Belakangan ini masyarakat makin kritis mempertanyakan hasil audit BPK. Kasus-kasus korupsi yang menimpa ratusan kepala daerah, kementrian/lembaga, tak terkecuali institusi KepoliaiN menyiratkan satu pertanyaan besar ke BPK "mengapa audit laporan keuangannya sudah beroleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tapi (masih) ada kasus korupsi besarnya ?".
Serangkaian penjelasan sudah digelar BPK baik dalam kesempatan formal maupun informal. Pun tak terkecuali penjelasan lewat jumpa pers. Petinggi-petinggi BPK tampak sekali kepanikannya melihat kenyataan di atas. Sudah beberapa kali mereka sampai harus rela menulis soal "WTP buka berarti bebas korupsi" di halaman Opini Harian Kompas. Ironisnya, makin dijelaskan, publik bukan malah semakin terjawab keraguannya, tapi makin yakin bahwa ada pemahaman yang keliru dari BPK terkait filosofi opini "wajar tanpa pengecualian".
Terlepas dari minimnya kompetensi dan pemahaman petinggi BPK yang berulang kali menjelaskan makna opini WTP, ada beberapa catatan terkait pemahaman BPK, yang bisa jadi keliru :
1. BPK (selalu) mendikotomikan antara jenis audit dan hasil dari masing-masing jenis audit tersebut. Menurut BPK, audit atas laporan keuangan itu memang tidak ditujukan untuk menceari kecurangan (korupsi). Tapi untuk menilai kewajaran penyajiannya menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Makanya, meski ada indikasi kasus korupsi-pun, sepanjang secara keseluruhan laporan pertannggungjawabannya sudah sesuai SAP, BPK tidak mengharamkan opini WTP.
Secara teori dan metodologi audit, pemahaman BPK seperti ini sulit dicari rujukan justifikasinya. Karena praktek kecurangan/korupsi terjadi, utamanya, karena lemahnya kontrol pengawasan dan pengendalian di entitas yang diaudit.
Pengujian atas kontrol (test of control) tersebut harus dilakukan secara mendalam dan komprehensif sebelum dilakukan pengujian transaksi (substantive test). Praktek yang sering ditemui selama ini, Auditor BPK teramat minim melakukan test of control yang pada ujungnya meningkatkan resiko audit. Alasannya karena keterbatasan personel auditor dan pendeknya jangka wakti audit. Padahal, kondisi tersebut bisa diatasi dengan manajemen pemeriksaan yang ketat dan disiplin.
Dengan berbekal minimnya test of control tadi, maka audit BPK menjadi sangat tinggi resiko salah opininya. Termasuk salah dengan opini WTP-nya.
2.BPK menggunakan ukuran angka (materialitas) sebagai bahan pertimbangan penentuan Opini. Pemahaman seperti ini jelas-jelas menyalahi praktek audit yang berlaku umum. Angka materialitas atau pun tolerable error itu mustinya baru bisa diputuskan dari hasil test of control. Keyakinan Auditor atas kehandalan aspek pengendalian dan pencegahan terhadap penyimpangan --dari test of control yang dilakukan-- sangat mempengaruhi besar kecilnya tingkat materialitas.
Adalah hal yang mustahil kondisinya akan bisa seragam di seluruh entitas. Lantas, bagaimana mungkin Auditor BPK bisa melakukan set up materialitas yang representatif kalau test of control dilakukan secara ala kadarnya ?
Lebih parah lagi, angka materialitas penyimpangan yang dirujuk BPK tadi bukan berdasarkan hasil sampling audit. Melainkan atas dasar nilai temuan pemeriksaan. Sehingga kesimpulan akhir yang diambil biasnya menjadi sangat tinggi. Belum lagi soal pengambilan sampling yang dilakukan Auditor BPK seringkali tidak jelas metodologinya.
Namun perlu juga dipahami bahwa Auditor serignkali dalam posisi dilematis. Di satu sisi perlu mencari temuan - akibat mindset audit itu harus dapat temuan -- sementara disisi lain kesimpulan atas sampling audit itu tidak selalu bisa dibuat dalam bentuk temuan.
3. BPK menganggap bahwa kesalahan opini bisa dikoreksi di tahun berikutnya. Seringkali kita mendengar penjelasan bahwa BPK tidak akan segan-segan menurunkan opini auditnya bila ternyata auditee tidak menjalankan rekomendasi BPK. Ini adalah pemahaman yang tidak masuk akal, dimana sebuah opini bisa diturunkan di tahun berikutnya. Dan itu dikaim akibat kesalahan auditee, bukan auditor. Kejadian itu pulalah yang sempat dialami oleh Kemendiknas dan Kemendikbud. Opini audit di dua kementrian tersebut pernah Wajar Dengan Pengecualian (setingkat di bawah WTP), namun kemudian diturunkan jadi Tidak Memberikan Pendapat (tingkatan paling bawah). Padahal tidak ada perubahan signifikan yang terkait kebijakan pengelolaan danpertanggungjawaban keuangan di kedua kementrian tersebut.
Pemahaman BPK ini - seperti halnya soal dikotomi jenis audit diatas - makin mendegradasi "sense of guilty & responsibility" dari Auditor BPK manakala hasil auditnya dipertanyakan. Tak heran pimpinan BPK berani menyebut "WTP bukan berarti bebas WTP", karena filosofi betapa beratnya tanggung jawab menyematkan opini tersebut tidak dipahami secara utuh.
Kondisi tersebut makin diperparah dengan minimnya aspek kontrol kualitas hasil pemeriksaan. Sampai saat ini BPK belum memiliki mekanisme quality control baku, peran internal audit (inspektorat) tidak berjalan, tidak ada dewan pakar audit, apalagi komite resiko. Semua praktek masih dijalankan secara tradisional layaknya Kantor Akuntan Publik papan bawah. Padahal ini menyangkut kepentingan besar bangsa ini dan negara sudah berkorban biaya besar untuk itu.
Pada akhirnya pemahaman BPK yang keliru tadi tidak hanya berdampak pada kualitas hasil pemeriksaan. Lebih jauh, masyarakat bisa tersesatkan pemahamannya. Para mahasiswa yang sedang mengambil pendidikan akuntansi pun dibikin bingung dengan penjelasan BPK soal opini audit. Apa jadinya kalau WTP yang diterima PT Telkom Tbk dianggap pula bukan jaminan PT Telkom bersih dari korupsi, lebih ekstrim lagi disamakan dengan kondisi di institusi Kepolisian.
Namun sejauh ini tidak ada dari kalangan akademisi dan professonal yang berani secara terbuka "mengkritisi" kekeliruan pamahaman BPK tadi. Ikatan Akuntan Indonesia sebagai induk profesi akuntan pun serasa bisu tuli melihat kondisi yang sesat tadi.Lonceng kematian akuntan sektor publik berasa sudah di depan mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H