Yang menarik adalah catatan pada tahun 1522 menyebutkan penduduk kerajaan Pakuan Pajajaran yaitu sekitar 50.000 orang? Kebenarannya tentu saja masih dipertanyakan. Â Apakah jumlah ini dilebih-lebihkan atau ada metode perhitungan cacah jiwa saat itu? Kita belum tahu.
Halaman terakhir hasil perundingan Perjanjian Sunda Kelapa ini kini tersimpan dalam arsip Torre do Tombo,Lisbon(Heuken, 2015, hal 19). Batu perjanjian Padraokemudian ditanam di pantai di muara Ciliwung. Batu ini kini bisa dilihat di Museum Nasional (meskipun pada saat kami berkunjung ke museum pertengahan Juni 2017, kami tidak menemukannya. Mungkin karena sedang renovasi?).
Yang menjadi kesepakatan rahasia adalah, kedua belah pihak akan menghadapi Demak bersama-sama.
Tulisan sebelumnya sudah membahas tentang anak-anak Prabu Siliwangi dari istri yang bernama Subanglarang, memeluk agama Islam dan pindah ke Cirebon. Selain itu tulisan juga sudah membahas tentang Cirebon dan Demak, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Fatahillah, Sultan Trenggana dan hubungan di antara mereka . Karenanya hal ini tidak perlu diulangi kembali dalam tulisan ini.
Demak mengamati terus perkembangan hubungan Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Portugis yang dinilainya sebagai ancaman bagi perdagangan lautnya. Â Pada saat itu Demak sangat bergantung pada perdagangan laut dan baru saja keluar dari krisis perebutan hak waris kekuasaan. Namun Sultan Trenggono saat itu belum bisa melakukan apapun.
Yang menarik dan perlu disebutkan di sini adalah dari sisi Portugis yang juga keteteran pada saat itu. Dua kali armada Portugis gagal berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa dan Alfonso d'Albouquerque meninggal dunia di Cuchin. Sedangkan, Cirebon disebutkan tidak memiliki angkatan laut yang cukup kuat. Sehingga pada saat tersebut, koalisi dengan Demak sangat membantu untuk memperkokoh angkatan lautnya.
Koalisi Demak Cirebon awalnya menyerang dan mengambil alih pelabuhan Banten pada tahun 1526. Ketika hendak menyerang Banten, Fatahillah yang saat itu adalah Senapati Bintoro (Demak), terlebih dulu mengunjungi Cirebon untuk meminta restu dari mertuanya, yaitu Sunan Gunung Jati.Baik Sunan Gunung Jati dan Raden Patah (Sultan Trenggono) adalah mertua dari Fatahillah. Setelah Banten ditaklukkan, Sabakingkin, anak Sunan Gunung Jati dari Kawunganten kemudian dinobatkan menjadi bupati Banten.
Pasukan Portugis memang sedang naas. Tahun 1526, Kapal Brigantin (kapal berlayar dua) armada Portugis yang dipimpin oleh Fransesco de Sa terpisah dari armadanya akibat badai. Satu kapal terhempas ke pantai Kelapa pada akhir tahun 1526. Portugis belum mengetahui bahwa saat itu sudah terjadi pergantian kekuasaan di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Ketika mendekati pantai, Pasukan Portugis langsung diserang dan dikalahkan oleh Pasukan Cirebon-Demak yang baru saja merebut Kelapa. Sekitar 30 anak buah de Sa terbunuh. Sisa pasukan yang berhasil selamat kembali ke Malaka. De Sa tidak menyerah. Ia dan armadanya kembali mencoba mendarat di Pantai Kelapa setelah kejadian itu. Upaya itu kembali digagalkan oleh Fatahillah dan pasukannya.