Mohon tunggu...
Dikdik Kodarusman
Dikdik Kodarusman Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Peminat kajian autofagi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bumi Ibu Pertiwi

28 Juli 2022   10:58 Diperbarui: 28 Juli 2022   11:01 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Salah satu misteri peradaban adalah Tuhan. Sebelum munculnya peradaban manusia tidak mengenal Tuhan. Hari-harinya tak lebih seperti hewan-hewan lainnya. Mencari makan, bercengkerama dengan kelompoknya dan berkembang biak. Seperti itu setiap harinya. Setidaknya itulah yang bisa diceritakan oleh temuan arkeologis tentang manusia purba. 

Perubahan mencolok muncul saat lahirnya peradaban. Manusia mulai memiliki kemampuan kompleks. Kemampuan berfikir yang didasari konsumsi glukosa berlebih. Sebelumnya kemampuan berfikir manusia sangat sederhana. Tidak berbeda dengan hewan lain. 

Hewan tidak berpakaian, manusia juga. Hewan punya insting berburu dalam kelompok, manusia juga. Hewan ketakutan melihat hewan lain yang lebih besar dan kuat, manusia juga. Hewan bersarang di gua, manusia juga. Semuanya sama persis. 

Perubahan mulai terlihat saat lahir peradaban. Manusia mulai menyatakan dirinya berbeda dengan hewan lain. Bahkan menyebut dirinya bukan hewan. Bukan bagian animalia. 

Manusia mulai berpakaian. Manusia mulai membangun rumah. Manusia mulai mengumpulkan dan menumpuk makanan. Manusia mulai melukis, punya rasa seni. Membuat perkakas alat bantu. Mulai punya keberanian menghadapi hewan yang lebih besar dan lebih kuat darinya. Mulai menaklukan api. 

Tapi ada satu yang tidak berubah, rasa takut. Manusia tetap memiliki rasa takut, rasa terancam. Bahkan semakin menjadi sejalan dengan berkembangnya kemampuan berfikir. 

Sebelumnya manusia hanya takut pada sesuatu yang terlihat, yang nyata. Manusia hanya takut pada hewan yang lebih kuat dan lebih besar darinya. Sekarang manusia mulai takut pada ulat, pada kecoak, pada cicak, pada mahluk-mahluk tidak berdaya yang dulu jadi santapannya. Sebutannya jijik. 

Sebelumnya manusia hanya takut pada petir yang menyambar, pada api yang membakar. Sekarang manusia mulai takut dengan hangatnya cahaya matahari, basah air hujan, kegelapan malam. Semakin cerdas, semakin banyak yang ditakuti. Semakin sadar akan kelemahan dirinya di hadapan SEMESTA. 

Semakin cerdas makin sadar akan banyak hal yang tidak diketahuinya. Hal yang menjadikan rasa takutnya semakin menjadi. Manusia mulai membutuhkan sesuatu yang bisa mengatasi rasa takutnya. Rasa takut akan sesuatu yang tidak diketahuinya, yang tidak dipahaminya. 

Manusia makin sadar akan hubungannya dengan alam. Dengan segala sesuatu yang bergerak dan tidak bergerak. Dengan segala sesuatu yang terlihat dan tidak terlihat. Dengan segala ide konkrit dan abstrak. Makin memuncak ketakutan manusia. Sehingga manusia mulai menyimpulkan kekuatan yang luar biasa hebat yang menghubungkan segala sesuatu di alam. Yang menggerakkan segala sesuatu di alam. Yang memberikan rasa segala sesuatu di alam...TUHAN 

Tuhan adalah ide paling abstrak dari kecerdasan manusia. Puncak kecerdasan manusia yang didorong oleh rasa takut, rasa terancam. Rasa yang diwarisi sejak masih berupa gen. 

Iya, gen memiliki sifat dasar survival. Mempertahankan eksistensinya sejak mulai terbentuk dari sekumpulan asam amino. Tanpa rasa terancam gen, tidak akan pernah terjadi replukasi sel. Tidak akan terjadi perkembangan evolusi mahluk hidup sekompleks saat ini. Semuanya dari rasa takut. Rasa yang mendasari semua bentuk kehidupan di bumi. 

Dengan takut manusia mengenal TUHAN. Tapi perkembangan kecerdasan manusia tetap ada batasnya. Manusia sulit mendefinisikan TUHANnya. Manusia membutuhkan wujud TUHAN. 

Kebutuhan yang secara indah disampaikam Musa di gunung Sinai. Kebutuhan yang diceritakan dalam kisah pencarian TUHAN oleh Ibrahim, Abraham, Brahm atau apapun versinya. 

Musa bukannya tidak paham akan ide abstrak TUHAN. Dia hidup ditengah keturunan Israel yang telah mengenal ide TUHAN. Dia pernah hidup di tengah bangsa Mesir yang memiliki ide TUHAN yang beragam. Tapi kebutuhannya akan wujud, akan rupa mendesak SEMESTA untuk mewujudkan keinginannya. Musa melihat TUHAN dalam wujud api suci yang tidak menghanguskan. Yang membuatnya hilang kesadaran. 

Abraham, Ibrahim, Brahm atau apapun versinya memiliki kebutuhan yang sama. Membutuhkan wujud TUHAN. Wujud TUHAN yang dicari ditengah keheningan gurun pasir. Ditengah tempat yang paling membuat seseorang sangat ketakutan, sangat merasa terancam, saat merasa sendiri dan kesepian. 

Padang pasir dan puncak gunung adalah dua tempat dimana manusia bisa merasakan rasa takut yang paling hebat. Rasa kesendirian, rasa kesepian, rasa keterasingan. Hanya para pemberani yang mampu melakukan itu. Mereka yang berani memisahkan diri dari kelompoknya. Mereka yang meninggalkan rasa aman saat berada dalam kelompoknya. Mereka yang berani keluar kotak nyaman yang bernama keyakinan. 

Itu yang dilakuka Ibrahim, Musa, Sidharta, Isa, Muhammad dan masih banyak lagi. Keluar dari kotak yang bernama rasa aman dan nyaman. 

TUHAN tidak akan memperlihatkan diriNYA pada para pengecut yang bersembunyi di dalam kelompoknya, di dalam komunitasnya, di dalam kotak keyakinannya, di dalam zona aman dan nyaman. 

TUHAN hanya akan memperlihatkan DIRI pada para pemberani. Pada mereka yang berani keluar dari kelompoknya, berani keluar dari komunitasnya, berani keluar dari kotak keyakinannya, berani keluar dari zona aman dan nyaman 

TUHAN hanya ingin berdua dengan para pemberani. Menghilangkan semua sekat, semua hijab, semua tabir, semua batasan yang menghalangi para pemberani dengan DIRINYA. Hanya dengan cara itu kebersamaan menjadi penyatuan. Dua menjadi SATU. Satu menjadi TIADA. 

Itu yang dilakukan para pemberani seperti Ibrahim, Musa, Sidharta, Isa, Muhammad dan masih banyak lainnya. Di saat yang lain merasa aman dan nyaman dengan tuhan yang ada di mesjid, yang ada di gereja, yang ada di pura, yang ada di sinagog, yang ada di kelenteng, yang ada di patung dewa-dewi, para pemberani justru meninggalkan semua itu. 

Ketika yang lain dengan tuhan yang bisa didatangi di rumahnya dan tertinggal di rumahnya. Tidak hadir dalam perdagangannya, tidak hadir dalam pemerintahannya, tidak hadir dalam percintaannya, tidak hadir dalam kehidupannya. Biarkan tuhan ada di rumahnya, dan jika sempat kami akan berkunjung ke rumahnya. 

Para pemberani tidak mau itu. Mereka tidak mau tuhan yang terbatas, tuhan yang terkurung di rumahnya, tuhan yang terpenjara oleh berbagai dogma. Dogma yang diciptakan oleh orang-orang yang mengaku mewakilinya, yang mengaku memahaminya, yang mengaku mengenalnya, yang mengaku melayani kebutuhannya. 

Para pemberani tidak mau itu. Mereka menginginkan wujud TUHAN yang hadir setiap saat, yang selalu terlihat setiap saat,  yang selalu bisa dirasakan keberadaanNYa, yang tidak pernah timbul dan tenggelam 

Inilah yang diinginkan para pemberani. Inilah yang diinginkan Ibrahim, Abraham, Brahm atau apapun versinya saat berada di tengah keheningan gurun. Inilah yang diinginkannya saat menolak matahari sebagai wujud TUHAN, menolak bulan, menolak bintang, menolak gunung, menolak petir, menolak angin, menolak semuanya yang timbul tenggelam. Menolak semua yang datang dan pergi. Hingga akhirnya dia menangis tersedu lalu menjatuhkan wajahnya ke BUMI. " IBU, mengapa selama ini aku melalaikanMU, padahal aku hidup di atas diriMU, aku hidup dari diriMU, tubuhku berasal dariMU,  kelak tubuhku ini akan dikembalikan padaMU", 

Sang Pemberani terus tersungkur dan menangis. Haru bahagia telah berjumpa dengan wujud TUHAN. Menyatu dengan wujud TUHAN. Penyatuan yang dikenal dengan sebutan sujud. Warisan paling berharga bagi umat manusia dari Sang Pemberani, Bapak Semua Bangsa. 

Sayang warisan lestari tapi tak dikenal maknanya. Makna penyatuan dengan wujud TUHAN. Wujud TUHAN yang selalu hadir. Wujud TUHAN yang selalu bisa dirasakan keberadaanNYA. Wujud TUHAN yang tidak datang dan pergi. Wujud TUHAN, BUMI IBU PERTIWI. 

DariNYA kita berasal. Kita hidup di atas diriNYa. Kita bernafas dalam diriNYA. Kita akan kembali tidur, beristirahat diharibaanNYA. IBU 

SALAM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun