Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesetaraan Gender, Budaya dan Pancasila

23 Desember 2024   10:56 Diperbarui: 24 Desember 2024   06:02 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Image Creator, Bing)

Dalam dunia tanpa batasan gender, Indonesia bisa menjadi tanah harapan. Bayangkan jika setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, didorong untuk mengejar mimpi tanpa pandang bulu. Bayangkan jika STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) tidak lagi menjadi monopoli laki-laki, dan pekerjaan rumah tangga tidak dilihat sebagai tanggung jawab perempuan semata.

Laporan McKinsey Global Institute pada 2021 menyebutkan bahwa jika kesetaraan gender di Indonesia tercapai, PDB negara ini bisa meningkat hingga 9% pada tahun 2030. Namun, untuk menuju ke sana, butuh perubahan paradigma yang dimulai dari rumah, sekolah, dan tempat kerja.

Program-program seperti HeForShe, yang mengajak laki-laki menjadi bagian dari perjuangan kesetaraan gender, perlu diperluas. Selain itu, pendekatan berbasis Gender Budget Analysis (GBA Plus) seperti yang diterapkan di Kanada, bisa diadaptasi untuk memastikan kebijakan pemerintah benar-benar inklusif.

Kesetaraan Gender, Tradisi, dan Pancasila

Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi keadilan sebagai salah satu nilai utama yang terkandung dalam Pancasila, khususnya sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan ini tidak hanya meliputi aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga keadilan dalam peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan.

Dalam konteks budaya, norma gender di Indonesia sering kali dipengaruhi oleh adat istiadat dan nilai-nilai agama. Namun, nilai-nilai ini kalau kita kaji, sesungguhnya tidak bertentangan dengan semangat keadilan yang diamanatkan Pancasila. Sebaliknya, tradisi dan agama sering kali mengajarkan tentang kesalingan, tanggung jawab, dan harmoni yang menjadi dasar dalam membangun kesetaraan gender.

Berbicara kesetaraan gender dikaitkan dengan budaya, kita tidak bisa lepaskan dengan budaya masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Di situ, perempuan memegang peran penting sebagai penjaga harta pusaka dan pewaris tanah, sementara laki-laki bertanggung jawab sebagai perantau yang membawa pengalaman dan pengetahuan baru. Tradisi ini menunjukkan pembagian tanggung jawab yang adil berdasarkan kapasitas dan peran sosial, selaras dengan semangat keadilan dalam Pancasila.

Namun, tradisi ini harus dipahami dalam konteks yang lebih luas. Dalam Islam, misalnya, pembagian warisan yang memberikan porsi lebih besar kepada laki-laki tidak dimaksudkan untuk mendominasi perempuan, tetapi karena laki-laki diberikan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Nilai ini sejalan dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menempatkan prinsip keadilan dalam koridor nilai-nilai agama.

Adat Lokal dan Keadilan Gender

Kesetaraan gender di Indonesia juga bisa ditemukan dalam nilai-nilai tradisional. Dalam masyarakat Jawa, konsep "konco wingking" atau teman di belakang sering disalahartikan sebagai subordinasi perempuan. Namun, jika dilihat dari perspektif lokal, istilah ini justru mencerminkan prinsip harmoni, di mana laki-laki dan perempuan saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama. Prinsip ini mencerminkan sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, yang mengedepankan kerja sama dan kesatuan peran dalam kehidupan bermasyarakat.

Di Bali, perempuan turut serta dalam ritual adat seperti ngaben, dan peran mereka diakui setara dengan laki-laki dalam menjaga keseimbangan spiritual. Tradisi ini mengajarkan bahwa harmoni sosial hanya bisa tercapai ketika laki-laki dan perempuan sama-sama berperan aktif, sejalan dengan sila kelima Pancasila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun