Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan

When the message gets across, it can change the world

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perebutan Sunda Kelapa: Pertarungan Dua Koalisi (Bag.3)

21 Juni 2017   14:23 Diperbarui: 22 Juni 2017   11:18 11155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: Pembuat perahu di muara Sungai Cibanten, Serang, Banten

22 Juni 1527 sekarang dirayakan menjadi hari ulang tahun Jakarta, menandai kemenangan perebutan pelabuhan Sunda Kelapa oleh pasukan gabungan Demak Cirebon yang dipimpin Fatahillah. Di sisi lain, kemenangan ini sekaligus menandai berakhirnya penguasaan pelabuhan oleh Kerajaan Tarumanegara (sejak abad ke-5) dan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Sejarah memang selalu memiliki dua sisi.

Ini adalah tulisan terakhir dari tulisan bertajuk Perebutan Sunda Kelapa.

Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan terkuat Kerajaan Pakuan Pajajaran dari enam pelabuhan yang menjadi bagian dari kekuasaannya, yaitu pelabuhan Banten, Pontang, Cikande (Tangerang), Karawang dan Cimanuk. Pelabuhan Sunda Kelapa adalah pelabuhan internasional kerajaan Pakuan Pajajaran. 

Dari sini, hasil bumi seperti beras dan lada diekspor ke daerah dan negara-negara tetangga. Kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makassar dan Madura hingga pedagang dari India, Tiongkok, kepulauan Ryu-Kyu (Jepang) mengunjungi pelabuhan ini untuk berniaga. Selain lada, barang-barang yang diekspor melalui pelabuhan ini termasuk pala, emas hingga cula badak yang biasanya diminati oleh pedagang Tiongkok (Heuken, 2015, hal 18).

Koalisi Pakuan Pajajaran dan Portugis

Di tulisan sebelumnya, kita sudah membahas tentang kisah para pangeran kerajaan Pakuan Pajajaran dan awal ketegangan antara kerajaan ini dengan Cirebon. Ironinya, dari perpecahan keluarga karena perbedaan keyakinan,  Cirebon, Demak dan Pakuan Pajajaran sebenarnya hubungannya masih cukup dekat  akibat perkawinan (lihat dua tulisan sebelumnya).

Prabu Siliwangi (1482-1521), raja dengan banyak nama dan gelar, yang masa pemerintahannya disebut sebagai puncak keemasan kerajaan ini, berinisiatif untuk mengadakan hubungan dengan Portugis. Beliau mengutus anaknya, Prabu Surawisesa (1521-1535) untuk menemui utusan Portugis di Malaka pada tahun 1512 dan 1521.

Setelah Prabu Surawisesa mengunjungi Malaka atas perintah ayahnya (1512), setahun setelahnya (tahun 1513), empat kapal Portugis di bawah pimpinan de Alvin datang mengunjungi Kelapa. Orang Portugis mencari rempah-rempah, terutama cengkeh, lada dan pala. Dalam kunjungan ini (1513) Tome Pires ikut serta. Tome Pires-lah yang menuangkan catatan tentang Kerajaan Pakuan Pajajaran ini dalam bukunya yang berjudul "Suma Oriental".

Di catatannya, selain melukiskan tentang jarak Kelapa ke pusat kerajaan Pakuan Pajajaran di daerah Batutulis yang ditempuh dalam dua hari berjalan kaki. Catatannya juga menyebutkan bahwa kota tempat raja berada disebut Dayeuh, memiliki rumah-rumah indah dari daun palem dan kayu. Rumah raja memiliki 330 pilar sebesar tong anggur dan tingginya 5 fatom (sekitar 9.14 m) dan terdapat ukiran kayu yang sangat indah pada ukiran tersebut(Danasasmita, 2014, hal 50).  

Tahun 1522, utusan Portugis datang lagi ke Kelapa dan Pakuan, dibawah pimpinan Henriquez de Leme. Literatur menyebutkan tahun tersebut, Prabu Siliwangi sudah tidak lagi bertahta dan digantikan oleh Prabu Surawisesa. Karena berbeda pelafalan, Portugis menyebut Prabu Surawisesa, Raja Sanghiyang dengan "Raja Samiam".

Pada kunjungan ke-dua ini-lah Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Portugis menandatangani perjanjian dagang dan keamanan, dengan rangkap dua dan dihadiri oleh saksi-saksi dari kedua belah pihak. Di antara isi perjanjian tersebut, dalam jangka waktu setahun, Pajajaran akan memberikan 1.000 karung lada yang ditukar Portugis dengan barang-barang kebutuhan. Selain itu, Pajajaran memberikan izin bagi Portugis untuk mendirikan benteng di Pelabuhan Sunda Kelapa.  Benteng ini tidak pernah dibangun, karena Sunda Kelapa sudah keburu dikuasai.

Yang menarik adalah catatan pada tahun 1522 menyebutkan penduduk kerajaan Pakuan Pajajaran yaitu sekitar 50.000 orang? Kebenarannya tentu saja masih dipertanyakan.  Apakah jumlah ini dilebih-lebihkan atau ada metode perhitungan cacah jiwa saat itu? Kita belum tahu.

Halaman terakhir hasil perundingan Perjanjian Sunda Kelapa ini kini tersimpan dalam arsip Torre do Tombo,Lisbon(Heuken, 2015, hal 19). Batu perjanjian Padraokemudian ditanam di pantai di muara Ciliwung. Batu ini kini bisa dilihat di Museum Nasional (meskipun pada saat kami berkunjung ke museum pertengahan Juni 2017, kami tidak menemukannya. Mungkin karena sedang renovasi?).

Yang menjadi kesepakatan rahasia adalah, kedua belah pihak akan menghadapi Demak bersama-sama.

Lada di perkebunan di Kabupaten Serang, Banten. Tanaman rempah-rempah ini yang membuat para pelaut dan pedagang rela membelah samudera ke ujung dunia
Lada di perkebunan di Kabupaten Serang, Banten. Tanaman rempah-rempah ini yang membuat para pelaut dan pedagang rela membelah samudera ke ujung dunia
Koalisi Demak Cirebon

Tulisan sebelumnya sudah membahas tentang anak-anak Prabu Siliwangi dari istri yang bernama Subanglarang, memeluk agama Islam dan pindah ke Cirebon. Selain itu tulisan juga sudah membahas tentang Cirebon dan Demak, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Fatahillah, Sultan Trenggana dan hubungan di antara mereka . Karenanya hal ini tidak perlu diulangi kembali dalam tulisan ini.

Demak mengamati terus perkembangan hubungan Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Portugis yang dinilainya sebagai ancaman bagi perdagangan lautnya.  Pada saat itu Demak sangat bergantung pada perdagangan laut dan baru saja keluar dari krisis perebutan hak waris kekuasaan. Namun Sultan Trenggono saat itu belum bisa melakukan apapun.

Yang menarik dan perlu disebutkan di sini adalah dari sisi Portugis yang juga keteteran pada saat itu. Dua kali armada Portugis gagal berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa dan Alfonso d'Albouquerque meninggal dunia di Cuchin. Sedangkan, Cirebon disebutkan tidak memiliki angkatan laut yang cukup kuat. Sehingga pada saat tersebut, koalisi dengan Demak sangat membantu untuk memperkokoh angkatan lautnya.

Koalisi Demak Cirebon awalnya menyerang dan mengambil alih pelabuhan Banten pada tahun 1526. Ketika hendak menyerang Banten, Fatahillah yang saat itu adalah Senapati Bintoro (Demak), terlebih dulu mengunjungi Cirebon untuk meminta restu dari mertuanya, yaitu Sunan Gunung Jati.Baik Sunan Gunung Jati dan Raden Patah (Sultan Trenggono) adalah mertua dari Fatahillah. Setelah Banten ditaklukkan, Sabakingkin, anak Sunan Gunung Jati dari Kawunganten kemudian dinobatkan menjadi bupati Banten.

Perang

Pasukan Portugis memang sedang naas. Tahun 1526, Kapal Brigantin (kapal berlayar dua) armada Portugis yang dipimpin oleh Fransesco de Sa terpisah dari armadanya akibat badai. Satu kapal terhempas ke pantai Kelapa pada akhir tahun 1526. Portugis belum mengetahui bahwa saat itu sudah terjadi pergantian kekuasaan di Pelabuhan Sunda Kelapa.

Ketika mendekati pantai, Pasukan Portugis langsung diserang dan dikalahkan oleh Pasukan Cirebon-Demak yang baru saja merebut Kelapa. Sekitar 30 anak buah de Sa terbunuh. Sisa pasukan yang berhasil selamat kembali ke Malaka. De Sa tidak menyerah. Ia dan armadanya kembali mencoba mendarat di Pantai Kelapa setelah kejadian itu. Upaya itu kembali digagalkan oleh Fatahillah dan pasukannya.

Tahun 1527, Fatahillah memimpin pasukan gabungan Demak Cirebon dengan 1.452 tentara untuk menyerang Kelapa dan memenangkan perang. Yang perlu digaris bawahi disini adalah catatan literatur yang menyebutkan bahwa angkatan laut Demak yang tangguh juga membuat armada Portugis keteteran. Catatan tentang perang ini ada di naskah Carita Parahiyangan.

Yang menarik adalah menyimak catatan Heuken (2015). Heuken menuliskan lokasi spesifik peristiwa tersebut adalah di daerah Kota sebelah selatan rel kereta api dan jalan tol Tanjung Priok-Cengkareng. Tahun 1520, seluruh daerah Pasar Ikan masih berupa laut (hal 23).

Serpihan narasi sejarah yang juga menarik adalah adanya peran Pangeran Kuningan atau Adipati Awangga. Tentang siapa beliau, tentunya tidak dapat dibahas di ruang terbatas ini. Singkatnya, Pangeran Kuningan membantu Fatahillah dan pasukan koalisi.

Tetapi setelah perang usai pada tahun 1527, Pangeran Kuningan tidak kembali ke Cirebon. Beliau memilih untuk tinggal di Kelapa, di dekat sungai Krukut, membangun mesjid Al-Mubarok (di sebelah Museum Satria Mandala) dan menyebarkan agama Islam. Makam beliau kini masih dapat dilihat di komplek gedung Telkom di Jalan Gatot Subroto di sebelah museum Satria Mandala. Posisi makamnya "terkepung" gedung dan terletak di dasar anak tangga paling bawah. Posisi makam yang kurang memadai untuk tokoh dengan peran yang cukup besar seperti beliau.

Makam Pangeran Kuningan atau Adipati Awangga di komplek gedung Telkomsel, Gatot Subroto, Jakarta
Makam Pangeran Kuningan atau Adipati Awangga di komplek gedung Telkomsel, Gatot Subroto, Jakarta
Setelah Perang Usai

Setelah Banten dan Kelapa direbut koalisi Demak Cirebon, hampir di seluruh kerajaan Pakuan Pajajaran terjadi pemberontakan (terhadap Cirebon) dan perang. Diduga masa kacau ini terjadi pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa, pengganti Prabu Siliwangi. Dalam masa 14 tahun pemerintahannya, Prabu Surawisesa harus menghadapi 15 kali peperangan.

Peperangan antara Pakuan Pajajaran dan Cirebon baru berhenti pada tahun 1531, ketika kedua belah pihak menandatangani perjanjian damai dan menghentikan peperangan. Pada masa damai inilah Prabu Surawisesa memiliki waktu untuk kembali mengurusi negaranya, termasuk membuat Prasasti Batutulis (1533) untuk mengenang kebesaran ayahnya, Prabu Siliwangi.

Kemenangan Fatahillah dan pasukan koalisi Demak Cirebon mengalahkan koalisi Portugis dan Pakuan Pajajaran kini ditetapkan menjadi hari ulang tahun Jakarta, terlepas dari polemik akademis terkait hipotesa dan historis yang mengikuti penetapan nama "Jakarta" dan tanggalnya.

Awal abad XVII, wilayah bekas kerajaan Pajajaran jatuh ke tangan Kerajaan Mataram. Berdasarkan perjanjian Mataram dan kumpeni pada tahun 1677 dan 1705, seluruh wilayah bekas kerajaan Pajajaran diserahkan ke kumpeni (hal 41).

Ada hal lain yang menarik yang perlu dicermati dalam hal ini.

Perjanjian Sunda Kalapa tahun 1522 tidak diperbaharui.  Sejarah mungkin akan lain jika Fatahillah memperbaharui Perjanjian Sunda Kalapa tahun 1522. Satu abad kemudian, penguasa Banten dan Jayakarta tentunya tidak akan mengijinkan musuh besar Portugis, yaitu VOC, untuk membangun gudang di tepi muara Sungai Ciliwung.

Yang menarik adalah pengamatan Heuken tentang Portugis. Portugis disebut tidak berusaha menguasai tanah luas, hanya ingin memperoleh beberapa Bandar saja untuk berdagang. Hal ini dengan mengamati jejak Portugis di Goa, Malaka, Ternate, Dili dan Macau (hal 24). Dalam hal ini, bisa jadi visi Raja-Raja Pajajaran seperti Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa lebih tepat? Entahlah. Sejarah sudah terjadi dan tertulis seperti sekarang.

Salah satu pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kejadian ini adalah perang saudara pada akhirnya berujung kehancuran dan berawalnya penjajahan selama 350 tahun setelahnya di bumi pertiwi ini. Semoga dalam hal ini, sejarah tidak lagi berulang.

Tulisan Terkait:

Referensi:

  1. Danasasmita, 2014, Mencari Gerbang Pakuan, Kiblat Utama, Bandung
  2. Danasasmita, 2014, Menelusuri Situs Prasasti Batutulis, Kiblat Utama Bandung
  3. Danasasmita, 2014, Menelukan Kerajaan Sunda, Kiblat Utama Bandung
  4. Danasasmita, 2003, Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, Kiblat Utama Bandung
  5. Dienaputra, R. D. (2012). Sunda, Sejarah, Budaya dan Politik. Abstrak.
  6. Heuken, 2016, Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, Cipta Loka Caraka
  7. Hidayat, M. R. (2017). Cirebon di bawah kekuasaan Mataram Tahun 1613-1705: Kajian historis mengenai hubungan politik, sosial dan agama (Bachelor's thesis).
  8. Hidayat, 2008, Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan, Sundaislam
  9. Laffan, M. (2016). Sejarah Islam di Nusantara. Bentang Pustaka.
  10. Lubis, H. N. H. (2016). Kerajaan Sunda. Abstrak.
  11. Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta?, Irfan Teguh, 15 Maret 2017, Tirto.co.id
  12. Muljana, S. (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara.
  13. Mumuh Muhsin, Z. (2012). Kujang, Pajajaran, Dan Prabu Siliwangi. Abstrak.
  14. Proceedings Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran, 1993, Universitas Pakuan Bogor dan Yayasan Pembangunan Jawa Barat

  15. Syafi'ie, K. A., & Asli, U. P. L. Betawi dengan Kiprah Nasional dan Internasional.

  16. Tjandrasasmita,2009, Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun