Hari itu (27/3/17) kami mengunjungi 7 situs tua di Desa Pasir Eurih. Situs tersebut termasuk batu monolit, mata air, sumur dan taman tua serta punden berundak. Ketika kami mengira jumlah itu sudah cukup banyak, belakangan, literatur menyebutkan setidaknya ada 94 titik sebaran situs tua di daerah ini!. Butuh berapa lama untuk menjelajahi semua situs ini?.
Dari penelitian Universitas Indonesia, 57 situs sudah teridentifikasi dan terdaftar sebagai situs bersejarah, 33 di antaranya merupakan punden berundak (Dahlan, 2009, Sudirman, 2008). Sejak itu sampai sekarang, belum jelas berapa sisa situs tua yang sudah teridentifikasi dan terdaftar. Jangan-jangan, masih ada situs yang belum ditemukan?.
Satu Abad Terkubur?
Pasir Eurih terletak di kaki Gunung Salak. Penjelajahan singkat ke berbagai situs di lokasi ini tampaknya menguatkan asumsi bahwa bisa jadi ada ratusan situs kuno yang tersebar di gunung ini.
Literatur yang kami temukan masih sepotong-sepotong. Menekuninya masih mencari sela-sela waktu di antara rutinitas. Ada hal yang menarik perhatian tentang keberadaan situs-situs kuno di Bogor. Bogor disebut-sebut sebagai pusat kerajaan Pakuan Pajajaran (kurun waktu 1357-1579 dengan 9 raja). Pada saat keruntuhannya di tahun 1579, ibukota Pajajaran dihancurkan oleh Pasukan Banten. Penduduknya dibunuh atau diusir. Lalu, sisa-sisa ibu kota akhirnya terbengkalai dan membentuk hutan belantara.
Satu abad kemudian, reruntuhannya digali kembali oleh Scipio (1687). Tujuannya untuk membuat permukiman Belanda. Ekspedisi lainnya juga dilakukan oleh Adolf Winkler (1690), dan Abraham van Riebeek (1704 dan 1709). Ekspedisi-ekspedisi tersebut menemukan bukti-bukti peninggalan sejarah seperti Prasasti Batu Tulis. Mengingat Gunung Salak meletus pada tahun 1699, apakah letusan tersebut berpengaruh pada kondisi lingkungan di seputar gunung ini untuk menghancurkan sisa peradaban, atau, malah masih menyembunyikannya dalam belantara hutan?. Entahlah.
Kami memulai penelusuran dengan Batu Karut 1 yang terletak sekitar 800 meter dari Kampung Sindang Barang.
Batu Karut 1
Batu besar dengan panjang sekitar 9 meter dan tinggi 5 meter ini terletak di samping makam. Masih merupakan tanah milik pribadi. Kami tidak bertemu satu orang pun ketika asik mengagumi batu ini. Letaknya masuk ke dalam Kampung Batu Karut, Desa Pasir Eurih.
Sekitar 500 meter berlawanan arah dariBatu Karut 1, kami menemukan Batu Kursi. Batu sepanjang 2 meter dengan tinggi 1 meter yang berbentuk kursi ini, berada di halaman rumah Ibu Elsa. Syukurlah, ada penjaganya dan kami diijinkan masuk. Menurut Ibu Maryam, adik Ibu Elsa yang kami temui hari itu, batu ini hampir dipindahkan untuk dijadikan milik pribadi. Namun, pemilik rumah dan warga sekitar menolak. Di depan rumah tersebut terdapat batu datar yang disebut Batu Meja. Batu ini berada persis di pinggir jalan. Kalau tidak ditunjukkan, kami tentu akan terlewat melihatnya, karena bentuknya sekilas tampak seperti batu-batu gunung pada umumnya.
Ibu Maryam mengatakan, dulu di tebing di sisi Batu Meja sekarang, ada tebing batu yang berbentuk perosotan alami. Ibu Maryam menghabiskan masa kecilnya bermain di perosotan alami ini bersama teman-temannya. Kami tidak mengukur tinggi tebing ini, tetapi tampaknya cukup tinggi. Bisa dibayangkan asyiknya bermain meluncur di perosotan alami ini. Sayang sekali sekitar akhir tahun 1990-an, batu ini “hilang” dihancurkan untuk menjadi bahan bangunan.
Batu Karut 2
Tak jauh dari Batu Kursi, kami melanjutkan perjalanan menuju Batu Karut 2. Batu ini tertutup seprai yang dijemur ketika kami pertama melihatnya. Letaknya di tanah milik Pak Ade. Mengitari sisi batu, baru terlihat betapa besarnya batu ini. Panjangnya sekitar 4 meter dengan tinggi 2.5 meter. Letaknya persis depan pintu rumah keluarga Pak Ade.
Melihat Batu Karut 2dan Batu Kursi berada di tanah pribadi, saya mengagumi kesabaran keluarga-keluarga ini. Tentunya mereka berulangkali diketuk pintunya oleh pengunjung seperti kami yang penasaran ingin melihat batu.
Penasaran dengar cerita Pak Kumang, pemilik warung dekat Batu Karut 1, kami memutuskan untuk naik ojek ke desa tetangga. Batu Tapak terletak di Kampung Cileu’eur, Desa Sukaresmi. Menuju ke lokasi ini, kami menyebrangi aliran Sungai Ciapus. Konon kalau hujan deras dan banjir, jalan ini tidak bisa dilewati, sehingga warga harus memutar cukup jauh. Menuju ke kampung ini, kita akan melewati jalan sempit yang cukup hanya untuk 2 motor berpapasan dengan jalan yang sudah diperkeras beton. Sisi tebingnya tertutup kerimbunan pohon bamboo dan tutupan semak belukar. Sangat menarik!.
Di seberang Batu Tapak, kami melihat susunan batu mirip gua. Kata Pak Yanto yang mengantar kami, lokasi ini sering dijadikan tempat bertapa. Pak Yanti yang pertama kali ke tempat ini mengatakan, tempat ini masih angker. Baiklah…..
Kami kembali ke arah semula ketika pertama datang untuk melihat mata air kuno bernama Jalatunda. Lokasinya berada di tengah permukiman. Selain sumur tua berukuran 2 meter x 1 meter dengan kedalaman 1 meter, di lokasi tersebut terdapat susunan batu tua dengan 8 susunan batu dan 3 menhir. Dalam Bahasa Sansekerta jalaberarti “air” dan tunda artinya mulut. Menurut keterangan dari plang situs di lokasi, mata air ini kemungkinan berkaitan dengan situs keagamaan atau upacara adat.
Lokasi ini tampak kotor. Di ujung kolam sampah berserakan. Di sisi lainnya terdapat bangunan plastik milik rumah tangga di sebelahnya. Rupanya digunakan sebagai tempat cuci piring. Duh, sayang sekali.
Menuju jalan kembali ke Bogor, mata kami tertumbuk pada plang “Situs Punden Berudnak Majusi”.Kami memutuskan untuk melihatnya. Kami melewati permukiman dan bertanya-tanya tentang keberadaannya. Hingga kami sampai pada sebuah pemakaman tua yang bentuknya seperti undak-undakan dengan susunan batu yang terlihat tua dan berlumut.
Seandainya, kita memiliki lebih banyak arkeolog dan sejarahwan untuk menyibak misteri masa lalu ini dan merunutnya. Serta, yang paling penting juga adalah perhatian pemerintah, informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan masyarakat yang melestarikan berbagai peninggalan budaya ini. Tentu tak berlebihan jika kita mengatakan bahwa Indonesia tercinta adalah surga arkeologi dan sepotong surga yang jatuh ke bumi.
Teks: Diella Dachlan
Foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo
Tulisan terkait:
Arca Domas dan Kompleks Situs Cibalay Gunung Salak
Calobak: 3 Situs Tua di Punggungan Gunung Salak
Mencari Batu dan Gua Langkop di Kaki Gunung Salak
Referensi:
Pengembangan Jalur Wisata Sejarah sebagai Penunjang Wisata Sejarah Kota Bogor (Febri Nur Wirawan, 2014, Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB)
Aditya Sudirman. Punden Berundak Pasamuan di Desa Pasir Eurih Kecamatan Ciomas, Bogor. Skripsi Sarjana Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya di Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. (Pendekatan Community Based Planning)
Mohammad Zaini Dahlan, Departemen Arsitektur Lasnkap, Fakultas Pertanian IPB, 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H