Dalam dunia tanpa batasan gender, Indonesia bisa menjadi tanah harapan. Bayangkan jika setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, didorong untuk mengejar mimpi tanpa pandang bulu. Bayangkan jika STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) tidak lagi menjadi monopoli laki-laki, dan pekerjaan rumah tangga tidak dilihat sebagai tanggung jawab perempuan semata.
Laporan McKinsey Global Institute pada 2021 menyebutkan bahwa jika kesetaraan gender di Indonesia tercapai, PDB negara ini bisa meningkat hingga 9% pada tahun 2030. Namun, untuk menuju ke sana, butuh perubahan paradigma yang dimulai dari rumah, sekolah, dan tempat kerja.
Program-program seperti HeForShe, yang mengajak laki-laki menjadi bagian dari perjuangan kesetaraan gender, perlu diperluas. Selain itu, pendekatan berbasis Gender Budget Analysis (GBA Plus) seperti yang diterapkan di Kanada, bisa diadaptasi untuk memastikan kebijakan pemerintah benar-benar inklusif.
Kesetaraan Gender, Tradisi, dan Pancasila
Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi keadilan sebagai salah satu nilai utama yang terkandung dalam Pancasila, khususnya sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan ini tidak hanya meliputi aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga keadilan dalam peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam konteks budaya, norma gender di Indonesia sering kali dipengaruhi oleh adat istiadat dan nilai-nilai agama. Namun, nilai-nilai ini kalau kita kaji, sesungguhnya tidak bertentangan dengan semangat keadilan yang diamanatkan Pancasila. Sebaliknya, tradisi dan agama sering kali mengajarkan tentang kesalingan, tanggung jawab, dan harmoni yang menjadi dasar dalam membangun kesetaraan gender.
Berbicara kesetaraan gender dikaitkan dengan budaya, kita tidak bisa lepaskan dengan budaya masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Di situ, perempuan memegang peran penting sebagai penjaga harta pusaka dan pewaris tanah, sementara laki-laki bertanggung jawab sebagai perantau yang membawa pengalaman dan pengetahuan baru. Tradisi ini menunjukkan pembagian tanggung jawab yang adil berdasarkan kapasitas dan peran sosial, selaras dengan semangat keadilan dalam Pancasila.
Namun, tradisi ini harus dipahami dalam konteks yang lebih luas. Dalam Islam, misalnya, pembagian warisan yang memberikan porsi lebih besar kepada laki-laki tidak dimaksudkan untuk mendominasi perempuan, tetapi karena laki-laki diberikan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Nilai ini sejalan dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menempatkan prinsip keadilan dalam koridor nilai-nilai agama.
Adat Lokal dan Keadilan Gender
Kesetaraan gender di Indonesia juga bisa ditemukan dalam nilai-nilai tradisional. Dalam masyarakat Jawa, konsep "konco wingking" atau teman di belakang sering disalahartikan sebagai subordinasi perempuan. Namun, jika dilihat dari perspektif lokal, istilah ini justru mencerminkan prinsip harmoni, di mana laki-laki dan perempuan saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama. Prinsip ini mencerminkan sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, yang mengedepankan kerja sama dan kesatuan peran dalam kehidupan bermasyarakat.
Di Bali, perempuan turut serta dalam ritual adat seperti ngaben, dan peran mereka diakui setara dengan laki-laki dalam menjaga keseimbangan spiritual. Tradisi ini mengajarkan bahwa harmoni sosial hanya bisa tercapai ketika laki-laki dan perempuan sama-sama berperan aktif, sejalan dengan sila kelima Pancasila.