"Iya, gratis! Nggak usah bayar kalau sama saya. Cukup beli buah kelapa aja. Minum air kelapanya di sini berdua, ya? Per buah cuma tiga puluh lima. Tempat duduknya nggak usah bayar."
"Wah, iya, Pak. Boleh-boleh," jawab teman saya semringah.
Saya pun tersenyum, bahkan cara bapak itu menjajakan usahanya terlihat menarik bagi saya. Di saat yang lain menyediakan sewa tempat dengan harga menyentuh angka seratus, beliau malah memberikan harga percuma. Berkat tawarannya itu, saya dan teman saya bisa menikmati keindahan Pantai Kuta sembari menyeruput kesegaran air kelapa.
Selang dua jam kemudian, kami kembali ke rombongan untuk berangkat ke Pantai Melasti. Perjalanan dari Pantai Kuta ke Pantai Melasti membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Perjalanan tidak pernah membosankan karena suara pemandu wisata turut menemani sepanjang jalan. Mendekati area pantai, pandangan saya terus tertuju pada pemandangan di luar jendela bus. Mata saya hanya dipenuhi oleh tebing-tebing besar dan kokoh. Keberadaan tebing tersebut memberikan kesan megah.
Saya langsung turun begitu bus berhenti. Kaki saya terpaku beberapa detik saat menginjak pasir di Pantai Melasti. Warna pasir putihnya mengingatkan saya dengan brem, salah satu makanan tradisional yang biasa dibeli wisatawan dan menjadi oleh-oleh khas Bali. Namun, hal paling menariknya bukan terletak di pasir--setidaknya menurut saya, bagian tebing dan hamparan pantai biru toska adalah kombinasi terbaik paling menarik.
Ketika saya menatap lurus ke depan, terlihat ombak pantai yang berlari bergulung-gulung ke arah saya. Ketika saya mengangkat kepala, tampak langit biru dengan gumpalan awan putihnya. Ketika saya berbalik ke belakang, berdiri jajaran tebing yang menjulang. Kombinasi inilah yang membuat saya tidak henti-hentinya memuji nama Tuhan.
Menjelang sore, kami bergegas ke tujuan wisata terakhir--Garuda Wisnu Kencana Culture Park. Tempat ini menawarkan pertunjukkan tari Kecak sebagai penutup atraksi hari itu. Saya perlu berjalan melewati kurang lebih ratusan anak tangga untuk tiba di patung Garuda Wisnu Kencana. Patung ini menggambarkan Dewa Wisnu yang sedang menunggangi burung garuda. Ukuran patungnya benar-benar raksasa dengan tinggi 121 meter. Leher saya sampai sakit karena terlalu mendongak. Hampir semua patung utama yang ada di GWK memang tinggi dan berukuran sangat besar. Namun, hal paling menarik bagi saya adalah tebing-tebing yang mengelilingi taman budaya tersebut.
Kami dihimpit oleh dua tebing di sisi kanan dan kiri saat hendak masuk ke area patung Garuda Wisnu Kencana. Setelah menonton tari Kecak, kami juga melewati sebuah tebing yang bagian tengahnya dikeruk dengan detail menyerupai pintu keluar. Saya sempat menyentuh tebing tersebut. Teksturnya kasar dan terasa dingin--mengingat angin malam mulai bergerak. Saya melihat lumut-lumut kecil yang tumbuh di permukaan tebing tertekan oleh telapak tangan saya. Uniknya, saya sama sekali tidak merasa licin saat menyentuhnya.
Itulah beberapa hal paling menarik yang saya ingat dari masing-masing destinasi wisata yang saya kunjungi selama dua hari penuh di Bali. Dari semua daya tarik paling menarik yang sudah saya jabarkan di atas, The Bloom Garden adalah tempat terfavorit bagi saya. Sebagai pecinta bunga, saya ingin melihat bunga-bunga di sana berkembang sepanjang tahun. Saya ingin sekali menyaksikan bunganya tumbuh mulai dari kuncup hingga mekar sempurna. Mungkin di lain waktu, saya akan berkunjung lagi. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H