Mohon tunggu...
Kaf Hak
Kaf Hak Mohon Tunggu... Guru - Kompasianer Bojonegoro

Seorang penulis, organisator, motivator, dan youtuber. Urgensi sebuah tulisan yaitu ketika memiliki makna yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Dari Desa Menuju Dunia untuk Mewujudkan Misi Net-Zero Emissions

17 Oktober 2021   17:42 Diperbarui: 17 Oktober 2021   17:48 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya langsung tertarik dengan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Anggap saja air, karena air ada di mana-mana. Meskipun masih ada Negara-negara tertentu yang sumber airnya sedikit, namun keberadaan air bisa dibilang mudah dijangkau. Mungkinkah air bisa menjadi energi yang menggantikan minyak gas untuk kendaraan? Atau mungkin limbah plastik dapat disulap menjadi campuran aspal agar terbentuk jalan raya yang mulus dan tak bergelombang? Jika ada ilmuwan yang menemukan, hal ini bisa membuka sejarah baru untuk mencapai Net-Zero Emissions dalam bentuk teknologi ramah lingkungan, dan dapat memecahkan masalah agar terhindar dari limbah plastik yang membandel seperti kondisi lingkungan saat ini.

Mungkin di atas hanyalah argumen sederhanaku saja. Anak Desa yang hanya turut menyampaikan dukungan agar bumi ramah lagi dengan manusia. Bukan hanya ada kepulan-kepulan asap dan kumpulan fatamorgana yang tidak selalu sedap untuk dipandang. Bukankah indah jika ada burung berkicau, awan yang bersih, angin yang segar, dan hijaunya tumbuh-tumbuhan yang sejuk karena alam terjaga dengan baik? Syukurlah jika memang hal ini menjadi langkah awal untuk menuju gerakan emisi nol bersih dalam mewujudkan misi bersama untuk memulihkan dunia.

Secara bahasa atau di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), emisi adalah pemancaran cahaya, panas, atau elektron dari suatu permukaan benda padat atau cair. Pemancaran cahaya dan suhu panas lebih dominan menghampiri berbagai Negara saat ini. Pandemi virus Covid-19 memang membatasi aktivitas manusia sejak akhir tahun 2019 lalu, namun siapa sangka pandemi juga berdampak pada kondisi bumi yang derajat panasnya bertambah yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dari berbagai aspek. 

Dari segi industri maupun non industri contohnya. Karena industrialisasi merupakan salah satu faktor pengisi emisi di bumi ini. Begitu pula dengan kegiatan-kegiatan non industri penghasil limbah dan elektron yang dilakukan manusia. Keduanya sama-sama menghasilkan emisi yang memiliki jumlah karbon ataupun elektron yang berbeda. Jangankan kedua faktor di atas, manusia bernapas saja juga menghasilkan emisi berupa karbon dioksida. Sehingga hal ini sangat mempengaruhi terjadinya pemanasan global.

Kegiatan industrialisasi terus digalakkan di Negara maju dan Negara berkembang, termasuk Negara Indonesia. Mungkin memaksimalkan pengembangan industri dianggap suatu keharusan dan dapat meraup banyak manfaat dan keuntungan bagi pihak tertentu. Tanpa memperdulikan bagaimana dampak negatif jangka panjang jika tidak disertai dengan keseimbangan lingkungan. 

Namun bagi pihak yang lain, industrialisasi dianggap sebagai momok yang mengkhawatirkan bagi lingkungan. Mengapa tidak? Kegiatan industri kebanyakan menghasilkan limbah, dan limbah terkadang muncul di sekitar lokasi industri tersebut berada. Wajar saja jika semua elemen di lingkungan sekitar tidak tahan dengan adanya hal itu. Entah dari air yang tercemar, asap yang mengepul, suhu panas yang menyebar, udara yang tak segar seperti pada umumnya, dan lain sebagainya. Inilah dampak daripada industrialisasi yang tak terkendali. Hanya menguntungkan satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain menjadi sengsara.

Namun demikian, jika kegiatan industri di stop, secara tidak langsung dapat menyebabkan merosotnya ekonomi dan turunnya keaktifan sumber daya manusia di dalam suatu Negara dalam mengelola energi yang kaya akan fungsi dan manfaatnya.

Alhasil, jika keduanya sama-sama memiliki peran penting, maka keduanya bisa berjalan bersama-sama untuk menjaga kestabilan hidup. Kegiatan industri dan non industri yang menimbulkan emisi tetap berjalan, namun kegiatan yang dapat menyerap emisi di luar batas kewajaran, serta segala kegiatan yang tujuannya untuk mencegah deforestasi juga harus dijalankan (Simbiosis Mutualisme). Sebagai solusi jika menginginkan dunia ini betah bersahabat dengan manusia.

Dari itu, Saya mengkategorikan masalah menjadi dua faktor untuk menganalisis sejauh mana kegiatan Net-Zero Emissions dapat berjalan dengan cepat. Atau mungkin berjalan lambat dengan adanya kendala.

A. Faktor Penghambat

1. Komitmen Kebersamaan Masyarakat yang Minim

Indonesia pelan-pelan telah menerapkan modernisasi teknologi. Di mana di dalam setiap aktivitas masyarakat saat ini hampir semua memakai teknologi. Handphone, sepeda motor, kendaraan umum, dan lain sebagainya. Semua memiliki peran untuk mempermudah akses dan layanan agar apa yang diinginkan manusia bisa tersedia, selagi itu bermanfaat. 

Dari sini sudah jelas, jika masyarakat merasa nyaman dengan teknologi yang canggih dan terjangkau, apakah dengan semudah itu mengarahkan masyarakat bertransisi ke teknologi yang baru namun tidak ramah lingkungan? Atau barangkali berimbas kepada ekonomi yang menyusut karena mahalnya harga dan biaya ketika mengakses teknologi tersebut? Maka hal ini menjadi catatan penting ke depannya.

2. Pertambahan Penduduk dan Gencarnya Pembangunan Liar

Selain berkurangnya penduduk yang terjadi akibat kematian, pertambahan pendudukan generasi baru juga menjadi bagian dari bertambahnya konsumsi publik dari berbagai bidang. Maksudnya, semakin bertambah penduduk di suatu Negara, semakin bertambah pula keinginan pembangunan ekonomi di Negara tersebut. Sebut saja pembangunan gedung maupun rumah secara liar. 

Jika hal itu diterapkan terus-menerus, secara otomatis lingkungan persediaan lahan juga menipis. Artinya, jika hal ini tidak dilandasi dengan kepedulian sosial dan lingkungan, maka penghabisan penghijauan atau tumbuh-tumbuhan terus merajalela. Bahkan kegiatan deforestasi tanpa pengawasan bisa dilakukan dengan sembarangan oleh pihak yang tak bertanggung jawab. 

Akibatnya ancaman terjadinya bencana alam yang mengintai sangatlah besar. Kecuali adanya pengetatan kebijakan dari pihak pemerintah untuk mementingkan hal ini agar tidak terjadi kerusakan lingkungan. Padahal penghijauan atau tumbuh-tumbuhan inilah yang menjadi elemen penting untuk menyerap zat-zat berbahaya, termasuk emisi yang tak terkendalikan. Lantas, seberapa pedulikah semua pihak akan hal ini?

B. Faktor Pendukung

1. Hadirnya Energi Baru dan Terbarukan (EBT) 

Mungkin untuk kalangan awam, energi ini sangat sulit ditemukan. Entah karena pengetahuannya belum mumpuni dalam bidang itu, atau memang sumber daya alam yang ada kurang memadai guna mengolah energi menjadi sesuatu yang bernilai. Sebagaimana yang diberitakan di dalam media sosial, ada orang yang menemukan cara untuk diet cepat dengan langkah sederhana. 

Ada orang yang menemukan lampu dari tenaga matahari, dan masih banyak yang lainnya. Pertanyaannya, siapakah nanti ilmuwan yang menemukan inovasi teknologi atau cara-cara yang efektif untuk keberlangsungan hidup manusia dalam menghadapi tantangan zaman ke depannya? Mungkin masih menjadi teka-teki dan rumusan masalah bagi para inovator.

2. Komitmen Bersama dari Semua Elemen

Tak bisa dipungkiri lagi. Sebagaimana 'sapu lidi', yang tidak dapat membersihkan kotoran ketika hanya menggunakan satu biji saja. Namun semua bisa dibersihkan ketika menggunakan semua lidi yang disatukan dalam ikatan. Begitu pula kerja sama antara elemen satu dengan elemen yang lainnya. Negara satu dengan Negara yang lainnya. Untuk mengatasi misi ini juga membutuhkan semua elemen bergerak bersama. 

Mungkin penanganannya juga tidak sebentar untuk memulihkan dunia ini kembali lestari. Tak cukup hanya satu tahun, bisa saja puluhan tahun. Belum lagi jika ada pihak lain berbuat ceroboh dan mengambil tindakan liar yang dampaknya merusak lingkungan. Sekali lagi, Net-Zero Emissions adalah misi bersama untuk merawat dunia.

Kesimpulannya, untuk mencapai misi Net-Zero Emissions tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja. Melainkan semua elemen yang berada di bumi ini. Karena jika hanya satu pihak yang memaksimalkan misi ini, sedangkan pihak yang lain masih sembarangan dalam melakukan upaya yang sifatnya menimbulkan dampak buruk dari adanya emisi karbon, maka hal itu akan percuma. Karena angin tak selamanya menetap, akan tetapi berpindah sesuai dengan arah dan jalur kehendak-Nya. Begitu pula emisi, tak hanya mengendap di satu Negara saja, namun bisa menyebar ke seluruh dunia. 

Sebagai gerakan kecil, Saya sebagai anak Desa merencanakan penanaman tumbuh-tumbuhan serta penghijauan. Serta upaya melestarikan ekosistem di lingkungan sekitar rumah. Meskipun hasil gerakannya tak seperti hutan lebat yang dapat menyerap emisi banyak, paling tidak Saya memiliki secuil penghijauan yang dapat menyerap emisi sedikit di lingkungan sekitar tempat Saya berada. Diawali dari gerakan kecil dari semua elemen, Insyaa Allaah sedikit demi sedikit dapat tercapai Net-Zero Emissions dalam mewujudkan misi bersama semua Negara untuk kelestarian dunia tempat kita hidup bersama. Seperti halnya inti dari pendapat Bill Gates, teknologi canggih yang dapat menyerap emisi karbon belum bisa diandalkan. Jika ada itu pun terlalu mahal untuk Negara-negara tertentu. Tidak menyeluruh manfaatnya. Sehingga Bill Gates menyarankan untuk melakukan upaya-upaya kecil secara bersama-sama. Termasuk reboisasi, pemanfaatan inovasi-inovasi teknologi yang ramah lingkungan, serta membatasi semua faktor yang diproduksi manusia agar tidak melampaui batas kewajaran ketika menghasilkan emisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun