November lalu, saya melakukan tour bersama teman satu angkatan ke Pulau Bali. Perjalanan ini berlangsung dari tanggal 5 sampai 6 November 2024 yang dihitung tanpa hari keberangkatan dan kepulangan. Selama dua hari tersebut, kami mengunjungi banyak tempat wisata yakni The Bloom Garden, Desa Batuan, Pantai Kuta, Pantai Melasti, dan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Culture Park. Melalui kelima destinasi wisata ini, saya akan menulis hal paling menarik yang saya ingat dari masing-masing tempat.
Tempat wisata pertama yang kami kunjungi adalah The Bloom Garden. Sesuai namanya, The Bloom Garden, menurut saya adalah sebuah taman yang mempertemukan saya dengan musim semi. Saya menaiki tangga satu per satu sembari melihat pendamping jalan yang dipenuhi oleh bunga-bunga bermekaran. Mereka dikelompokkan dengan seragam ; putih, ungu, merah, dan kuning. Hampir semua warna mahkota telah berhasil diadopsi oleh tempat ini. Bahkan rumput yang ditanam pun memiliki warna bunganya sendiri.
Cuaca kala itu pun sangat mendukung. Matahari bersinar terik, awan putih seperti permen kapas yang halus, dan langit biru begitu cerah. Ini menyerupai perpaduan musim semi dan musim panas di mana saya tidak akan melihat bunga layu meski kemarau. Tidak terasa saya tiba di puncak. Saya disuguhkan oleh spot foto cukup luas dengan tulisan ikonik "The Blooms Garden". Latar belakang dari tulisan tersebut adalah pemandangan bukit. Kami langsung mendapat giliran untuk mengambil foto bersama. Karena masih pagi, matahari dari sisi Timur langsung menyorot wajah saya begitu sesi pengambilan gambar. Itu sangat menyilaukan, tetapi hasil gambarnya cukup memuaskan.
Usai berfoto ria, kami langsung meluncur ke destinasi berikutnya, menuju Desa Batuan. Desa wisata ini mengangkat tema budaya-edukasi sebagai daya tarik. Hal yang paling menarik perhatian saya selama di sana adalah cara para seniman membuat lukisan dengan gaya khas Desa Batuan. Mereka menggunakan berbagai teknik untuk menghasilkan suatu karya lukis yang memukau.
Kami berkesempatan mempelajari salah satu teknik melukis yang disebut nyigar. Nyigar adalah teknik untuk memperkuat warga hitam dan putih. Hitam di sini didapatkan dari cat air yang kemudian dipertegas kembali setelah mengering dengan cat kedua sehingga menghasilkan warna hitam yang lebih pekat. Pelatihan menyigar dilakukan dengan fokus selama lima belas menit. Selama pelatihan tersebut, saya telah menyelesaikan teknik menyigar satu sketsa sederhana. Hasil akhirnya tidak sebagus milik seniman di Desa Batuan, tetapi prosesnya sangat menyenangkan.
Hari esoknya, kami kembali melanjutkan perjalanan ke Pantai Kuta. Saya dan teman-teman tiba di pantai sekitar pukul sebelas siang. Pada saat itu, matahari benar-benar menyengat kulit sementara saya tetap bersikeras menyusuri bibir pantai bersama teman saya. Hal paling menarik begitu saya menjadi lebih dekat dengan ombak adalah embusan angin yang terasa sejuk. Seketika mood saya naik karena disambut angin laut. Tidak hanya itu, warna langit yang dipantulkan oleh pantai juga tak kalah menarik, seperti campuran hijau rumput laut dengan biru susu.
"Mbak, ayo duduk sini! Gratis," ajak seorang bapak-bapak sambil menunjukkan tempat teduh bernaungkan payung besar, lengkap dengan sepasang kursi santai.
Tempat itu tidak jauh dari posisi kami--saya dan satu teman saya. Kami berdua seketika menoleh, dan di belakang bapak tersebut, terlihat susunan buah kelapa muda utuh beserta kupasan kulitnya yang tercecer di pasir. Sepertinya dia baru saja melayani wisatawan lain.
Teman saya dibuat mengernyit sebab mendengar kata terakhir. "Gratis?" Ia bertanya dengan nada tak percaya.
"Iya, gratis! Nggak usah bayar kalau sama saya. Cukup beli buah kelapa aja. Minum air kelapanya di sini berdua, ya? Per buah cuma tiga puluh lima. Tempat duduknya nggak usah bayar."
"Wah, iya, Pak. Boleh-boleh," jawab teman saya semringah.
Saya pun tersenyum, bahkan cara bapak itu menjajakan usahanya terlihat menarik bagi saya. Di saat yang lain menyediakan sewa tempat dengan harga menyentuh angka seratus, beliau malah memberikan harga percuma. Berkat tawarannya itu, saya dan teman saya bisa menikmati keindahan Pantai Kuta sembari menyeruput kesegaran air kelapa.
Selang dua jam kemudian, kami kembali ke rombongan untuk berangkat ke Pantai Melasti. Perjalanan dari Pantai Kuta ke Pantai Melasti membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Perjalanan tidak pernah membosankan karena suara pemandu wisata turut menemani sepanjang jalan. Mendekati area pantai, pandangan saya terus tertuju pada pemandangan di luar jendela bus. Mata saya hanya dipenuhi oleh tebing-tebing besar dan kokoh. Keberadaan tebing tersebut memberikan kesan megah.
Saya langsung turun begitu bus berhenti. Kaki saya terpaku beberapa detik saat menginjak pasir di Pantai Melasti. Warna pasir putihnya mengingatkan saya dengan brem, salah satu makanan tradisional yang biasa dibeli wisatawan dan menjadi oleh-oleh khas Bali. Namun, hal paling menariknya bukan terletak di pasir--setidaknya menurut saya, bagian tebing dan hamparan pantai biru toska adalah kombinasi terbaik paling menarik.
Ketika saya menatap lurus ke depan, terlihat ombak pantai yang berlari bergulung-gulung ke arah saya. Ketika saya mengangkat kepala, tampak langit biru dengan gumpalan awan putihnya. Ketika saya berbalik ke belakang, berdiri jajaran tebing yang menjulang. Kombinasi inilah yang membuat saya tidak henti-hentinya memuji nama Tuhan.
Menjelang sore, kami bergegas ke tujuan wisata terakhir--Garuda Wisnu Kencana Culture Park. Tempat ini menawarkan pertunjukkan tari Kecak sebagai penutup atraksi hari itu. Saya perlu berjalan melewati kurang lebih ratusan anak tangga untuk tiba di patung Garuda Wisnu Kencana. Patung ini menggambarkan Dewa Wisnu yang sedang menunggangi burung garuda. Ukuran patungnya benar-benar raksasa dengan tinggi 121 meter. Leher saya sampai sakit karena terlalu mendongak. Hampir semua patung utama yang ada di GWK memang tinggi dan berukuran sangat besar. Namun, hal paling menarik bagi saya adalah tebing-tebing yang mengelilingi taman budaya tersebut.
Kami dihimpit oleh dua tebing di sisi kanan dan kiri saat hendak masuk ke area patung Garuda Wisnu Kencana. Setelah menonton tari Kecak, kami juga melewati sebuah tebing yang bagian tengahnya dikeruk dengan detail menyerupai pintu keluar. Saya sempat menyentuh tebing tersebut. Teksturnya kasar dan terasa dingin--mengingat angin malam mulai bergerak. Saya melihat lumut-lumut kecil yang tumbuh di permukaan tebing tertekan oleh telapak tangan saya. Uniknya, saya sama sekali tidak merasa licin saat menyentuhnya.
Itulah beberapa hal paling menarik yang saya ingat dari masing-masing destinasi wisata yang saya kunjungi selama dua hari penuh di Bali. Dari semua daya tarik paling menarik yang sudah saya jabarkan di atas, The Bloom Garden adalah tempat terfavorit bagi saya. Sebagai pecinta bunga, saya ingin melihat bunga-bunga di sana berkembang sepanjang tahun. Saya ingin sekali menyaksikan bunganya tumbuh mulai dari kuncup hingga mekar sempurna. Mungkin di lain waktu, saya akan berkunjung lagi. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H