21:44 Diperbarui: 1 Februari 2025   22:49 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Usia di atas 50 tahun adalah kelompok yang paling rentan terpapar hoaks. (Sumber: Image Creator Microsoft Bing)

Pelajaran dari Hoaks Meninggalnya Acil Bimbo

Oleh Dikdik Sadikin

"Kebohongan yang diulang seribu kali akan menjadi kebenaran." 

KALIMAT yang sering dikaitkan dengan Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi, mungkin terdengar berlebihan. Tapi dalam lanskap digital hari ini, ada sepotong kebenaran yang sulit dibantah. Di grup-grup WhatsApp, di mana obrolan mengalir lebih deras daripada kesabaran untuk memeriksa fakta, kebohongan sering kali tidak perlu diulang seribu kali. Cukup sekali saja, dan ia meluncur seperti bola salju di lereng curam.

Di meja makan atau di warung kopi, dulu kabar burung menyebar lewat bisik-bisik. Sekarang, dengan gawai dalam genggaman, bisik-bisik itu menjelma menjadi ledakan viral.

Namun, bedanya, kabar burung di masa lalu membutuhkan waktu untuk mencapai banyak orang. Hari ini, cukup satu ketukan jari, satu klik tombol forward, dan kebohongan pun melesat lebih cepat dari klarifikasi.

Seorang teman mengirim kabar duka: "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, telah berpulang Acil Bimbo." Belum sempat kita bertanya dari mana sumbernya, pesan itu sudah melesat ke grup-grup lain. Doa-doa mengalir, ucapan belasungkawa berhamburan. Tak ada yang curiga, tak ada yang bertanya: "Apakah ini benar?"

Dua jam kemudian, sebuah klarifikasi muncul. Acil Bimbo masih hidup, sehat, mungkin sedang duduk di beranda rumahnya sambil menyeruput teh. Tapi siapa peduli? Jemari sudah bergerak lebih cepat daripada nalar. Kabar bohong itu telah menyusup ke ratusan grup, beranak-pinak dalam kecepatan yang tak tertandingi oleh permintaan maaf.

Data dan Fakta tentang Hoaks di Indonesia

Menurut laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo, sekarang Komdigi) 2024, Indonesia berada di peringkat teratas dalam penyebaran hoaks di Asia Tenggara. Laporan dari We Are Social 2024 mencatat bahwa 76% pengguna internet Indonesia mendapatkan informasi dari media sosial, termasuk WhatsApp, Facebook, dan TikTok---sebuah ekosistem yang subur bagi penyebaran informasi yang tidak terverifikasi.

Data dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia)  2024 menunjukkan bahwa dari 2.710 hoaks yang terdeteksi sepanjang 2023, 42% di antaranya terkait dengan politik, 27% terkait kesehatan, dan sisanya mencakup ekonomi, sosial, hingga selebriti. Kasus-kasus viral seperti kabar bohong meninggalnya sejumlah tokoh publik, vaksinasi COVID-19 yang disebut berbahaya, hingga teori konspirasi pemilu hanyalah beberapa contoh betapa rentannya masyarakat terhadap manipulasi informasi.

Lebih spesifik, survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) 2023 menyatakan bahwa usia di atas 50 tahun adalah kelompok yang paling rentan terpapar hoaks, dengan 58% di antaranya mengaku pernah menyebarkan informasi yang ternyata keliru. Banyak di antara mereka tidak menyadari mekanisme penyaringan berita, sementara sebagian lainnya menyebarkan berita tanpa membaca isi secara penuh.

Mengapa Orang Tua Lebih Mudah Percaya Hoaks?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun