Jejak Kerajaan Pakuan Pajajaran masih terus menggelitik rasa penasaran kami. Kali ini tentang Parit Pakuan. Keberadaannya disinggung di dalam prasasti Batutulis. Tentunya keberadaan parit ini sangat penting sebagai benteng pertahanan kota kerajaan pada saat itu.
Namun, harus mulai darimana?
Perjalanan di hari Minggu (21/5/17) bukan hanya membuka wawasan kami lebih lebar tentang sejarah Kerajaan Pakuan Pajajaran, tetapi juga tentang kondisi kota Bogor ketika menelusurinya.
Rute perjalanan kami hari itu adalah Lolongok – Empang – Layungsari – Bondongan lalu ke daerah Batutulis hingga ke jembatan Cisadane arah ke Cihideung. Di Batutulis, kami sempat menyusur lembah Cipaku hingga ke Jalan Sekip Lawanggintung, lalu Gang Amil hingga Makam Mbah Dalem melewati Situs Purwakalih. Kami juga menyeberangi Sungai Cisadane di Bendung Empang untuk mendapatkan gambaran (jika ada) parit di Lolongok dan Empang dari sisi seberang.
Dari penjelasan di buku Danasasmita, sepertinya rute ini yang cukup dapat mewakili pencarian jejak keberadaan parit Pakuan Pajajaran. Kami ingin merasakan jejak Abraham van Riebeeck yang menyusuri jalur ini pada awal 1700-an. Ia dan rombongan datang dari arah Empang. Karena itulah catatannya menyebutkan tentang “jalur mendaki” di rute ini. Hal ini berbeda dengan Winkler (1690) yang datang arah Tajur.
Total perjalanan sekitar 12 kilometer hasil berjalan kaki hari itu.
Dalam Prasasti Batutulis, Prabu Surawisesa (1533) mengabadikan beberapa kebesaran ayahnya, Prabu Siliwangi ketika memimpin Kerajaan Pakuan Pajajaran selama hampir 4 dekade (1482 – 1521).
Prasasti Batutulis menyebutkan jasa-jasa Prabu Siliwangi lainnya. Selain menggali lombang (pertahanan) di Pakuan, Prabu Siliwangi/Sri Baduga Maharaja/ Ratu Jayadewata juga membuat tanda peringatan (keagaaman) berbentuk gugunungan serta jalannya memakai batu (ngabalay), menetapkan hutan larangan (samida), serta membuat telaga suci yang bernama Rena Mahawijaya (Suryani, 2009, Danasasmita, 2003, hal 77, Danasasmita, 2014, hal 41)
Secara spesifik, keberadaan Parit Pakuan di Prasasti Batutulis disebutkan dalam kalimat “wata pun ya nu nyusuk na pakwan …” yang diterjemahkan menjadi “Dialah yang membuat parit di Pakuan” dalam prasasti ini.
Tentang parit Pakuan ini pun terjadi perdebatan. Ada versi yang menyebutkan bahwa parit Pakuan sudah dibangun oleh beberapa raja seperti Tarusbawa (669-723) atau Rakean Banga (739-766) seperti dalam Kropak 632.
Tentu tak cukup ruang untuk menceritakan berbagai versi dan sejarah sebelum Kerajaan Sunda berganti nama menjadi Kerajaan Pakuan Pajajaran dan pindah ke daerah Bogor. Secara singkat, versi-versi ini menyebutkan bahwa Parit Pakuan diduga sudah dibangun di masa beberapa raja di masa lampau dan Prabu Siliwangi melanjutkan pembangunan dan memperkuatnya pada masa pemerintahannya.
Jadi, seberapa tangguh Parit Pakuan Pajajaran?.
Raja terakhir Pakuan Pajajaran, Nusiya Mulya (1567-1579), disebutkan tidak lagi berkedudukan di Pakuan, tetapi “mengungsi” di Pulasari (Pandeglang, Banten). Jadi dapat disimpulkan bahwa selama 12 tahun terjadi kekosongan “raja” di lokasi bekas pusat kerajaan Pakuan Pajajaran.
Dalam kurun waktu tersebut, bukan tak mungkin Kerajaan Pakuan Pajajaran mengalami berbagai serangan dan perang. Baru pada tahun 1579, pasukan Banten berhasil melakukan serangan, mengambil alih dan menutup kisah kejayaan Pakuan Pajajaran selama 222 tahun. Di sinilah kita lagi-lagi kembali berpikir tentang ketangguhan prajurit kerajaan Pakuan Pajajaran dan kecerdasan memanfaatkan bentang alam sebagai pelindung kota pada saat itu.
Catatan tentang keberadaan Kerajaan Pakuan Pajajaran di masa Belanda, dapat dilihat dari catatan perjalanan ekspedisi VOC, antara lain Scipio (1687), Adolf Winkler (1690) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704 dan 1709).
Abraham van Riebeeck, Direktur Jenderal VOC, yang mengadakan tiga kali ekspedisi dan melewati bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran, melukiskan gambaran seperti ini tentang “de opgang van Pakuan” yang “merupakan tanggul sempit dan mendaki serta diapit dinding parit yang terjal” (hal 86).
C.M Pleyte tahun 1910 mencoba menggambarkan ilustrasi lokasi "benteng" yang mengelilingi "kota" dan Danasasmita pada tahun 1983 mencoba memperkirakan lokasi kraton saat itu yang berada di sekitar Gang Amil. Namun, lagi-lagi, hal ini mungkin perlu penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi kebenarannya.
Sedangkan di belakang istana Batutulis terdapat rel kereta api, yang lokasinya termasuk tinggi. Dugaan ini makin menguat ketika kami menyusuri dan menuruni “tebing” dari sisi rel kereta api hingga ke Sungai Cisadane yang membatasinya. Dari sisi Sungai Cisadane yang berseberangan dengan kawasan Lolongok hingga Batutulis, kita bisa melihat dan membayangkan bahwa ini adalah rangkaian tebing yang cukup curam di beberapa titiknya.
Pertanyaannya, tanpa peta atau teknologi yang ada seperti saat ini, bagaimana bisa Pakuan Pajajaran dengan piawainya menentukan batas-batas parit untuk melindungi kotanya saat itu?. Luar biasa!.
Babad Pajajaran menyebutkan bahwa wilayah Pakuan ini terbagi atas dua yaitu kota dalam (dalem kitha) dan kota luar (jawi kitha).Meskipun kota-nya tidak dilindungi oleh benteng dari tembok seperti kerajaan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, kota Pakuan Pajajaran saat itu pun sudah dikelilingi “benteng alam” yang tak kalah tangguh (hal 8).
Selain itu, musuh juga perlu “berjibaku” melewati sungai yang lebar, hutan lebat yang saat itu masih dihuni oleh harimau dan binatang buas lainnya serta tebing tinggi yang diduga merupakan bagian dari parit perlindungan, baik alam ataupun buatan.
Sayangnya dalam perjalanan kali ini, kami tidak dapat membayangkan bagian mana yang merupakan "buatan" manusia dan bagaimana mengetahui sisa jejaknya. Apakah bagian parit buatan itu berupa hasil pemaprasan atau pengurukan? atau jangan-jangan di salah satu bagiannya juga mengalami perkerasan?.
Keberadaan maung (harimau )yang sangat erat kaitannya dengan legenda Prabu Siliwangi, ternyata lebih dari sekedar legenda.
Scipio pada ekspedisi tahun 1687 (23/12/1687) menyebutkan adanya laporan penduduk Parung Angsana tentang kawannya yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Laporan penduduk juga mengatakan bahwa di lokasi yang sekarang adalah di seputaran Prasasti Batutulis, tempat ini juga konon disebutkan “dijaga” harimau.
Di sini kami bisa merasa sangat terhubung dan memaklumi jika sebuah legenda dapat berawal, bertumbuh dari rasa segan dan hormat terhadap sebuah narasi dan jejak peninggalannya. Ah, sayang sekali, harimau di tanah Sunda kini mungkin sepenuhnya punah.
Menelusuri jejak peninggalan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang nyaris tak lagi menyisakan jejak, tak ayal rasa kagum, hormat dan bangga meliputi kami. Kecerdasan dan kebijaksanaan masa itu semoga terus menjadi warisan yang kita rawat sebagai bagian dari jati diri kita untuk bekal membangun bangsa di masa depan.
Tulisan terkait:
- Napak Tilas dan Menelusuri Jejak Prabu Siliwangi
- Perebutan Sunda Kelapa: Kisah Para Pangeran Pakuan Pajajaran (Bag 1)
- Perebutan Sunda Kelapa: Awal Ketegangan (Bag 2)
- Jejak Prabu Siliwangi: Mencari Parit Pakuan Pajajaran
Referensi:
- Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, Saleh Danasasmita, 2003, Kiblat Utama, Bandung
- Mencari Gerbang Pakuan, Saleh Danasasmita, 2014, Kiblat Utama, Bandung
- Menelusuri Situs Prasasti Batutulis, Saleh Danasasmita, 2014, Kiblat Utama, Bandung
- Menemukan Kerajaan Sunda, Saleh Danasasmita, 2014, Kiblat Utama, Bandung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H