Setelah berjalan kaki santai sekitar 15 menit dari rumah penjaga situs Sujaya, atau Abah Jaya, kami tiba di Situs Tugu Gede Cengkuk pada jam 7 pagi (29/12/24). Cahaya keemasan matahari pagi membuat susunan batu di situs tua ini tampak sangat indah. Lokasinya di Kampung Cengkuk, Desa Margalaksana, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi. Dari Hotel Grand Inna Samudra Beach Pelabuhan Ratu sekitar 11 kilometer ke arah perbukitan. Dari perbukitan, kita bisa melihat hamparan laut dan persawahan.
Sisi depan menhir tertutup lumut hijau tua dan jamur putih. Sedangkan sisi lainnya yang terkena matahari, bercak jamur putihnya lebih sedikit. Lumutnya berwarna hijau muda dan bernuansa jingga. Terdapat susunan batuan yang lebih kecil bersender pada menhir. Saya menemukan bekas-bekas dupa yang dibakar. Sepertinya sisi ini yang sering digunakan sebagai tempat ritual. Tak jauh dari menhir ini terdapat susunan tangga batu menuju ke sebaran batu di bagian bawah.
Hampir 140 tahun setelah Adolphe Guillaume Vorderman (1844--1902), dokter dan peneliti Belanda  melaporkan temuan megalitik di daerah yang sekarang masuk ke dalam Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, kami senang bisa datang ke situs ini. Lokasi ini juga menjadi rute untuk menuju kampung adat Ciptagelar, sekitar 17 km. Kami ditemani oleh Teh Hilda, Kang Dida dan Kang Wildan, dari Jelajah Sejarah Soekaboemi (JSS).
Bagi Mereka yang Sudah Tiada maupun Hidup
Topografi kampung Cengkuk berbukit-bukit dengan ketinggian antara 382-415 meter di atas permukaan laut. Situs ini terletak di lereng Gunung Batu Lawang, di daerah lembah seluas sekitar 2 hektar. Abah Jaya menunjuk pada jolang batu, batu sepanjang 2 meter dengan lebar sekitar 0,5 meter yang tak lagi utuh. Di dekatnya terdapat menhir kotak pipih, dengan tinggi hampir 1,5 meter.
'Itu batu mayit ' kata Abah ketika kami melewati sungai kecil. 'Warga percaya kalau tempat ini untuk mensucikan diri, baik bagi jenazah ataupun mereka yang mempersiapkan diri untuk 'moksa'' Kata Abah Jaya. Beliau meneruskan 'warisan' neneknya untuk menjaga situs Tugu Gede Cengkuk. Di tahun 70-an, neneknya yang mengajak warga kampung untuk gotong royong membersihkan situs ini dari hutan dan semak belukar. Kesempatan menginap di rumah Abah Jaya, membuat kami belajar banyak sekali tentang kearifan lokal yang begitu ramah lingkungan dan berkesinambungan. 'Warisan' berharga ini diturunkan turun temurun secara lisan.
Kami mencuci muka di pancuran dari mata air Citugu, sekitar 80 meter dari menhir Tugu Gede. Keberadaan sumur atau mata air ini konsisten dengan lokasi2 situs tua yang dianggap suci seperti punden berundak. Dipercaya, Â peziarah dulu maupun sekarang akan perlu membersihkan diri terlebih dulu sebelum melakukan ritual.
Menilik dari letak mata air, sebaran batu dan tangga batu menuju menhir Tugu Gede yang menjadi 'tempat tertinggi' di kawasan situs ini, sepertinya dulu leluhur kita masuk dari sisi berlawanan dari arah kami masuk yang cenderung datar.Â
Pendirian bangunan megalitik oleh masyarakat masa itu bertujuan sebagai penghormatan bagi arwah dan kesempurnaan bagi mereka yang telah berpulang. Selain itu susunan batu merupakan "media" bagi arwah leluhur untuk memancarkan kekuatan dan kesejahteraan bagi anak cucu, kesuburan tanaman, peternakan serta keselamatan dalam mencari nilai kehidupan yang baru (Asmar, 1975:19-38).
Kami mengunjungi museum kecil yang terletak di samping rumah panggung keluarga Abah Jaya. Anda akan menemukan berbagai macam artefak termasuk replika dewi yang dipercaya sebagai Dewi Sri atau Pohaci yang terbuat dari terakota, melambangkan kesuburan.
Sayang sekali, waktu terlalu singkat untuk lebih lama mengamat berbagai bentukan batu dan belajar begitu banyak hal dari jejak leluhur kita dan kebijaksaannya hidup berdampingan selaras dengan alam. Semoga warisan tempat dan kebijaksanaan berharga ini terus lestari.
Teks dan foto: Diella Dachlan, Bimo tedjokusumo, Jelajah Sejarah Soekaboemi (JSS)
Sumber:
Pasaribu, Y. A. (2010). Penempatan benda-benda megalitik pada situs Tugu Gede Cengkuk, Sukabumi, Jawa Barat: sebuah kajian keruangan skala semi-mikro.
Sukendar, H. (1977). Laporan Penelitian Prasejarah di Daerah Jampangkulon dan Sekitarnya (Jawa Barat)'. Berita Penelitian Arkeologi, 10, 1-40.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H