Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan

When the message gets across, it can change the world

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perebutan Sunda Kelapa: Kisah Para Pangeran Pakuan Pajajaran (Bag. 1)

15 Juni 2017   22:51 Diperbarui: 19 Juni 2017   04:14 7409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prasasti Batutulis di depan Istana Batutulis, Bogor.

Tulisan ini terbagi dan bersambung dalam tiga tulisan. Tajuknya diawali dengan "Perebutan Sunda Kelapa" agar mudah dicari. Selamat membaca.

Pelabuhan Sunda Kelapa di utara Jakarta ibarat sebuah awal dan akhir, tergantung bagi siapa yang mengalaminya. Pelabuhan ini terletak di akhir sebuah Sungai bernama Ciliwung dan menjadi awal perjalanan dan penjelajahan lintas samudera.  

Kejatuhannya ke tangan pasukan gabungan Demak Cirebon pimpinan Fatahillah pada 22 Juni 1527 menjadi awal cikal bakal berkembangnya sebuah kota metropolitan yang berganti nama dari Kalapa, menjadi Jayakarta, lantas Batavia sebelum kita kenal menjadi Jakarta. Di sisi lain, kejatuhannya adalah akhir dari penguasaan terhadap pelabuhan dagang oleh Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Prosesnya meliputi peran banyak pihak, termasuk Kerajaan Pakuan Pajajaran, Portugis, Demak, Cirebon dan Banten.  Penyebabnya macam-macam, antara kepentingan dagang, keamanan, perluasan wilayah dan penaklukkan serta penyebaran agama.

Setelah abai dan nyaris buta sejarah selama berbelas tahun, saya menemukan keasyikan baru untuk membaca dan mempelajari narasi sejarah. Dari berbagai penelusuran literatur, seringkali kepingan narasinya bikin terkejut, karena ternyata saling berhubungan.  

Misalnya, saya baru tahu kalau Pangeran Cakrabuana dari Cirebon, ternyata adalah Walasungsang, putera pertama Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pakuan Pajajaran dari istrinya bernama Subanglarang. Saya juga baru tahu kalau Syarif Hidayatullah ternyata adalah cucu Prabu Siliwangi. Ini hasil pernikahan Nyai Larasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Atau Fatahillah ternyata menantu, baik dari Sunan Gunung Jati (Cirebon) dan Raden Patah (Demak). 

Tulisan ini bermaksud untuk menyederhanakan berbagai literatur yang dibaca mengenai Kerajaan Pakuan Pajajaran. Terutama untuk kaitannya dengan Cirebon, Demak, Portugis dan perebutan Pelabuhan Sunda Kelapa. (di berbagai literatur menyebutkan "Kalapa", tetapi karena yang dimaksud "Kalapa" sama dengan "Kelapa", saya menggunakan "Kelapa" jika menuliskan Sunda Kelapa dalam tulisan ini).

Meskipun pembahasannya akan dilakukan dalam tiga tulisan, tentu saja tidak semua detilnya bisa dijabarkan dan dibahas di sini. Karena itu, mari sama-sama mencari tahu dan menggali kembali narasi sejarah ini. Referensinya ada di akhir tulisan ini.

Prasasti Batutulis di depan Istana Batutulis, Bogor.
Prasasti Batutulis di depan Istana Batutulis, Bogor.
Pakuan Pajajaran dan Cirebon: Kisah Dua Putra Mahkota

Kerajaan Pakuan Pajajaran, kerajaan berumur 222 tahun (1357-1579), diduga berpusat di Batutulis, Bogor sejak masa pemerintahan Prabu Siliwangi selama hampir 4 dasawarsa (1482-1521).

Pada masa itu, tokoh-tokoh raja maupun adipati atau panglima memiliki banyak nama dan gelar. Karenanya kadang membingungkan.

Misalnya, Prabu Siliwangi. Beliau juga dikenal sebagai Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pajajaran, Sri Sang Ratu Dewata atau Ratu Jayadewata  (Danasasmita, 2003, hal 40,  2014, hal 41). Setelah beliau wafat, gelar lainnya yaitu Prabu Guru Dewataprana dan Prabu Ratu (Suryani, 2009).Untuk konsistensi, tulisan ini selanjutnya akan menggunakan nama Prabu Siliwangi. Lebih jauh tentang Prabu Siliwangi, silahkan melihat tulisan: Napak Tilas dan Menelusuri Jejak Prabu Siliwangi)

Jejak kebesaran Prabu Siliwangi dituliskan oleh Prabu Surawisesa (1521-1535), puteranya yang menggantikan beliau, dalam Prasasti Batutulis, yang diperkirakan dibuat pada tahun 1533.

Dan disinilah cabangan yang menarik untuk disimak.

Prabu Surawisesa, Putra Mayang Sunda

Prabu Surawisesa (1521-1535) adalah anak Prabu Siliwangi dari istrinya yang bernama Mayang Sunda. Kisahnya disebut dan dipuji dalam Carita Parahiyangan. Bagaimana tidak? Selama 14 tahun memerintah, Prabu Surawisesa harus menghadapi 15 kali pertempuran!. Parit pelindung kerajaan Pakuan Pajajaran yang dibangun dengan kebijaksanaan memanfaatkan bentang alam, sangat membantu dalam menahan serangan lawan ke kerajaan,hingga saat terakhir kerajaan besar ini runtuh diserang Banten pada tahun 1579.

Prabu Surawisesa juga disebutkan dalam dokumen Portugis dan Negara Kretabhumi. Ia diutus ayahnya, Prabu Siliwangi, untuk menemuiAlfonso d'Albuquerque di Malaka, dimana ia disebut sebagai Ratu Sangiang. Beliau mengunjungi Malaka dua kali, yaitu pada tahun 1512 dan 1521.

Kunjungan pertama adalah sebagai penjajakan terhadap pihak Portugis dengan  4 buah kapal, yang nantinya akan diikuti oleh Tome Pires (1513). Kunjungan kedua menghasilkan kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke ibu kota Pakuan yang berjarak "dua hari berjalan kaki dari Kalapa".

Kunjungan ini menghasilkan perjanjian dagang dan keamanan yang menurut Soekanto (1956), ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522. Ini adalah perjanjian internasional pertama di nusantara.

Kita tinggalkan sejenak peran Portugis di sini, yang akan dibahas dalam tulisan lain. Kita akan kembali ke pangeran di Cirebon yang juga merupakan putera Prabu Siliwangi.

Putra Putri Subanglarang

Naskah Purwaka Caruban menyebutkan Prabu Siliwangi menikahi Subanglarang di Singapura pada tahun 1522 (hal 79). Dari Subanglarang, beliau memiliki tiga orang anak:

Walasungsang (Pangeran Cakrabuana): lahir 1423
Larasantang: lahir 1426 (perempuan)
Rajasangara: lahir 1428

Subanglarang meninggal di Pakuan pada 1441. Setahun setelahnya (1442), Walasungsang meninggalkan istana, diperkirakan pada umur 19 tahun. Kepergiannya diikuti juga oleh adiknya, Larasantang. Berbagai literatur menyebutkan bahwa permaisuri Subanglarang dan para puteranya menganut agama Islam.

Keputusan para pangeran ini meninggalkan istana Pakuan Pajajaran disebutkan karena mereka menolak agama yang dianut ayahnya (Prabu Siliwangi), dan ingin belajar lebih dalam tentang agama Islam. Prabu Siliwangi juga disebutkan tidak menentang atau menolak agama yang relatif baru dikenal di kerajaannya tersebut.

Danasasmita (2014) menyebutkan bahwa Cirebon adalah daerah warisan Walasungsang dari Ki Gedeng Tapa, ayah Subanglarang. Walansungsangyang dikenal juga sebagai Pangeran Cakrabuana telah dinobatkan oleh Prabu Siliwangi sebagai Susuhunan (penguasa) Cirebon dengan gelar Sri Mangana.

Belakangan, terjadi ketegangan-ketegangan antara kerajaan Pakuan Pajajaran dan Cirebon. Selain itu, tekanan perluasan wilayah dari Demak dan Banten serta penyebaran agama Islam, menjadi salah satu pemicu alasan Prabu Siliwangi untuk mengutus puteranya, Prabu Surawisesa menemui Portugis. Dari sini terjadilah perjanjian dagang dan keamanan antara dua belah pihak.

Perjanjian ini membuat Sultan Trenggana (1504-1546) dari Demak sangat gelisah.

Kegelisahan Sultan Trenggana yang masa hidupnya sezaman dengan Prabu Surawisesa ini sangat beralasan. Jika Portugis menguasai Selat Malaka dan Pakuan Pajajaran menguasai Selat Sunda, dibantu oleh Portugis, maka nasib Demak yang bergantung pada perdagangan laut sama saja dengan di ujung tanduk.  Karena itu hal ini perlu strategi perlawanan.

Tulisan lanjutannya dapat dilihat di: Perebutan Sunda Kelapa: Awal Ketegangan (Bag 2)

Tulisan Terkait:

Referensi:

  1. Danasasmita, 2014, Mencari Gerbang Pakuan, Kiblat Utama, Bandung
  2. Danasasmita, 2014, Menelusuri Situs Prasasti Batutulis, Kiblat Utama Bandung
  3. Danasasmita, 2014, Menelukan Kerajaan Sunda, Kiblat Utama Bandung
  4. Danasasmita, 2003, Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, Kiblat Utama Bandung
  5. Dienaputra, R. D. (2012). Sunda, Sejarah, Budaya dan Politik. Abstrak.
  6. Heuken, 2016, Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, Cipta Loka Caraka
  7. Hidayat, M. R. (2017). Cirebon di bawah kekuasaan Mataram Tahun 1613-1705: Kajian historis mengenai hubungan politik, sosial dan agama (Bachelor's thesis).
  8. Hidayat, 2008, Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan, Sundaislam
  9. Laffan, M. (2016). Sejarah Islam di Nusantara. Bentang Pustaka.
  10. Lubis, H. N. H. (2016). Kerajaan Sunda. Abstrak.
  11. Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta?, Irfan Teguh, 15 Maret 2017, Tirto.co.id
  12. Muljana, S. (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara.
  13. Mumuh Muhsin, Z. (2012). Kujang, Pajajaran, Dan Prabu Siliwangi. Abstrak.
  14. Syafi'ie, K. A., & Asli, U. P. L. Betawi dengan Kiprah Nasional dan Internasional.
  15. Tjandrasasmita,2009, Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun