Mohon tunggu...
Andika Lawasi
Andika Lawasi Mohon Tunggu... Lainnya - an opinion leader

Rakyat Pekerja

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Rekonstruksi "Civil Society" dari Kultur Eksploitatif Menuju Adaptif

28 Mei 2017   05:38 Diperbarui: 28 Mei 2017   06:12 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini, dengan melihat banyaknya kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas pembangunan yang sangat masif, sudah seharusnya dominasi manusia atas hutan dan alam yang merupakan refleksi dari masyarakat “ pasar” harus dihentikan melalui rekonstruksi civil society, yaitu mengubah masyarakat dengan memandunya dari berperilaku yang eksploitatif menuju perilaku yang ADAPTIF;  Sebuah perilaku yang tidak hanya akan melindungi sumber daya hutan dan lingkungan dari kerusakan masif, tetapi juga akan melindungi masyarakat manusia dari kehancurannya sendiri;  Sebuah sikap yang menurut Aldo Leopold, yang juga dikenal sebagai “ nabi”nya ekologi, adalah intisari “ land ethic ” dimana manusia harus menyesuaikan diri terhadap alam, baik pada level sikap maupun pemikiran.

httpscivitas-uns-ac-idpingkanputeri20170321portofolio-291529-5929ff7c8e7e61d7268f5083.jpg
httpscivitas-uns-ac-idpingkanputeri20170321portofolio-291529-5929ff7c8e7e61d7268f5083.jpg
Merekonstruksi civil society dalam perspektif “ land ethic“ adalah sebuah tugas “suci” membentuk kembali tatanan masyarakat yang mampu berhubungan dengan alam dengan cara bersahabat, bukan justru berhubungan dengan alam dengan cara menekannya agar tunduk.   

Sigmund Freud, yang juga seorang psikoanalis, mengatakan bahwa tipe ideal hubungan antara manusia dengan alam adalah hubungan yang egaliter, bukan subordinat; dimana satu entitas menguasai entitas lainnya tanpa ada proses komunikatif diantara keduanya. Ruang kendali atas hutan dan alam tetap berada dalam tanggung jawab manusia, tetapi pengendaliannya berorientasi pada perlindungan. Artinya, melindungi hutan bukan berarti tidak memanfaatkannya sama sekali atau menafikan peran manusia, melainkan menjadikan manusia tetap sebagai pengguna utama sumber daya, tetapi moral pengelolaannya telah berubah dari eksploitatif ke adaptif. 

Pada akhirnya, konstruksi civil society yang di baca dari perspektif “ land ethic “ sejatinya merupakan bentuk komunitas manusia yang telah lepas dari bayang-bayang kapitalisme-neoliberalisme, mampu mereproduksi kebijakan yang egaliter terhadap hutan dan alam, tidak terikat penuh dengan hasutan konsumerisme,  memelihara perilaku hidup hemat dan bersahaja, serta memiliki watak adaptif terhadap sumber dayanya.

Tafsir “ land ethic “ yang mengaksentuasi pada perubahan moral dari eksploitatif ke adaptif sangat menarik jika dibingkai dalam konstruksi civil society. Tatanan masyarakat dengan kualifikasi sikap positif sebagaimana digambarkan pada paragraph di atas merupakan bentuk ideal masyarakat yang akan mudah menerima semangat pembaruan dan kecintaan pada hutan dan alam.  Upaya menciptakan sinergitas dalam tubuh masyarakat untuk konservasi hutan dan lingkungan pun akan semakin mudah dilakukan apabila tatanannya telah berubah ke arah itu.

   

Sinergitas Civil society : Memperkuat Harmoni

 

 Upaya mensinergikan seluruh elemen masyarakat dalam satu gerakan perlindungan hutan dan alam tidak bisa dilepaskan begitu saja dari upaya mengkonstruksi civil society  yang berlandaskan “ land ethic “.  Gagal membentuk masyarakat yang sadar lingkungan dalam bingkai “ land ethic“, maka gagal pula membentuk sinergitas yang dimaksud.  Dengan demikian, himbauan untuk mengajak masyarakat agar peduli dengan hutan dan lingkungan hanya akan berdampak parsial dan tidak akan bertahan lama apabila tatanan masyarakatnya sendiri masih terikat kuat dengan moral eksploitatif, seperti konsumerisme, hedonisme, dan sebagainya. 

Oleh karena itu, diperlukan tindakan-tindakan konkret untuk memoderasi ulang pemikiran kolektif masyarakat dengan mengaksentuasi pada pendidikan konservasi yang menggugah.  Jika tidak bisa melalui jalur pendidikan formal, maka setidaknya pendidikan konservasi ini bisa dilakukan dalam jalur-jalur pendidikan non formal serta melalui habituasi kultural secara menyeluruh, berjenjang, dan terintegrasi di seluruh lapisan sosial masyarakat.

Habituasi kultural adalah pembiasaan perilaku kolektif secara kontinyu sehingga otomatis akan membentuk kebudayaannya sendiri.  Menyeluruh, berjenjang dan terintegrasi bermakna bahwa proses pembiasaan tersebut dilakukan dari level atas sampai bawah, melibatkan para pemegang jabatan dan leader di masing-masing instansi dan lembaga pergerakan, dan dilakukan secara harmoni dalam satu gerak yang terkoordinir secara rapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun