Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan

When the message gets across, it can change the world

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perebutan Sunda Kelapa: Awal Ketegangan (Bagian 2)

19 Juni 2017   03:44 Diperbarui: 19 Juni 2017   17:33 5509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: Mesjid di Banten Lama

Ancaman Demak terhadap Pakuan Pajajaran tampak jelas dengan diambil alihnya Cirebon, Japura dan Losari ke dalam kekuasaan Demak. Hubungan ini diperkokoh lagi dengan ikatan perkawinan.

Fatahillah adalah menantu Syarif Hidayatullah  atau Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Ia menikahi Ratu Ayu, anak perempuan beliau. Selain itu, Fatahillah juga merupakan menantu dari Raden Patah dari Demak, karena ia menikahi Ratu Nyawa. Ratu Nyawa adalah janda dari Bratakelana, anak laki-laki Sunan Gunung Jati.

Dari penjelasan ini, kita bisa melihat bagaimana ikatan perkawinan pada saat itu dapat memperkuat kekuasaan dan kerjasama kerajaan.

Pati Unus, ipar Sultan Trenggana (1504-1546), pada tahun 1513 (tahun kedatangan Tome Pires ke Kerajaan Pakuan Pajajaran) sudah dua kali gagal menghalau Portugis dari Malaka. Karenanya, Fatahillah disambut gembira dan diharapkan dapat membantunya mencegah Portugis membangun pangkalan kuat di pantai Jawa Barat bersama Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Perang tak terhindarkan.

Di masa Prabu Siliwangi, literatur tidak menyebutkan adanya perang antara Cirebon dan Pakuan Pajajaran.  Dugaannya adalah karena masih ada rasa hormat dan kesungkanan  para putera Prabu Siliwangi di Cirebon.

Ketika Prabu Siliwangi wafat pada tahun 1521, situasinya menjadi amat berbeda.  Kesungkanan telah lenyap.  Kedua kerajaan ini menjadi sejajar dan mulai saling berhadapan. Cirebon dipimpin oleh Syarif Hidayatullah dengan dukungan Pangeran Walasungsang, Pakuan Pajajaran dipimpin oleh pangerannya, yaitu Prabu Surawisesa. Kedua pangeran ini satu ayah dari ibu yang berbeda.  Subanglarang adalah ibu dari Walasungsang, Larasantang dan Rajasangara. Sedangkan Mayang Sunda  adalah ibu Prabu Surawisesa.

Masa pemerintahan Prabu Surawisesa selama 14 tahun (1521-1535) diguncang 15 kali pertempuran, termasuk pertempuran denan Cirebon selama 5 tahun (hal 85). Belakangan, tahun 1531, Pakuan Pajajaran dan Cirebon menandatangani perjanjian damai dan menghentikan peperangan. Pada masa damai inilah Prabu Surawisesa memiliki waktu untuk kembali mengurusi negaranya, termasuk membuat Prasasti Batutulis (1533) untuk mengenang kebesaran ayahnya, Prabu Siliwangi.

Tapi itu belakangan. Perjanjian damai itu sebelumnya diawali dengan pertempuran alot merebut pelabuhan Sunda Kelapa.

Tulisan lanjutannya dapat dilihat di:  Perebutan Sunda Kelapa: Pertarungan Dua Koalisi (Bag. 3)

Tulisan Terkait:

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun