Setelah mengajar di madrasah, Al-Ghazali mempelajari filsafat secara otodidak, baik filsafat Yunani maupun Islam, terutama karya al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Maskawih, dan Ikhwan al-Shafa. Dia juga menguasai filsafat dalam karyanya seperti al-Mawasid Falsafah dan Tuhaful al-Falasiyah.Â
Dia juga meneliti teologi, ta'limiyah, dan tasawuf. Karier Imam al-Ghazali tidak berhenti di sana, di bawah pemerintahan Khalifah Abbasiyah, Perdana Menteri Nizamul Mulk menunjuknya sebagai Rektor Universitas Nizamiyah. Meskipun al-Ghazali baru berumur 28 tahun pada waktu itu, kemampuannya mampu menarik perhatian Perdana Menteri.
Al-Ghazali tidak lama menjabat sebagai rektor Universitas Nizamiyah. Tahun 1095, al-Ghazali meninggalkan pekerjaan gurunya untuk menuju Makkah al-Mukarramah untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu haji. Sebelum itu, dia telah mengambil jalan zuhud dan meninggalkan keramaian dunia. Setelah menunaikan ibadah haji, al-Ghazali mengunjungi wilayah Syam dan menetap di Damsyiq (Damaskus) selama beberapa saat sebelum kembali ke Thus, kota asal beliau. Setelah itu, dia mengurung diri di Masjid Damaskus. Di sinilah al-Ghazali menulis Ihya' Ulum ad-Din, yang menggabungkan tasawuf dan fiqih. Buku ini memiliki dampak besar di seluruh dunia Islam, dan dampak ini terus berlanjut hingga hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H