Mohon tunggu...
Dihan Rudiantoro
Dihan Rudiantoro Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2009 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agama dan Kekerasan

10 Desember 2012   14:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:53 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama merupakan keharusan hidup (a must for human life). Karena itu kurang tepat melihat agama dari aspek kegunaanya (utilitiy) tapi bagaimana ia dapat diamati dari implikasi nilai lebih (meaningfulness) dalam kehidupan ini.

Semua agama menolak kekerasan sebagai prinsip dalam melakukan suatu tindakan. Pada dasarnya kekerasan adalah prinsip yang bersifat amoral karena kekerasan selalu mengandaikan pemaksaan kehendak terhadap pihak lain yang berarti pelanggaran terhadap asas kebebasan dalam interaksi sosial.

Kekerasan dan agama sepintas merupakan dua pengertian yang sangat berbeda dan berbentangan. Agama dilihat sebagai seperangkat dogma dan aturan yang selalu mendorong para pemeluknya untuk mengamalkan kasih dan menebarkan perdamaian. Sementara kekerasan adalah wilayah lain yang tidak mungkin disandingkan dengan misi perdamaian yang diemban agama.

Ajaran agama itu baru menjadi konkrit sejauh ia dihayati oleh pemeluknya. Dalam realitas sosial, merupakan sesuatu yang tidak mungkin melakukan pemisahan antara agama dan pemeluknya. Oleh karena agama itu sering dijadikan landasan legitimasi oleh para pemeluknya untuk mengabsahkan tindakan-tindakanya yang secara tidak langsung justru telah mereduksi makna keberagamannya. Agama dalam hal ini terasa begitu sulit menjadi dasar atau landasan yang diarahkan untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial yang semakin kompleks. Keadaan di atas semakin ternodai manakala ketulusan agama sering dipolitisir untuk menggalang solidaritas dan kekuatan massa demi tujuan-tujuan yang berada di luar kehendak ideal agama.

Selanjutnya agama dipahami sebagai virus penebar kebencian yang dalam sepanjang sejarahnya menyisakan dendam yang siap dihunuskan kepada siapapun (yang dianggap kafir, mengancam kesatuan bangsa, atau menetang pemerintahan yang sah) dengan mengatasnamakan tuhan.

Dalam memecahkan setiap konflk sosial politik, agama selalu dijadikan pilihan akhir yang dianggap lebih efektif, sehingga agama lebih dikenal di kalangan masyarakat tak lebih dikenal merupakan sesuatu yang menakutkan. Agama kini menjadi ideologi politik (agama politik) sebagai instrumen kekuasaan, karenanya agama cenderung memberi corak kasar dan brutal terhadap prilaku pemeluknya.

Agama dilihat sebagai sistem kepercayaan yang mencerminkan kekuatan moral baik secara individual maupun sosial. Dalam memberikan dorongan moral kepada individu, agama selalu mengajak pemeluknya untuk berbuat baik, menjauhkan diri dari kejahatan dan hawa nafsu, mengejar keselamatan dan ketentraman di dunia maupun di akhirat. Sedangkan secara sosial, agama sebagai cermin bagi terjadinya distorsi khlak dan budi pekerti dalam masyarakat. Korupsi, penindasan, kemaksiatan, dan tindakan-tindakan amoral lainnya yang berimplikasi sosial dianggap abnormal dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan cita-cita agama yang menjunjung tinggi keluhuran moral.

Dengan demikian, menolak setiap tindakan yang dianggap bertentangan dengan cita-cita ideal di atas. Demikian halnya dengan kekerasan, mustahil agama mendorong para pemeluknya untuk bertindak dengan cara-cara kekerasan karena hal ini tidak sesuai dengan karakter dan fitrah agama.

Jika melihat kekerasan sebagai kekerasan, apalagi dampak yang diakibatkan, hampir bisa dipastikan semua orang menolak dan menganggapnya sebagai suatu kejahatan kemanusiaan. Dalam bahasa agama Islam, kekerasan adalah suatu kedzaliman dan kemudharatan yang pasti diharamkan.Kekerasan adalah tindakan menyakiti, mencederai dan membuat orang lain berada dalam kesulitan. Dan semua ini adalah haram.

Perbincangan akan berbeda jika kekerasan dilakukan sebagai alat pertahanan dari serangan, atau sebagai media pendidikan dari seseorang yang dinobatkan sebagai pendidik kepada seseorang yang dijadikan sebagai anak didik. Peperangan misalnya, sebagai suatu kekerasan yang paling dahsyat, banyak memperoleh legitimasi jika merupakan pertahanan dari serangan atau kemungkinan suatu penyerangan. Sekalipun, tidak sedikit juga yang -saat ini- mempertanyakan efektifitas peperangan untuk membangun peradaban perdamaian.

Menurut pandangan saya apabila kita kurang setuju dengan sesuatu dengan pendapat orang lain, harusnya kita menyelesaikan dengan jalan damai. Bagaimanapun kekerasan itu dilarang dalam agama. Bukan hanya agama islam, tetapi agama apa saja. Semua agama tidak menghalalalkan tindakan kekerasan. Sebenarnya agama itu tidak perlu dibela. Yang penting kita menjalankan apa yang menjadi nilai yang terkandung dalam ajaran tersebut.

Dalam contoh kita sering mendengar pembubaran diskusi ataupun aksi-aksi swiping yang dilakukan oleh sekelompok ormas. Mereka mengatas namakan agama dalam aksinya. Menurut pandangan saya itu tindakan yang kurang tepat. Karena apabila mereka kurang setuju dengan pendapat suatu kelompok ataupun pendapat orang lain, mereka bisa duduk mengikuti diskusi. Berargu argumen dengan sehat. Bukankah mengeluarkan pendapat itu dijamin dalam undang-undang dasar kita.

Seanadainya mereka tidak mau cara begitu, bukankah masih ada cara lain. Lapaorkan saja ke pihak keamanan atau keolisian. Polisi pasti akan bertindak apabila memang dalam diskusi tersebut akan menyebarkan aliran kesesatan. Bukan dengan cara sendiri membubarkan acara orang seenakanya. Disini yang paling saya kuarang setuju yaitu adanya pengrusakan gedung dan fasilitas, apakah mereka juga bersalah kok ikut dirusak, mereka hanyalah benda mati yang tidak tau apa-apa, hanya bisa diam terbisu

.
Kalau dalam islam lebih baik menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah. Bukankah itu sudah tertera dalam Al-quran antar lain :

"Maka disebabkan rahmat dan Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkaniah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS. Ali Imran: 159)

"Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Danjika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Baqarah: 233)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun