Tiga abad lebih tiga tahun setelah bumi Pulau Edam memeluk jasad seorang perempuan yang pernah amat berkuasa di Banten (1751), saya bersimpuh di makam sang Ratu dengan perasaan galau (7/7/18). Sehelai kain tipis bermotif warna pastel merah jambu dan hijau muda yang menyelubungi makam, bukan satu-satunya pemisah di antara kami. Ada jarak waktu tiga abad, kisah, kasta dan dunia tempat kami masing-masing berada sebagai jurang pemisah.
Makam ini berada di bagian pulau yang masih lebat berhutan. Jaraknya hanya sekitar 150 meter dari arah Mercu Suar Vast Licht, landmark utama Pulau Edam atau Damar Besar ini.Â
Namun, melewati tembok pembatas antara mercu suar dan komplek mess yang mengelilinginya, kita akan merasakan suasana antara bagian pulau yang berpenghuni dan yang berhutan. Hutan yang menyembunyikan keberadaan makam, reruntuhan bangunan-bangunan tua dan bunker-bunker yang tak sepenuhnya utuh di pulau seluas 36 hektar ini.
"Assalammualaikum Ratu Syarifah Fatimah" bisik saya kepada angin yang sedang tak menggerakkan daun-daun di sekeliling. Hening.
Membuka selubung makam ini ibarat membuka kisah tentang kedatangan saya ke Pulau Edam karena didorong rasa penasaran dengan kisah di balik sang pemilik makam.
Awal "Perkenalan" dengan Ratu Syarifah Fatimah
Saya "mengenal" Ratu Fatimah pertama dari catatan ringkas Adolf Heuken tahun 2017 lalu. Saat itu saya hanya mengetahui bahwa seorang Ratu Banten bernama Syarifah Fatimah mengadakan pertemuan dengan Gubernur-Jenderal VOC tahun 1749 di sebuah villa di Tanjung Timur, Jakarta yang kita kenal dengan kawasan Condet. Tidak berkesan.
Selanjutnya ketika bulan September 2017, tepat pada hari ulang tahun saya, saya dan Bimo datang ke Gunung Munara di daerah Ciseeng, Parung. Ketika mencari-cari literatur tentang Gunung Munara, tak sengaja saya "berkenalan" dengan Kyai Tapa.
Atsushi Ota, akademisi dari Jepang, menuliskan bahwa Kyai Tapa mengatur pasukannya dari sini. Bersama Ratu Bagus Buang, seorang bangsawan Banten, mereka memimpin pemberontakan rakyat Banten melawan VOC dan pasukan Pangeran Syarif dan Ratu Fatimah (1750-1752).
Padahal waktu ke Gunung Munara, kami (saya dan Bimo), nyaris tidak menemukan jejak Kyai Tapa dalam narasi para penduduk setempat. Padahal, pemberontakannya lumayan heroik.
Kyai Tapa yang menepi dari kehidupan duniawi untuk mengabdikan hidupnya dengan mengajar agama Islam pada murid-muridnya di samping mengobati penduduk di seputar Gunung Munara, akhirnya setuju "turun gunung" mengikuti ajakan Ratu Bagus Buang untuk berperang.
Di sini rasa penasaran saya muncul. Siapa Ratu Syarifah Fatimah? Mengapa rakyat Banten begitu membencinya, sehingga pasukan Kyai Tapa bertambah nyaris 10 kali lipat dari 2.000 menjadi 20.000?
Inilah kisahnya.
"Gambaran tentang Fatimah adalah puteri cantik keturunan Arab yang pandai dan terdidik. Beliau adalah puteri dari pasangan guru Sayid Ahmat dan Nyai Cowok dari Banten" demikian Heuken (2016) memberi gambaran ringkas.Â
Ia menikahi seorang Kapitan Melayu kaya bernama Wan Muhammad. Fatimah pandai bergaul dengan kalangan bangsawan, termasuk para pejabat VOC Belanda. Tidak jelas cerita tentang akhir pernikahannya itu, yang jelas tahun 1720 Fatimah menikahi calon Sultan Banten yang bernama Sultan Muhammad Zainul Arifin. Tigabelas tahun kemudian, suaminya menaiki tahta Sultan Banten (1733).
Untuk ukuran jamannya, Syarifah Fatimah sangat maju dalam strategi politis, meski kurang etis. Ia kemudian menuduh suaminya gila dan mulai "bertakhta" di balik takhta suaminya. Fatimah juga tak segan mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW untuk meraih rasa hormat rakyat Banten (meski belakangan ketahuan).Â
Beliau juga mengambil banyak keputusan penting, termasuk menjual lada dengan harga murah kepada VOC, mengatur penangkapan dan pembuangan Pangeran Gusti, pangeran mahkota yang sah, ke Sri Lanka pada tahun 1747 dengan dukungan VOC. Ia menaikkan Syarif yang menikahi keponakannya, untuk bertahta dan mengangkat dirinya sendiri sebagai penasihat.
Rangkaian tindakan Fatimah ini memicu pemberontakan besar-besaran Rakyat Banten yang dipimpin oleh bangsawan Banten bernama Ratu Bagus Buang dengan dukungan Kyai Tapa yang mengorganisir perjuangan dari Gunung Munara, Ciseeng, Parung.Â
Pemberontakan ini membuat VOC akhirnya berpikir ulang dan membuat beberapa butir kesepakatan dengan para pemimpin pemberontak. Salah satunya dengan kesepakatan menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Pangeran Syarif dan menahan mereka di Pulau Edam, sebelum dibuang ke Saparua. Pulau Edam menjadi akhir dari perjalanan hidup Syarifah Fatimah yang wafat di pulau ini pada tahun 1751.
7 Juli 2018, tiga abad lebih tiga tahun setelahnya........
"Yang ini makam Ratu Fatimah" kata Wira, salah satu penjaga pulau yang mengantar kami hari itu. Ia menunjuk makam yang paling besar dan paling dekat dengan pintu masuk area pemakaman yang sudah berlantai porselen putih.Â
Menurut Wira, seorang pengusaha dari Jakarta berinisiatif memugar makam ini. Komplek ini berisi 5 makam. Ada tiga makam yang lebih kecil, sedangkan dua makam lainnya nyaris identik. Keduanya diselubungi kain tipis bermotif bunga, berpagar putih dan seluruh nisan dibungkus kain putih.
"Ada pengusaha dari Jakarta yang memugar makam ini sudah cukup lama" kata Wira. Seluruh area pemakaman kini sudah berlantai porselen putih. Bakaran dupa dan bekas-bekas ziarah masih tampak di lokasi. "Rata-rata orang yang datang ke sini sendirian. Mereka bisa satu minggu berada di sini atau pas malam Jumat" kata Wira.
Namun ada hal yang tak ia ketahui, tertulis di literatur dan hal ini yang tak urung membuat saya bulu kuduk saya meremang ketika mendekati lokasi makam sang ratu. Rata-rata pengunjung yang datang ke sini adalah mereka yang lebih dari sekedar peziarah kubur semata. Mereka adalah para pencari ilmu hitam, demikian kata literatur. Kebenarannya? Hanya Tuhan yang tahu dan terus terang saya tidak berminat mencari tahu lebih lanjut.
Hal ini-lah yang membuat saya galau bersimpuh di makam sang Ratu, yang tak lagi dapat menjelaskan alasan di balik tindakannya dan membawa seluruh misteri kehidupannya hingga ke liang lahat. Tak ada lagi yang bisa saya lakukan kecuali mengucapkan doa dan bersiap berlalu dari tempat itu untuk menjelajahi pulau bersama 14 teman lainnya.
Di ujung makam, sebuah sumur tua dengan kendi terletak. Kami mengambil airnya untuk mencuci tangan dan muka. Tapi niat itu segera diurungkan. Airnya tak hanya keruh, tetapi juga berbau.
Ah sudahlah....
Diella Dachlan
Foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo
Unduh makalah:
Cahaya dan Kelam di Pulau Edam
Referensi:
Anderson, Clare, 2017. A Global History of Convicts and Penal Colonies, Bloomsbury Publishing
Heuken. A, 2016. Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka
Imadudin, I. (2017). Perdagangan Lada di Lampung Dalam Tiga masa (1653-1930). Patanjala: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, 8(3), 349-364.
Marihandono, D. Nilai Strategus Malaka Dalam Konstelasi Politik Asia Tenggara Awal Abad XIX
Ota, A. (2003). Banten Rebellion, 1750-1752: Factors behind the mass participation. Modern Asian Studies, 37(3), 613-651.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H