Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas (“Soekarno, Mahathir dan Megawati”, 3 November 2003, dan terakhir “Jumlah Kursi Menteri dan Politik Imbalan”, Kompas 9 Oktober 2024). Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Simfoni di Bawah Langit Ottawa

23 Desember 2024   15:07 Diperbarui: 23 Desember 2024   15:07 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salju turun lembut di Ottawa, menutup jalan-jalan dengan warna putih yang dingin.

Dari aula Global Affairs Canada di 125 Sussex Drive, Isabelle memandang keluar melalui jendela besar yang menghadap Sungai Ottawa. Jauh di kejauhan, Parliament Hill berdiri kokoh. Kota ini telah menjadi tempat Isabelle menemukan ritme baru dalam hidupnya---ritme yang ia paksakan untuk tidak terganggu oleh kenangan.

Isabelle mengatur presentasi terakhirnya untuk konferensi internasional tentang kesetaraan gender. Sebagai seorang diplomat muda dengan ambisi besar, Isabelle percaya bahwa Ottawa bukan hanya pusat politik Kanada, tetapi juga pusat perasaan-perasaan yang lama tersembunyi di hatinya.

Dia tidak menyangka Rafael akan muncul di tengah salju yang seolah menyimpan sunyi kota ini. Lelaki itu datang tanpa pemberitahuan. Rafael, nama yang tak pernah dia lupakan sejak mereka berbagi mimpi yang sama di Universitas Sorbonne, lima tahun lalu.

Kini Rafael berdiri di pintu aula, mengenakan mantel wol hitam dengan kerahnya sedikit basah oleh salju. Senyum kecil tersungging di wajahnya.

 "Isabelle," panggilnya, suara itu menembus kehangatan palsu aula, membawa dingin dari luar ke dalam ruangan.
 "Kupikir kita akan bertemu di Cafe Moulin de Provence," Rafael berkata sambil berjalan mendekat. Suaranya mengisi ruangan kosong, menggetarkan hati Isabelle lebih dari suara lonceng gedung paroki Notre-Dame Basilica di dekatnya.
"Tapi aku tak bisa menunggu," tambahnya.

Isabelle mencoba tetap tenang. "Jadi kau langsung ke sini?"

Rafael mengangguk sambil tersenyum. "Tempat ini lebih... berarti bagiku."
"Ada sesuatu yang selalu ingin kukatakan," katanya dengan nada pelan. "Di Sorbonne, aku berkata kita akan mengubah dunia bersama. Namun aku sadar, dunia yang ingin aku ubah tidak berarti tanpa kau di dalamnya. Ottawa bukan hanya kotamu, Isabelle, itu adalah rumah yang kuinginkan untuk kita."

Isabelle ingin percaya, tetapi bayangan masa lalu yang ia kubur di bawah salju Sussex Drive mendadak muncul lagi. Dia membuka mulut untuk berbicara, tetapi suara dering teleponnya memotong.

"Isabelle," panggil suara koleganya dari ujung ruangan. "Presentasimu akan dimulai lima menit lagi."

Isabelle menatap Rafael sejenak. Lalu, tanpa kata, ia berbalik dan melangkah pergi. Tapi bayangan pria itu, dan kata-katanya, masih menggema dalam benaknya.

***

Lima tahun lalu, di Universitas Sorbonne, Paris, Isabelle dan Rafael hanyalah dua mahasiswa ambisius yang membagi mimpi mereka di antara lorong-lorong tua dan caf kecil di Rue Saint-Jacques. Setelah jam kuliah, mereka biasa duduk di sudut kafe La Petite Perle, menikmati kopi hitam yang lebih pahit daripada percakapan mereka tentang dunia.

"Aku ingin mengubah cara dunia melihat kesetaraan," Isabelle pernah berkata dengan semangat yang menyala-nyala. Rafael, dengan seringai kecilnya, menjawab, "Et moi, je vais te soutenir. Aku akan memastikan kau berhasil."

Namun, waktu seperti aliran Sungai Seine yang tak pernah berhenti. Rafael menerima tawaran pekerjaan di Brussel, sebuah posisi penting di European Commission yang melibatkan diplomasi multilateral dan hubungan antarnegara. Di sana, ia menjadi salah satu tokoh muda yang menonjol dalam menyusun kebijakan perdagangan hijau dan kerja sama energi lintas benua.

Saat Rafael memilih Brussel untuk kariernya, Isabelle tetap di Paris, mengemas luka itu dalam folder-folder pekerjaannya. Ottawa kemudian menjadi tempat yang ia pilih untuk mengubur kenangan. Tapi ternyata kenangan itu justru hidup di sini, di Sussex Drive, di tengah salju yang turun perlahan.  

Ada pun Rafael, di tengah kesibukan yang membawanya ke berbagai ibu kota dunia, ia merasa kehilangan sesuatu yang tak tergantikan.

"Di Brussel, aku punya segalanya," Rafael pernah merenung kepada seorang kolega. "Tapi setiap pencapaian hanya terasa setengah penuh. Aku sadar, dunia yang kubangun ini kosong tanpa Isabelle."

Setelah bertahun-tahun menghindar dari perasaan itu, Rafael membuat keputusan besar. Ottawa adalah jawabannya. Ia tidak hanya datang untuk Isabelle, tetapi juga karena kota ini menawarkan panggung baru untuk mimpinya---menghubungkan kebijakan Kanada dan Eropa dalam isu-isu global seperti perubahan iklim dan kesetaraan gender.

***

Hari berikutnya, konferensi berlanjut di Treasury Board Offices, 90 Elgin Street. Sesi di Treasury Board Offices selesai lebih cepat dari jadwal. Isabelle melangkah keluar melalui Rideau Street, berharap udara dingin bisa menjernihkan pikirannya. Salju yang turun makin lebat, membuat langkah-langkahnya meninggalkan jejak yang cepat tertutup lagi.

Isabelle melihat Rafael sedang berbincang dengan seorang perwakilan dari Asia. Mereka berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke Rideau Canal yang membeku. Saat Rafael menyadari tatapan Isabelle, dia menyelipkan percakapan itu dengan alasan yang tak jelas, lalu berjalan mendekat. Isabelle mencoba menjaga jarak. Dia menghindari Rafael, membiarkan pekerjaan menjadi tameng. Tapi Rafael bukan lelaki yang menyerah. Saat Isabelle keluar dari ruang rapat, Rafael menyusulnya di Rideau Street.

Dia tidak terkejut ketika Rafael muncul di belakangnya.  

"Kenapa kau menghindariku?" tanya Rafael, suaranya tegas namun penuh rasa ingin tahu.
Isabelle menoleh, menatapnya dengan mata yang penuh pertanyaan. "Kenapa kau baru datang sekarang? Lima tahun, Rafael. Lima tahun aku menunggu jawaban."

Rafael terdiam, lalu berkata pelan, "Aku pikir kau lebih memilih Ottawa daripada aku."
Kata-kata itu menusuk Isabelle. "Bukan aku yang memilih meninggalkanmu. Kau yang pergi ke Brussel tanpa penjelasan."

"Kupikir, dengan mimpimu, Ottawa akan lebih baik bagimu. Aku tak ingin menjadi penghalang," jawab Rafael, nadanya penuh penyesalan.

Isabelle menghela napas, mencoba menahan emosinya. "Rafael, Ottawa bukan tentang kota. Ini tentang aku mencoba melupakanmu."

Rafael menatap Isabelle dengan sorot mata yang dalam. "Dan kau berhasil?"

Pertanyaan itu membuat Isabelle terdiam. Kenyataan bahwa dia tidak bisa menjawab adalah bukti bahwa ia tidak pernah benar-benar melupakan Rafael.

"Aku tidak akan meminta maaf," katanya, memecah keheningan.  

Isabelle mengangkat alis, menantang. "Lalu apa yang kau inginkan?"  

"Aku ingin kita bicara tentang masa depan."  

Rafael mendekat, menyusul Isabelle yang tetap bergegas. "Di Sorbonne, aku berkata bahwa kita akan mengubah dunia bersama. Tapi aku bodoh, Isabelle. Aku memilih jalan sendiri, dan kurasa itu adalah cara yang benar. Tapi ternyata, dunia yang ingin aku ubah tidak berarti tanpa kau di dalamnya."  

"Dan kau pikir aku bisa begitu saja melupakan lima tahun dengan terluka?" Isabelle bertanya, suaranya mulai retak.  

Rafael menghela nafas sejenak. "Luka itu bukan untuk dilupakan, Isabelle. Luka itu untuk diingat, supaya kita tidak mengulanginya. Aku memilih Ottawa bukan untuk pekerjaan, Isabelle. Aku memilihnya karena aku tahu kau di sini. Aku tidak ingin membuktikan apapun lagi. Aku hanya ingin berada di tempat yang membuatku merasa utuh, dan tempat itu adalah di sisimu."

Isabelle berhenti, memutar tubuh, dan menatapnya dengan mata yang berkilat. "Kau meninggalkan aku, Rafael. Kau pikir setelah lima tahun aku akan menyambutmu seperti tidak ada yang terjadi?"  

"Kau selalu seperti ini, Isabelle," Rafael tersenyum kecil. "Tu essayes d'oublier quelque chose que tu ne peux pas. Kau mencoba melupakan sesuatu yang tidak bisa kau hapus."
Isabelle berhenti, menatapnya. "Kau yang pergi, Rafael. Kau meninggalkan semuanya tanpa jawaban."

Rafael terdiam sejenak. "Aku pikir aku melakukan hal yang benar. Tapi aku salah. Dunia yang kubangun tidak pernah terasa utuh tanpa kau di dalamnya."

Isabelle menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa mempercayaimu lagi."

Dia berbalik dan melangkah pergi, memanggil taksi. Meninggalkan Rafael berdiri sendirian di tengah salju yang terus turun.

***

Benak Rafael masih diselimuti kegelisahan atas penolakan Isabelle. Rafael meninggalkan Treasury Board Offices, 90 Elgin Street, untuk kembali ke apartemennya di sekitar ByWard Market.

Mobilnya perlahan melaju di atas jalanan bersalju. Salju yang turun semakin deras, menyelimuti jalan-jalan dengan lapisan licin.

Di sudut King Edward Avenue, Rafael melihat truk besar yang meluncur tak terkendali ke arahnya. Dia membanting setir, mencoba menghindar, tetapi jalan terlalu licin. Mobilnya tergelincir, berputar, dan menabrak pembatas jalan. Dentuman keras memecah kesunyian jalan bersalju itu.

Rafael sempat mendengar suara alarm mobil berbunyi, tubuhnya nyeri, nafasnya terasa sesak. Setelah itu gelap.

***

Isabelle masih di kantornya ketika telepon itu datang. Suara seorang kolega, mengatakan sesuatu yang membuat dunianya berhenti.  

"Rafael mengalami kecelakaan..!" kata suara di telpon itu.

Tangannya gemetar saat menutup telepon. Hatinya berguncang hebat. Pikirannya penuh dengan bayangan Rafael. Tanpa menunggu lama, dia meraih mantel dan berlari keluar.  

Di dalam taksi, Isabelle memikirkan segala hal yang tidak pernah dia katakan. Bagaimana dia sebenarnya tidak pernah benar-benar melupakan Rafael. Bagaimana dia merasa kehilangan setiap kali mengenang Paris. Dan bagaimana, jika Rafael pergi selamanya, dia tidak tahu apakah dia bisa menghadapinya.  

"Please," bisiknya, nyaris seperti doa. "Don't leave me again."  

***

Ketika Isabelle tiba di Ottawa Hospital, lorong-lorongnya terasa dingin, penuh dengan bau antiseptik yang menyesakkan. Isabelle berlari ke ruang gawat darurat. Dia hampir tidak mengenali Rafael yang terbaring di ranjang, wajahnya pucat, dengan perban melilit di dahi dan lengan kirinya tergantung di gips.

Isabelle mendekat perlahan, matanya basah oleh air mata yang sudah lama ia tahan.
Rafael membuka matanya perlahan, seakan-akan mendengar kehadirannya.

"Tu es l," bisik Rafael, lemah tapi terdengar lega. "Kau datang." Pria itu membuka mata perlahan. Dan ketika pandangan mereka bertemu, sebuah senyum kecil muncul di wajah Rafael.  

"Diam," kata Isabelle, suaranya bergetar. "Kau tidak boleh bicara. Kau hanya perlu bertahan."
Rafael tersenyum tipis. "Je suis dsol... Aku minta maaf."

"Cukup," Isabelle memotongnya, air matanya mulai jatuh. "Kau tidak perlu bicara. Aku tidak akan pergi dari sini."

Kata-kata itu keluar begitu saja, tetapi di hatinya Isabelle tahu itu benar. Dia tidak ingin kehilangan Rafael untuk kedua kali.

Di bawah langit Ottawa yang dingin, Isabelle tahu hatinya telah menemukan jalannya kembali. Malam itu, salju turun lagi, kali ini melukis cerita baru di jalan-jalan Ottawa. Untuk pertama kalinya, mereka merasakan Ottawa seperti rumah---tempat mereka memulai simfoni baru.   Sebuah cerita tentang cinta yang akhirnya menemukan waktunya.

Bogor, 1 Desember  2024

Dikdik Sadikin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun