"Ada dua jenis musuh. Musuh ganyal (nyata) dan musuh alit (halus). Musuh ganyal kelihatan dan mudah dilawan. Sebaliknya, musuh alit tidak kelihatan, berbentuk ideologi baru, cuma bisa diatasi dengan cara meningkatkan kecerdasan rakyat"
Prabu Siliwangi (1482-1521), Carita Parahyangan. Di Proceeding Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran, 11-13 November 1991, hal 38, 151.
Tulisan ke-dua dari tiga tulisan.
Kerajaan Pakuan Pajajaran mencapai masa keemasaannya pada masa Prabu Siliwangi. Di masa pemerintahannya, beliau memprioritaskan pembangunan di bidang ekonomi dan pendidikan.
Pada jaman itu, kerajaan ini memiliki pelabuhan dagang di Banten, Pontang, Cikande (Tangerang), Karawang, Cimanuk dan pelabuhan internasional Sunda Kelapa. Pelabuhan Sunda Kelapa digunakan untuk mengekspor lada dan beras ke negara-negara sahabatnya (Sunarto H & Viviane Sukanda Tessier, 1983, hal 15-16).
Tulisan “Perebutan Sunda Kelapa: Kisah Para Pangeran Pakuan Pajajaran dari Dua Permaisuri” telah membahas sekilas tentang para pangeran dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini sebagai sedikit latar belakang untuk menunjukkan cikal bakal ketegangan yang terjadi pada masa itu, yang nantinya akan berujung pada perebutan pelabuhan Sunda Kelapa.
Ketegangan Pakuan Pajajaran dan Cirebon
Kita kembali sejenak kepada Walasungsang atau Pangeran Cakrabuana di Cirebon. Beliau adalah putera Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pakuan Pajajaran dari permaisurinya yang bernama Subanglarang. Literatur menyebutkan Subanglarang dan anak-anaknya memeluk agama Islam. Pangeran Walasungsang kemudian mendirikan kerajaan Islam pertama di Cirebon. Ini disebut sebagai kerajaan Islam pertama di wilayah kekuasaan kerajaan Pakuan Pajajaran.
Prabu Siliwangi, menurut berbagai literatur, tidaklah menentang agama yang dipeluk istri dan anak-anaknya itu, serta juga tidak menolak berdirinya kerajaan Islam. Prabu Siliwangi menobatkan Pangeran Walasungsang sebagai Susuhunan (penguasa) Cirebon dengan gelarSri Mangana.Meskipun, tentu saja, kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana reaksi Prabu Siliwangi pada saat itu.
Walasungsang dan adiknya, Nyai Larasantang naik haji ke Mekkah selama dua tahun. Setelah naik haji, Nyai Larasantang mendapat gelar Syarifah Mudha’im. Sedangkan, kakaknya Pangeran Walasungsang mendapat gelar Abdullah Iman.
Di sanalah, Nyai Larasantang bertemu dan menikah dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Mereka memiliki seorang anak bernama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 m (Tjandrasasmita, 2009, hal 161).