Plang "Situs Makam Jerman 4 km" ini cukup menggugah keingintahuan. Letaknya di sebelah kanan jalan, sekitar 500 meter dari Pertigaan Gadog, keluar Tol Jagorawi menuju Puncak. Â "Vimala Hills" yang terdapat gerai kopi terkenal itu dapat menjadi patokan.
Pertanyaan pertama yang muncul di benak adalah "kok makam Jerman bisa ada di situ?".
Biasanya sepotong peninggalan dari masa lalu adalah keping dari narasi besar sejarah sebuah bangsa. Berbeda dengan kehadiran beberapa bangsa lain yang menjadi bagian sejarah perjalanan bangsa Indonesia, seperti Belanda, Portugis, Tiongkok, Arab dan lain-lain, hubungan Jerman dan Indonesia di masa lampau ini agak samar-samar.
Didorong rasa penasaran, maka kami pun memutuskan untuk mengunjunginya.
Makam Jerman ini terletak di Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.
Karena akhir pekan adalah puncak kemacetan menuju Puncak yang sering bikin enggan. Sabtu itu (21/7/17) kami memutuskan sepagi mungkin berangkat. Dari Jakarta naik kereta ke Bogor. Setelah ditolak beberapa kali oleh taksi aplikasi, dengan alasan kuatir terjebak macet dan arah balik ditutup, maka kami sambung menyambung angkutan umum. Rutenya: Stasiun Bogor-Baranang Siang, lalu Baranang Siang-Ciawi dan Ciawi  - Cisarua dan turun persis di seberang Plang tanda. Belakangan baru tau ada rute angkot Ciawi-Pasir Muncang.
Tiba di plang sekitar jam 9 pagi, bertepatan dengan ditutupnya arus turun dari arah Puncak dan dibukanya jalur naik.
Dari lokasi ini ada pilihan naik angkot atau ojek. Kami memutuskan naik angkot Pasir Muncang hingga tiba pada tujuan akhir rute angkot tersebut di pasar. Dari pertigaan di pasar Desa Pasir Muncang, kami memutuskan berjalan kaki menuju lokasi, sekitar 2 kilometer.
Rute ini menyenangkan untuk berjalan kaki. Di beberapa titik terlihat hamparan sawah dan ladang berlatar belakang perbukitan dan pegunungan. Kadang terlihat lembah dengan sungai mengalir di dasar lembah. Sungguh sangat menyenangkan dipandang. Kami juga melewati kebun brokoli yang sedang berbunga. Hamparan bunga berwarna kuning ini tentu saja menjadi lokasi foto diri alias selfie.
Sekitar 500 meter dari lokasi makam, kami bertemu Pohon Gadog. Selama ini mengenal "Gadog" sebagai nama kawasan di rute menuju Puncak, menjumpai pohonnya sungguh membuat kesan tersendiri.
Pohon Gadog (Bischofia Javanica Blume) yang terletak di seberang mesjid kecil berwarna kuning, tingginya sekitar 10-15 meter. Pak Dana, penduduk Desa Sukaresmi yang pindah ke lokasi ini tahun 1981, mengatakan sejak beliau disini pohon itu sudah ada dan tinggi besar, mirip seperti sekarang. Menilik dari akar, diameter batang dan tingginya, bisa jadi usia pohon ini lebih dari 35 tahun.
Jika lokasi pohon Gadog ini termasuk ke dalam kawasan perkebunan 900 hektar yang dimiliki Emil Helfferich, pengusaha dan pedagang berkebangsaan Jerman yang kisahnya tak kalah menarik itu (1878-1972), mungkin saja pohon ini pernah menjadi saksi sejarah ketika pasukan Jerman mondar-mandir di kawasan ini?.
Makam Jerman ini tidak berpagar. Penandanya adalah bangunan-bangunan makam berwarna putih dan tugu yang putihnya kontras dengan hijau gelap dan cokelat, kerimbunan pohon yang mengepung kawasan makam ini.
Di komplek makam ini ada 10 makam serdadu Jerman. 2 makam pertama yang kita jumpai di area masuk komplek pemakaman bertanda "Unbekannt" atau tidak dikenal. Lalu di tingkat berikutnya, terdapat 3 makam di sebelah kiri dan 5 kanan di sebelah kanan. Seluruh makam di sini ditandai dengan simbol salib baja atau Eisernes Kreuz.
Di bagian paling atas, terdapat monumen peringatan bertanda tahun 1926. Selain itu terdapat patung Ganesha dan Buddha, yang menurut beberapa literatur diperoleh dari pengrajin seni di dekat Candi Prambanan.
Ke"aneh"-an pertama adalah karena monumen yang ada di sini dibangun tahun 1926 oleh kakak beradik Emil dan Theodor Hellferich, untuk mengenang para pelaut Jerman yang meninggal pada saat bertugas di German East Asia Squadron tahun 1914 (hal 8).
Padahal jika melihat tahun kelahiran yang ada di 10 makam ini, rata-rata para serdadu ini lahir dalam rentang tahun 1906-1914. Dengan kata lain, mereka baru lahir ketika peristiwa itu terjadi. Dari tulisan di nisan, waktu meninggal 10 serdadu ini berbeda-beda, tetapi dalam kurun waktu 1944-1945. Rata-rata mereka berumur 30 tahunan ketika meninggal.
Lalu, pertanyaan mendasar muncul.  Mengapa serdadu Jerman yang keterangan di nisan merupakan tentara awak kapal Jerman (U-196) bisa ada di kaki Gunung Pangrango?. Geoff Bennett, pensiunan angkatan laut Inggris,mempertanyakan ini dalam bukunya yang berjudul "The Pepper Trader : True Tales of the German East Asia Squadron and the Man who Cast them in Stone" (2006), (hal 8).
Lalu siapakah para serdadu itu? apa sebab mereka meninggal? Mengapa mereka bisa ada di tempat ini?.Â
Catatannya ada di tulisan lain. Namun, jika penasaran, ada baiknya melakukan penelusuran lebih dalam tentang jejak Jerman di Indonesia. Beberapa literaturnya ada di internet.
Ke"anehan" kedua adalah kawasan ini juga dikenal dengan nama Arca Domas. Menurut berbagai literatur di internet dan keterangan warga yang kami temui, dulu di kawasan ini ditemukan arca. Agak simpang siur informasinya. Ada yang mengatakan arca itu sudah tidak lagi ada di situ, ada lagi yang mengatakan arca sudah hancur. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa arca masih ada, tapi harus berjalan kaki sangat jauh ke arah gunung.
Arca Domas sendiri dalam Bahasa Sunda kuno artinya "800 patung". Selain itu Arca Domas juga dikenal di masyarakat Baduy Banten sebagai lokasi ritual yang sangat sakral. Sedangkan di catatan lain, ada kawasan bernama Arca Domas pula di kawasan yang berada di kaki Gunung Salak, Bogor, yaitu di Desa Cibalay, Kecamatan Tenjolaya. Â Sedangkan Arca Domas tempat makam Jerman ini terletak di kaki Gunung Pangrango.
Lalu, mana yang benar? apakah ada hubungan antara kesamaan nama ini? atau hanya kebetulan saja?
Mungkin hal ini cukup menarik untuk dijadikan bahan untuk penelusuran berikutnya.
Kami memilih berjalan kaki melewati rute jalan yang berbeda untuk pulang. Dari jalan tanah di samping mesjid, kami mengikuti jalan tersebut untuk menuju desa Krakal lalu ke Caringin. Total waktunya sekitar 1,5 jam melewati ladang, villa, dan jalan aspal. Di Caringin kami memutuskan naik angkutan umum ke Ciawi, karena meski masih ingin jalan kaki, malas juga mesti "adu kuat" dengan motor dan angkot yang memenuhi jalanan.
Kunjungan singkat ke makam Jerman ini sungguh menggugah rasa ingin tahu tentang kepingan lain narasi sejarah yang dapat mengungkapkan jejak Jerman di Indonesia pada masa lampau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H