Gunung menurut konsep budaya Sunda merupakan tempat disemayamkannya orang yang meninggal dunia. Yang menarik, jika ditarik garis lurus, kampung Pasir Kaca dan Kampung Calobak ini letaknya paralel. Meskipun dari letak makam, Makam Eyang Langlangbuana/Langlangbumi masih berada lebih tinggi daripada makam Eyang Prenggong Jayadikusumah.
Menurut Kang Maki, letak kuburan juga berhubungan dengan strata sosial ketika tokoh tersebut masih hidup. Misalnya Prenggong Jayadikusumah merupakan seorang panglima kerajaan Pakuan Pajajaran. Jadi, sementara kesimpulannya adalah semakin tinggi letak kuburannya, maka semakin tinggi strata sosial tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut.
Kami mulai berjalan sekitar jam 9.30 pagi. Di dekat tiang pemancar terdapata dua bangunan yang berseberangan di sisi jalan tanah. Tak jauh dari sini, disitu-lah jalan bercabang. Kami bertemu tiga orang pengunjung yang sedang beristirahat. Mereka menunjukkan bahwa kami harus tetap ke arah kiri. Karena dari cabangan tersebut, kalau kita mengambil ke arah kanan, maka kita akan menyusuri punggungan gunung yang akan membawa kita ke arah Curug Nangka.
Mereka adalah pengunjung pertama dan terakhir yang kami temui dalam perjalanan ke Situs Pasir Kaca. Setelahnya, rute tersebut seperti milik sendiri, alias tak lagi bertemu satu orang pun. Kami mengikuti jalan setapak yang bersisian dengan pipa air. Jalannya terus menanjak dan agak licin.
Kalau dari kompas, kami berjalan terus ke arah selatan. Di dalam perjalanan, kami menemui tupai, monyet dan jenis siput bundar yang banyak di daerah ini.
Terdapat plan bertuliskan
“Wilujeng Sumping di Cagar Budaya Alam Puncak Gunung Salak Bogor:
Makam Keramat Makam Keramat Waliullah Hyang Prabu Wijaya Kusuma / Hyang Raksa Bumi /Eyang Haji Jaya Sakti”
Kami sudah sampai!.