Mohon tunggu...
kamira sanjaya
kamira sanjaya Mohon Tunggu... -

Setelah lama aktif di dunia "penelusuran fakta", sepertinya perlu juga untuk men-share pengalaman dan kemampuan, yang tak seberapa ini, ke rekan-rekan untuk bahan diskusi bersama. Lewat sarana KOMPASIANA saya mencoba (selalu) mengelaborasikan sisi politik dan sisi keuangan yang melingkupinya. "POLITIK" dan "UANG" (sebagai manifestasi sempit KEKUASAAN) ibarat saudara kembar yang senantiasa berjalan beriringan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masih Layak Dipercayakah Laporan Audit "Wajar Tanpa Pengecualian" dari BPK?

2 Agustus 2012   06:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:19 2323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

3. BPK menganggap bahwa kesalahan opini bisa dikoreksi di tahun berikutnya. Seringkali kita mendengar penjelasan bahwa BPK tidak akan segan-segan menurunkan opini auditnya bila ternyata auditee tidak menjalankan rekomendasi BPK. Ini adalah pemahaman yang tidak masuk akal, dimana sebuah opini bisa diturunkan di tahun berikutnya. Dan itu dikaim akibat kesalahan auditee, bukan auditor. Kejadian itu pulalah yang sempat dialami oleh Kemendiknas dan Kemendikbud. Opini audit di dua kementrian tersebut pernah Wajar Dengan Pengecualian (setingkat di bawah WTP), namun kemudian diturunkan jadi Tidak Memberikan Pendapat (tingkatan paling bawah). Padahal tidak ada perubahan signifikan yang terkait kebijakan pengelolaan danpertanggungjawaban keuangan di kedua kementrian tersebut.

Pemahaman BPK ini - seperti halnya soal dikotomi jenis audit diatas - makin mendegradasi "sense of guilty & responsibility" dari Auditor BPK manakala hasil auditnya dipertanyakan. Tak heran pimpinan BPK berani menyebut "WTP bukan berarti bebas WTP", karena filosofi betapa beratnya tanggung jawab menyematkan opini tersebut tidak dipahami secara utuh.

Kondisi tersebut makin diperparah dengan minimnya aspek kontrol kualitas hasil pemeriksaan. Sampai saat ini BPK belum memiliki mekanisme quality control baku, peran internal audit (inspektorat) tidak berjalan, tidak ada dewan pakar audit, apalagi komite resiko. Semua praktek masih dijalankan secara tradisional layaknya Kantor Akuntan Publik papan bawah. Padahal ini menyangkut kepentingan besar bangsa ini dan negara sudah berkorban biaya besar untuk itu.

Pada akhirnya pemahaman BPK yang keliru tadi tidak hanya berdampak pada kualitas hasil pemeriksaan. Lebih jauh, masyarakat bisa tersesatkan pemahamannya. Para mahasiswa yang sedang mengambil pendidikan akuntansi pun dibikin bingung dengan penjelasan BPK soal opini audit. Apa jadinya kalau WTP yang diterima PT Telkom Tbk dianggap pula bukan jaminan PT Telkom bersih dari korupsi, lebih ekstrim lagi disamakan dengan kondisi di institusi Kepolisian.

Namun sejauh ini tidak ada dari kalangan akademisi dan professonal yang berani secara terbuka "mengkritisi" kekeliruan pamahaman BPK tadi. Ikatan Akuntan Indonesia sebagai induk profesi akuntan pun serasa bisu tuli melihat kondisi yang sesat tadi.Lonceng kematian akuntan sektor publik berasa sudah di depan mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun