Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan

When the message gets across, it can change the world

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Selain Sindang Barang, Ada Puluhan Situs di Pasir Eurih

4 April 2017   21:56 Diperbarui: 5 April 2017   23:00 3998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batu Tapak terletak di sisi aliran sungai dan mata air

Hari itu (27/3/17) kami mengunjungi 7 situs tua di Desa Pasir Eurih. Situs tersebut termasuk batu monolit, mata air, sumur dan taman tua serta punden berundak. Ketika kami mengira jumlah itu sudah cukup banyak, belakangan, literatur menyebutkan setidaknya ada 94 titik sebaran situs tua di daerah ini!. Butuh berapa lama untuk menjelajahi semua situs ini?.

Dari penelitian Universitas Indonesia, 57 situs sudah teridentifikasi dan terdaftar sebagai situs bersejarah, 33 di antaranya merupakan punden berundak (Dahlan, 2009, Sudirman, 2008). Sejak itu sampai sekarang, belum jelas berapa sisa situs tua yang sudah teridentifikasi dan terdaftar. Jangan-jangan, masih ada situs yang belum ditemukan?.

Diella di situs Jalatunda, sumur tua dan mata air. Di lokasi ini terdapat susunan menhir
Diella di situs Jalatunda, sumur tua dan mata air. Di lokasi ini terdapat susunan menhir
Penampakan Batu Karut 1
Penampakan Batu Karut 1
Desa Pasir Eurih ini terkenal dengan Kampung Budaya Sindang Barang. Kampung unik ini memiliki deretan bangunan tradisional Sunda yang sangat unik, lengkap dengan kegiatan kesenian dan perpustakaan. Letak Desa Pasir Eurih dan Kampung Sindang Barang ini sekitar 5-7 kilometer dari Kota Bogor. Kalau naik kendaraan umum, naik 03 biru dari Bogor Trade Mall (BTM) jurusan Sindang Barang atau SBR. Secara administratif masuk ke dalam Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.

Kampung Budaya Sindang Barang
Kampung Budaya Sindang Barang
Kami hanya mampir sebentar ke Kampung Sindang Barang. Hari itu kampung budaya sedang bergegas menyambut rombongan tamu dari Jakarta. Kami dipersilahkan untuk menjelajahi situs-situs di seputar kampung. Karena belum puas menikmati suasana kampung yang asri dan unik, rencananya kami akan mampir dan tinggal lebih lama di kampung itu di lain waktu. 

Satu Abad Terkubur?

Pasir Eurih terletak di kaki Gunung Salak. Penjelajahan singkat ke berbagai situs di lokasi ini tampaknya menguatkan asumsi bahwa bisa jadi ada ratusan situs kuno yang tersebar di gunung ini. 

Literatur yang kami temukan masih sepotong-sepotong. Menekuninya masih mencari sela-sela waktu di antara rutinitas. Ada hal yang menarik perhatian tentang keberadaan situs-situs kuno di Bogor. Bogor disebut-sebut sebagai pusat kerajaan Pakuan Pajajaran (kurun waktu 1357-1579 dengan 9 raja). Pada saat keruntuhannya di tahun 1579, ibukota Pajajaran dihancurkan oleh Pasukan Banten. Penduduknya dibunuh atau diusir. Lalu, sisa-sisa ibu kota akhirnya terbengkalai dan membentuk hutan belantara. 

Satu abad kemudian, reruntuhannya digali kembali oleh Scipio (1687). Tujuannya untuk membuat permukiman Belanda. Ekspedisi lainnya juga dilakukan oleh Adolf Winkler (1690), dan Abraham van Riebeek (1704 dan 1709). Ekspedisi-ekspedisi tersebut menemukan bukti-bukti peninggalan sejarah seperti Prasasti Batu Tulis. Mengingat Gunung Salak meletus pada tahun 1699, apakah letusan tersebut berpengaruh pada kondisi lingkungan di seputar gunung ini untuk menghancurkan sisa peradaban, atau, malah masih menyembunyikannya dalam belantara hutan?. Entahlah.

Kami memulai penelusuran dengan Batu Karut 1 yang terletak sekitar 800 meter dari Kampung Sindang Barang.

Batu Karut 1

Batu besar dengan panjang sekitar 9 meter dan tinggi 5 meter ini terletak di samping makam. Masih merupakan tanah milik pribadi. Kami tidak bertemu satu orang pun ketika asik mengagumi batu ini.  Letaknya masuk ke dalam Kampung Batu Karut, Desa Pasir Eurih.

Batu Karut 1 tampak depan
Batu Karut 1 tampak depan
Batu Karut 2 terletak persis depan rumah keluarga Pak Ade
Batu Karut 2 terletak persis depan rumah keluarga Pak Ade
Batu Kursi, Batu Meja dan Batu Perosotan yang Hilang

Sekitar 500 meter berlawanan arah dariBatu Karut 1, kami menemukan Batu Kursi. Batu sepanjang 2 meter dengan tinggi 1 meter yang berbentuk kursi ini, berada di halaman rumah Ibu Elsa. Syukurlah, ada penjaganya dan kami diijinkan masuk. Menurut Ibu Maryam, adik Ibu Elsa yang kami temui hari itu, batu ini hampir dipindahkan untuk dijadikan milik pribadi. Namun, pemilik rumah dan warga sekitar menolak.  Di depan rumah tersebut terdapat batu datar yang disebut Batu Meja. Batu ini berada persis di pinggir jalan. Kalau tidak ditunjukkan, kami tentu akan terlewat melihatnya, karena bentuknya sekilas tampak seperti batu-batu gunung pada umumnya.

Ibu Maryam mengatakan, dulu di tebing di sisi Batu Meja sekarang, ada tebing batu yang berbentuk perosotan alami. Ibu Maryam menghabiskan masa kecilnya bermain di perosotan alami ini bersama teman-temannya. Kami tidak mengukur tinggi tebing ini, tetapi tampaknya cukup tinggi. Bisa dibayangkan asyiknya bermain meluncur di perosotan alami ini. Sayang sekali sekitar akhir tahun 1990-an, batu ini “hilang” dihancurkan untuk menjadi bahan bangunan.

Batu Karut 2

Tak jauh dari Batu Kursi, kami melanjutkan perjalanan menuju Batu Karut 2. Batu ini tertutup seprai yang dijemur ketika kami pertama melihatnya. Letaknya di tanah milik Pak Ade. Mengitari sisi batu, baru terlihat betapa besarnya batu ini. Panjangnya sekitar 4 meter dengan tinggi 2.5 meter. Letaknya persis depan pintu rumah keluarga Pak Ade.

Melihat Batu Karut 2dan Batu Kursi berada di tanah pribadi, saya mengagumi kesabaran keluarga-keluarga ini. Tentunya mereka berulangkali diketuk pintunya oleh pengunjung seperti kami yang penasaran ingin melihat batu.

Batu Kursi (kiri) dan Batu Meja (kanan)
Batu Kursi (kiri) dan Batu Meja (kanan)
Mistis di Batu Tapak

Penasaran dengar cerita Pak Kumang, pemilik warung dekat Batu Karut 1, kami memutuskan untuk naik ojek ke desa tetangga. Batu Tapak terletak di Kampung Cileu’eur, Desa Sukaresmi. Menuju ke lokasi ini, kami menyebrangi aliran Sungai Ciapus. Konon kalau hujan deras dan banjir, jalan ini tidak bisa dilewati, sehingga warga harus memutar cukup jauh. Menuju ke kampung ini, kita akan melewati jalan sempit yang cukup hanya untuk 2 motor berpapasan dengan jalan yang sudah diperkeras beton. Sisi tebingnya tertutup kerimbunan pohon bamboo dan tutupan semak belukar. Sangat menarik!.

Menyeberangi sungai untuk menuju ke situs Batu Tapak
Menyeberangi sungai untuk menuju ke situs Batu Tapak
Batu Tapak terletak di sisi aliran sungai kecil. Sudah ada penanda situs di sini. Letaknya di sisi 3 air pancuran yang katanya adalah mata air, tempat warga mengambil air. Ada sepasang tapak kaki manusia tercetak di batu. Namun bentuknya tidak terlalu jelas. Ketika kami ukur, panjang tapaknya yaitu 30 cm dengan lebar pertapak 13 cm.

Batu Tapak terletak di sisi aliran sungai dan mata air
Batu Tapak terletak di sisi aliran sungai dan mata air
Kami mendengar cerita mistis di sini. Ibu berumur sekitar 60 tahun yang kami temui di pancuran, bercerita kalau menantunya pernah mengambil batu di seputar Batu Tapak untuk dijadikan pondasi rumah. Setelah itu, selama tiga minggu menantunya menjadi kacau, seperti orang gila. Pergi ke berbagai dukun tidak sembuh Akhirnya batu dikembalikan dan ia berobat lagi. Syukurlah sembuh. Kebenarnnya? Wallahu alam, hanya Tuhan yang tahu.

Di seberang Batu Tapak, kami melihat susunan batu mirip gua. Kata Pak Yanto yang mengantar kami, lokasi ini sering dijadikan tempat bertapa. Pak Yanti yang pertama kali ke tempat ini mengatakan, tempat ini masih angker. Baiklah…..

Tapak kaki menjejak di batuan pinggir sungai
Tapak kaki menjejak di batuan pinggir sungai
Gua di dekat Batu Tapak yang sering dijadikan sebagai tempat bertapa
Gua di dekat Batu Tapak yang sering dijadikan sebagai tempat bertapa
Mata Air Tua Jalatunda dan Taman Sri Bagenda

Kami kembali ke arah semula ketika pertama datang untuk melihat mata air kuno bernama Jalatunda. Lokasinya berada di tengah permukiman. Selain sumur tua berukuran 2 meter x 1 meter dengan kedalaman 1 meter, di lokasi tersebut terdapat susunan batu tua dengan 8 susunan batu dan 3 menhir. Dalam Bahasa Sansekerta jalaberarti “air” dan tunda artinya mulut. Menurut keterangan dari plang situs di lokasi, mata air ini kemungkinan berkaitan dengan situs keagamaan atau upacara adat.

Situs Taman Sri Bagenda. Tempat ini tidak terlalu terawat. Banyak sampah
Situs Taman Sri Bagenda. Tempat ini tidak terlalu terawat. Banyak sampah
Tak jauh dari lokasi ini, sekitar 200 meter, terdapat Taman Sri Bagenda. Dari papan informasi, taman dengan kolam sekitar 40 meter dan lebar 9 meter ini, dulunya adalah tempat rekreasi. Di desa yang kita kenal dengan Pasir Eurih sekarang ini, dulunya diduga terdapat keraton kerajaan yang merupakan tempat tinggal salah satu istri dari Prabu  Siliwangi yang bernama  Dewi Kentring Manik Mayang  Sunda (Dahlan, 2009, hal 59). Apakah taman ini berhubungan dengan keberadaan beliau? Kami belum menemukan jawabannya. Di sini pun terdapat susunan batu menhir, persis di sisi kolam.

Lokasi ini tampak kotor. Di ujung kolam sampah berserakan. Di sisi lainnya terdapat bangunan plastik milik rumah tangga di sebelahnya. Rupanya digunakan sebagai tempat cuci piring. Duh, sayang sekali.

Punden Berundak Majusi

Menuju jalan kembali ke Bogor, mata kami tertumbuk pada plang “Situs Punden Berudnak Majusi”.Kami memutuskan untuk melihatnya. Kami melewati permukiman dan bertanya-tanya tentang keberadaannya. Hingga kami sampai pada sebuah pemakaman tua yang bentuknya seperti undak-undakan dengan susunan batu yang terlihat tua dan berlumut.

Memasuki kawasan Situs Majusi
Memasuki kawasan Situs Majusi
Tak jauh dari tempat itu, terlihat ada dua buah batu besar. Seorang warga yang melintas mengatakan bahwa situs Majusi bukan itu, melainkan di sisi kiri yang membentuk ceruk lembah dan seluruhnya tertutup oleh semak belukar. Terdorong rasa penasaran, Bimo melompat turun dan menyibakkan semak belukar tersebut.

Mencari jejak punden berundak Majusi yang tersembunyi di balik belukar
Mencari jejak punden berundak Majusi yang tersembunyi di balik belukar
Bimo mendapati adanya susunan batu berlumut yang mengingatkan kita pada susunan batu punden berundak di Calobak dan Cibalay. Kabar dari ibu tersebut, lokasi tempat situs ini adalah tanah milik pribadi dan pemiliknya hendak menjual. Terlepas dari kebenaran berita ini, alangkah sayangnya kalau lokasi bersejarah ini sampai terjual lalu dibangun. Tidak ada plang yang menandakan keberadaan situs di lokasi ini, kecuali plang yang berada di sisi jalan, yang memancing rasa penasaran kami untuk mendatanginya.

Susunan batu di Punden Berundak Majusi setelah belukar disibak
Susunan batu di Punden Berundak Majusi setelah belukar disibak
Bayangkan, di lokasi yang notabene masih sangat dekat dengan Kota Bogor dan Ibu Kota Jakarta, sudah terdapat puluhan mungkin ratusan situs kuno peninggalan peradaban sebelum kita.  Belum di tempat lain.

Seandainya, kita memiliki lebih banyak arkeolog dan sejarahwan untuk menyibak misteri masa lalu ini dan merunutnya. Serta, yang paling penting juga adalah perhatian pemerintah, informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan masyarakat yang melestarikan berbagai peninggalan budaya ini. Tentu tak berlebihan jika kita mengatakan bahwa Indonesia tercinta adalah surga arkeologi dan sepotong surga yang jatuh ke bumi.

Teks: Diella Dachlan

Foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo

Tulisan terkait:

Arca Domas dan Kompleks Situs Cibalay Gunung Salak

Calobak: 3 Situs Tua di Punggungan Gunung Salak

Mencari Batu dan Gua Langkop di Kaki Gunung Salak

Referensi:

Pengembangan Jalur Wisata Sejarah sebagai Penunjang Wisata Sejarah Kota Bogor (Febri Nur Wirawan, 2014, Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB)

Aditya Sudirman. Punden Berundak Pasamuan di Desa Pasir Eurih Kecamatan Ciomas, Bogor. Skripsi Sarjana Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008

Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya di Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. (Pendekatan Community Based Planning)

Mohammad Zaini Dahlan, Departemen Arsitektur Lasnkap, Fakultas Pertanian IPB, 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun