"Yang ini makam Ratu Fatimah" kata Wira, salah satu penjaga pulau yang mengantar kami hari itu. Ia menunjuk makam yang paling besar dan paling dekat dengan pintu masuk area pemakaman yang sudah berlantai porselen putih.Â
Menurut Wira, seorang pengusaha dari Jakarta berinisiatif memugar makam ini. Komplek ini berisi 5 makam. Ada tiga makam yang lebih kecil, sedangkan dua makam lainnya nyaris identik. Keduanya diselubungi kain tipis bermotif bunga, berpagar putih dan seluruh nisan dibungkus kain putih.
"Ada pengusaha dari Jakarta yang memugar makam ini sudah cukup lama" kata Wira. Seluruh area pemakaman kini sudah berlantai porselen putih. Bakaran dupa dan bekas-bekas ziarah masih tampak di lokasi. "Rata-rata orang yang datang ke sini sendirian. Mereka bisa satu minggu berada di sini atau pas malam Jumat" kata Wira.
Namun ada hal yang tak ia ketahui, tertulis di literatur dan hal ini yang tak urung membuat saya bulu kuduk saya meremang ketika mendekati lokasi makam sang ratu. Rata-rata pengunjung yang datang ke sini adalah mereka yang lebih dari sekedar peziarah kubur semata. Mereka adalah para pencari ilmu hitam, demikian kata literatur. Kebenarannya? Hanya Tuhan yang tahu dan terus terang saya tidak berminat mencari tahu lebih lanjut.
Hal ini-lah yang membuat saya galau bersimpuh di makam sang Ratu, yang tak lagi dapat menjelaskan alasan di balik tindakannya dan membawa seluruh misteri kehidupannya hingga ke liang lahat. Tak ada lagi yang bisa saya lakukan kecuali mengucapkan doa dan bersiap berlalu dari tempat itu untuk menjelajahi pulau bersama 14 teman lainnya.
Di ujung makam, sebuah sumur tua dengan kendi terletak. Kami mengambil airnya untuk mencuci tangan dan muka. Tapi niat itu segera diurungkan. Airnya tak hanya keruh, tetapi juga berbau.
Ah sudahlah....
Diella Dachlan
Foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo
Unduh makalah:
Cahaya dan Kelam di Pulau Edam
Referensi:
Anderson, Clare, 2017. A Global History of Convicts and Penal Colonies, Bloomsbury Publishing
Heuken. A, 2016. Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka
Imadudin, I. (2017). Perdagangan Lada di Lampung Dalam Tiga masa (1653-1930). Patanjala: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, 8(3), 349-364.
Marihandono, D. Nilai Strategus Malaka Dalam Konstelasi Politik Asia Tenggara Awal Abad XIX
Ota, A. (2003). Banten Rebellion, 1750-1752: Factors behind the mass participation. Modern Asian Studies, 37(3), 613-651.