Bagaimana bisa seorang yang begitu besar dari kerajaan yang juga besar dan agung tidak banyak tercantum dalam sejarah?.
Cerita yang cukup sering saya dengar tentang Prabu Siliwangi justru kisah tentang bagaimana beliau dapat berubah menjadi harimau ketika dikejar tentara Islam dari Kerajaan Banten dan Cirebon. Â Hal ini yang setidaknya dapat saya kaitkan dengan adanya patung maung atau harimau di tempat-tempat yang bernama Siliwangi.
Ternyata pertanyaan tersebut juga cukup banyak terbersit dalam benak masyarakat Sunda. Setidaknya, hal ini  diakui oleh  Saleh Danasasmita (2003), tokoh dan penulis Kebudayaan Sunda, pada bukunya Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi.
Yang menarik, nama Siliwangi justru muncul dalam pantun atau babad-babad Sunda. Â Danasasmita berpendapat, kalau penulis babad yang ingin mencatat dan memaparkan kejadian sejarah biasanya suka menyebutkan tahun, baik angka tahun maupun lamanya pemerintah raja-raja yang disebutnya. Justru babad semacam ini yang langka di Sunda.
Naskah Pamarican dan Kitab Waruga Jagat hanya menyebutkan runtuhnya Pajajaran. Â Sedangkan Sajarah Banten hanya menyebutkan waktu keberangkatan laskar Banten dari Surasowan yang hendak menyerbu Pajajaran, yaitu pada tahun 1501 saka atau 1579 Masehi (Danasasmita, 2003, hal 147)
Sumber tertulis yang paling popular yang menyebut nama Siliwangi yaitu Koropak (naskah Lontar) Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian yang ditulis sekitar 1518 Masehi. Sedangkan dalam Purwa Caruban,cerita tentang Siliwangi tidak menyebutkan tahunnya, meskipun diceritakan tentang identitasnya.
Riwayat hidup Siliwangi yang runtut baru terdapat dalam naskah sejumlah babad yang ditulis pada masa yang lebih kemudian. Tapi, lagi-lagi, babad-babad ini  bermacam-macam versi riwayat dan silsilahnya (Danasasmita, 2003, hal 69).
Karenanya, para ahli sejarah pun juga tidak sepenuhnya salah. Sesuai dengan disiplin keilmuan, seorang tokoh, apalagi sebesar Siliwangi, sepatutnya ada jejaknya, tercatat dalam bukti-bukti sejarah. Meskipun, tanpa bukti sejarah  juga bukan berarti tokoh tersebut tidak benar-benar ada.
Salah satu jejak Prabu Siliwangi yang masih dapat kita saksikan hingga saat ini adalah tulisan yang terpahat di batu. Prasasti Batutulis yang letaknya persisdi depan Istana Batutulis, Bogor, setidaknya menjadi bukti yang cukup kuat akan adanya keberadaan beliau.
Prasasti ini adalah  sakakala yang dibuat untuk mengabadikan perintah atau jasa raja yang telah wafat. Prasasti  9 baris ini ditulis dalam aksara Jawa kuno, namun menggunakan Bahasa Sunda Buhun. Hal ini sempat menjadikan perdebatan ketika para ahli sejarah berusaha menerjemahkannya.