Ottawa, menutup jalan-jalan dengan warna putih yang dingin.
Salju turun lembut diDari aula Global Affairs Canada di 125 Sussex Drive, Isabelle memandang keluar melalui jendela besar yang menghadap Sungai Ottawa. Jauh di kejauhan, Parliament Hill berdiri kokoh. Kota ini telah menjadi tempat Isabelle menemukan ritme baru dalam hidupnya---ritme yang ia paksakan untuk tidak terganggu oleh kenangan.
Isabelle mengatur presentasi terakhirnya untuk konferensi internasional tentang kesetaraan gender. Sebagai seorang diplomat muda dengan ambisi besar, Isabelle percaya bahwa Ottawa bukan hanya pusat politik Kanada, tetapi juga pusat perasaan-perasaan yang lama tersembunyi di hatinya.
Dia tidak menyangka Rafael akan muncul di tengah salju yang seolah menyimpan sunyi kota ini. Lelaki itu datang tanpa pemberitahuan. Rafael, nama yang tak pernah dia lupakan sejak mereka berbagi mimpi yang sama di Universitas Sorbonne, lima tahun lalu.
Kini Rafael berdiri di pintu aula, mengenakan mantel wol hitam dengan kerahnya sedikit basah oleh salju. Senyum kecil tersungging di wajahnya.
"Isabelle," panggilnya, suara itu menembus kehangatan palsu aula, membawa dingin dari luar ke dalam ruangan.
"Kupikir kita akan bertemu di Cafe Moulin de Provence," Rafael berkata sambil berjalan mendekat. Suaranya mengisi ruangan kosong, menggetarkan hati Isabelle lebih dari suara lonceng gedung paroki Notre-Dame Basilica di dekatnya.
"Tapi aku tak bisa menunggu," tambahnya.
Isabelle mencoba tetap tenang. "Jadi kau langsung ke sini?"
Rafael mengangguk sambil tersenyum. "Tempat ini lebih... berarti bagiku."
"Ada sesuatu yang selalu ingin kukatakan," katanya dengan nada pelan. "Di Sorbonne, aku berkata kita akan mengubah dunia bersama. Namun aku sadar, dunia yang ingin aku ubah tidak berarti tanpa kau di dalamnya. Ottawa bukan hanya kotamu, Isabelle, itu adalah rumah yang kuinginkan untuk kita."
Isabelle ingin percaya, tetapi bayangan masa lalu yang ia kubur di bawah salju Sussex Drive mendadak muncul lagi. Dia membuka mulut untuk berbicara, tetapi suara dering teleponnya memotong.
"Isabelle," panggil suara koleganya dari ujung ruangan. "Presentasimu akan dimulai lima menit lagi."
Isabelle menatap Rafael sejenak. Lalu, tanpa kata, ia berbalik dan melangkah pergi. Tapi bayangan pria itu, dan kata-katanya, masih menggema dalam benaknya.