Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan

When the message gets across, it can change the world

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mengembalikan Tarum ke Citarum

25 September 2017   19:56 Diperbarui: 2 Maret 2018   14:48 2764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Adalah Pak T.Bachtiar yang pertama kali mengenalkan saya pada tanaman Tarum pada tahun 2010.  Beliau menjelaskan bahwa Tarum adalah tanaman asli Indonesia yang digunakan sebagai pewarna alami berwarna indigo atau nila.

Di Indonesia, tanaman ini masih banyak digunakan untuk pewarna tekstil, terutama masyarakat tradisional. Saya menemukan para mama penenun kain di Flores, Nusa Tenggara Timur menggunakan pewarna alami ini untuk membuat benang kain. Meskipun, warnanya tidak se-kinclong pewarna buatan pabrik,  mengolahnya perlu waktu dan kain rawan luntur. Bahkan sejak tahun 1914-1915, pewarna nila dari Tarum ini pelan-pelan kehilangan popularitasnya, berganti dengan pewarna buatan (Bachtiar, 2012)

Tarum memiliki beberapa nama berbeda di daerah. Di Tatar Sunda, masyarakat mengenalnya sebagai “Tarum” (Indigofera spec.div) atau Tarum Areuy (Marsdenia tinctorial R.BR). Di Aceh, namanya “Bak Tarom” atau “Tayom” di Batak, “Pulasan” di Minang, “Talung” di Timor dan “Tom” di Ternate”) (Bachtiar, 2012)

"Cai" (air dalam Bahasa Sunda" dan "Tarum" adalah dua kata yang  membentuk nama Sungai "Citarum"  (Hardjasaputra,2007 ).   Interpretasi  “Tarum” disini bisa mengacu pada dua hal, yaitu Tarum sebagai tanaman  dengan nama latin Indigofera spec.div atau Tarum Areuy  (Marsdenia  tinctorial R.BR) dan kerajaan Tarumanegara, dimana Citarum menjadi batas  wilayah kerajaan pada masa itu. Citarum, sungai sepanjang 269 kilometer  yang melewati 13 kabupaten dan  kota di Provinsi Jawa Barat adalah  sungai terpanjang dan terbesar, sekaligus paling jorok di provinsi itu  (atau mungkin di dunia juga?).

Tapi mengapa sulit sekali menemukan tanaman Tarum  (Indigofera spec.div.) di Sungai Citarum? Berikut adalah kronologi cerita pencarian Tarum.

Seorang mama penenun dan penjual kain tenun di Desa Bena, Bajawa, Flores. Mama ini menggunakan Tarum sebagai pewarna alami kain hasil tenunannya
Seorang mama penenun dan penjual kain tenun di Desa Bena, Bajawa, Flores. Mama ini menggunakan Tarum sebagai pewarna alami kain hasil tenunannya
Tahun 2010. Sejak berkenalan dengan kisah Tarum, Pak Bachtiar  tidak dapat menunjukkan lokasi tumbuhnya Tarum di sepanjang aliran Sungai Citarum,  saking susahnya tanaman itu ditemukan. Saat itulah rasa penasaran saya tergelitik.

Setiap saya ke lapangan ke daerah aliran Sungai Citarum, maupun anak-anak sungainya, nyaris tidak ada warga yang dapat secara presisi menunjukkan dimana tanaman Tarum atau Tarum Areuy ini tumbuh. Bahkan setelah saya tunjukkan fotonya di internet. Rata-rata mereka menjawab “pernah mendengar” atau mengingat tanaman itu dulunya digunakan sebagai penyubur rambut atau obat sakit perut pada akhir tahun 1970-an. Tapi dimana tanamannya? 

Padahal lokasi pencarian saya selama perjalanan ke lapangan periode 2010-2012 tersebar meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Purwakarta, Subang, Karawang dan Bekasi.

Tahun 2011.Rupanya rasa penasaran bisa menular. Teman-teman saya waktu itu ikut gigih mencari keberadaan Tarum. Hasilnya nihil. Hingga, kabar baik datang. Tahun 2011, saya menemukan artikel tentang penelitian Tarum di salah satu kebun percobaan UGM di Yogya. Saya berkorespondensi dengan penelitinya dan menceritakan pada beliau tentang pencaria Tarum ini.


Masalahnya, bagaimana membawa Tarum ke tempat tinggal saya di Bandung? Kabar baik berlanjut. Kebetulan sahabat yang nyaris seperti adik kecil saya, Ayu Kuke Wulandari, dan temannya, akan pergi ke Yogya akhir Desember 2011. Ia menawarkan untuk membawa dua buah tanaman Tarum ke Bandung. Bayangkan, kerepotan yang ditempuh mereka untuk membawanya lewat transportasi darat?

Kebahagiaan ketika akhirnya dapat bertemu tanaman Tarum tahun 2012
Kebahagiaan ketika akhirnya dapat bertemu tanaman Tarum tahun 2012
Tahun 2012. Kuke menyimpan dan merawat tanaman Tarum ini hingga tiga bulan.  Hari dimana saya memegang Tarum adalah hari yang amat membahagiakan. Tanggal 5 Maret 2012 menjadi sangat berkesan. Bahkan di hari yang sama, Pak Bachtiar, Kuke, Gelar, Nancy, Wahyu dan saya sempat makan malam bersama untuk merayakan “kembalinya Tarum”. Kami lalu menanam Tarum “impor” ini di kawasan Sungai Cisanti. Cisanti adalah kawasan hulu sungai yang menampung 7 mata air sebelum membentuk aliran sungai Citarum. Kawasan ini sekarang bertuliskan “0 km Sungai Citarum”.

Tahun 2013. Kami menitipkan Tarum kepada kenalan warga di sana dan kalau ke Cisanti, kami menyempatkan diri untuk menengoknya. Tapi malang, kondisinya belakangan kritis, kering kerontang dan daunnya hilang dimakan ternak. Mengimpor Tarum kembali dari Yogya agak sulit.

Sekali lagi, Tuhan mengirimkan Tarum kepada kami. Kali ini lewat Pak Ruhimat, pegawai Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC). Rupanya diam-diam selama ini beliau ikut “teracuni” ide menanam Tarum kembali di Citarum.

Menanam kembali Tarum dari Ciamis (12/4/13) di Kampung Pejaten Komplek, desa Tarumajaya, Kab.Bandung
Menanam kembali Tarum dari Ciamis (12/4/13) di Kampung Pejaten Komplek, desa Tarumajaya, Kab.Bandung
Hari itu (12/4/13), Pak Ruhimat mengabari kami, ketika ia pulang kampung ke Ciamis, ia menemukan tanaman Tarum di kampungnya. Beliau berbaik hati membawakan empat buah tanaman Tarum untuk kami.

Akibat terlalu girang, sore itu juga kami berangkat ke Cisanti. Kami menanam satu pohon Tarum di Kampung Pejaten Komplek, desa Tarumajaya, sekitar 700 meter dari mata air Pangsiraman. Sedangkan 1 pohon lagi kami tanam di dekat mata air Pangsiraman dan 2 pohon di Desa Cibeureum. Kali ini kami menitipkan pada warga yang rumahnya dekat situ dan menitipkan uang perawatan sekedarnya untuk menyiram dan membuat pagar bambu di sekeliling tanaman Tarum.

Seperti apa tanaman Tarum di hulu Citarum ini sekarang? Sejak tahun 2014, saya belum lagi berkunjung ke sana. Jika ada teman yang kebetulan sedang berwisata ke sana, boleh ya tolong titip kabar dan juga titip doa agar Sungai Citarum dapat pulih bersih dan sehat kembali.


Catatan: Ini adalah sebuah narasi lama, ketika bekerja pada sebuah  lembaga donor di program Citarum terpadu yang melibatkan 6 kementerian  pada periode 2009-2014. Kisah kecil sederhana yang terdorong rasa  penasaran dan keinginan untuk mengembalikan Tarum di aliran Sungai  Citarum.


Tulisan: Diella Dachlan
Foto: Ayu Kuke Wulandari, Ng Swan Ti, Diella Dachlan


Referensi:

Ci Tarum, Kawasan Penghasil Pewarna Alami, T.Bachtiar, 2012, Cita-Citarum

Citarum dalam Perspektif Sejarah, A.Sobana Hardjasaputra, 2007, Universitas Padjajaran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun