Adalah Pak T.Bachtiar yang pertama kali mengenalkan saya pada tanaman Tarum pada tahun 2010. Beliau menjelaskan bahwa Tarum adalah tanaman asli Indonesia yang digunakan sebagai pewarna alami berwarna indigo atau nila.
Di Indonesia, tanaman ini masih banyak digunakan untuk pewarna tekstil, terutama masyarakat tradisional. Saya menemukan para mama penenun kain di Flores, Nusa Tenggara Timur menggunakan pewarna alami ini untuk membuat benang kain. Meskipun, warnanya tidak se-kinclong pewarna buatan pabrik, mengolahnya perlu waktu dan kain rawan luntur. Bahkan sejak tahun 1914-1915, pewarna nila dari Tarum ini pelan-pelan kehilangan popularitasnya, berganti dengan pewarna buatan (Bachtiar, 2012)
Tarum memiliki beberapa nama berbeda di daerah. Di Tatar Sunda, masyarakat mengenalnya sebagai “Tarum” (Indigofera spec.div) atau Tarum Areuy (Marsdenia tinctorial R.BR). Di Aceh, namanya “Bak Tarom” atau “Tayom” di Batak, “Pulasan” di Minang, “Talung” di Timor dan “Tom” di Ternate”) (Bachtiar, 2012)
"Cai" (air dalam Bahasa Sunda" dan "Tarum" adalah dua kata yang membentuk nama Sungai "Citarum" (Hardjasaputra,2007 ). Interpretasi “Tarum” disini bisa mengacu pada dua hal, yaitu Tarum sebagai tanaman dengan nama latin Indigofera spec.div atau Tarum Areuy (Marsdenia tinctorial R.BR) dan kerajaan Tarumanegara, dimana Citarum menjadi batas wilayah kerajaan pada masa itu. Citarum, sungai sepanjang 269 kilometer yang melewati 13 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat adalah sungai terpanjang dan terbesar, sekaligus paling jorok di provinsi itu (atau mungkin di dunia juga?).
Tapi mengapa sulit sekali menemukan tanaman Tarum (Indigofera spec.div.) di Sungai Citarum? Berikut adalah kronologi cerita pencarian Tarum.
Setiap saya ke lapangan ke daerah aliran Sungai Citarum, maupun anak-anak sungainya, nyaris tidak ada warga yang dapat secara presisi menunjukkan dimana tanaman Tarum atau Tarum Areuy ini tumbuh. Bahkan setelah saya tunjukkan fotonya di internet. Rata-rata mereka menjawab “pernah mendengar” atau mengingat tanaman itu dulunya digunakan sebagai penyubur rambut atau obat sakit perut pada akhir tahun 1970-an. Tapi dimana tanamannya?
Padahal lokasi pencarian saya selama perjalanan ke lapangan periode 2010-2012 tersebar meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Purwakarta, Subang, Karawang dan Bekasi.
Tahun 2011.Rupanya rasa penasaran bisa menular. Teman-teman saya waktu itu ikut gigih mencari keberadaan Tarum. Hasilnya nihil. Hingga, kabar baik datang. Tahun 2011, saya menemukan artikel tentang penelitian Tarum di salah satu kebun percobaan UGM di Yogya. Saya berkorespondensi dengan penelitinya dan menceritakan pada beliau tentang pencaria Tarum ini.
Masalahnya, bagaimana membawa Tarum ke tempat tinggal saya di Bandung? Kabar baik berlanjut. Kebetulan sahabat yang nyaris seperti adik kecil saya, Ayu Kuke Wulandari, dan temannya, akan pergi ke Yogya akhir Desember 2011. Ia menawarkan untuk membawa dua buah tanaman Tarum ke Bandung. Bayangkan, kerepotan yang ditempuh mereka untuk membawanya lewat transportasi darat?
Tahun 2013. Kami menitipkan Tarum kepada kenalan warga di sana dan kalau ke Cisanti, kami menyempatkan diri untuk menengoknya. Tapi malang, kondisinya belakangan kritis, kering kerontang dan daunnya hilang dimakan ternak. Mengimpor Tarum kembali dari Yogya agak sulit.
Sekali lagi, Tuhan mengirimkan Tarum kepada kami. Kali ini lewat Pak Ruhimat, pegawai Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC). Rupanya diam-diam selama ini beliau ikut “teracuni” ide menanam Tarum kembali di Citarum.
Akibat terlalu girang, sore itu juga kami berangkat ke Cisanti. Kami menanam satu pohon Tarum di Kampung Pejaten Komplek, desa Tarumajaya, sekitar 700 meter dari mata air Pangsiraman. Sedangkan 1 pohon lagi kami tanam di dekat mata air Pangsiraman dan 2 pohon di Desa Cibeureum. Kali ini kami menitipkan pada warga yang rumahnya dekat situ dan menitipkan uang perawatan sekedarnya untuk menyiram dan membuat pagar bambu di sekeliling tanaman Tarum.
Seperti apa tanaman Tarum di hulu Citarum ini sekarang? Sejak tahun 2014, saya belum lagi berkunjung ke sana. Jika ada teman yang kebetulan sedang berwisata ke sana, boleh ya tolong titip kabar dan juga titip doa agar Sungai Citarum dapat pulih bersih dan sehat kembali.
Catatan: Ini adalah sebuah narasi lama, ketika bekerja pada sebuah lembaga donor di program Citarum terpadu yang melibatkan 6 kementerian pada periode 2009-2014. Kisah kecil sederhana yang terdorong rasa penasaran dan keinginan untuk mengembalikan Tarum di aliran Sungai Citarum.
Tulisan: Diella Dachlan
Foto: Ayu Kuke Wulandari, Ng Swan Ti, Diella Dachlan
Referensi:
Ci Tarum, Kawasan Penghasil Pewarna Alami, T.Bachtiar, 2012, Cita-Citarum
Citarum dalam Perspektif Sejarah, A.Sobana Hardjasaputra, 2007, Universitas Padjajaran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H