Paling berkesan ketika mengunjungi Gereja GBIP Immanuel di Jalan Pemuda yang dibangun pada tahun 1700-an. Meskipun sayang sekali tak sempat masuk ke dalam karena ibadah Minggu sedang berlangsung.
Kami sempat berbincang singkat dengan Pak Rompas ketika mengunjungi gereja Minahasa. Pak Rompas yang asli Manado, tinggal di Depok sejak tahun 1989.
Juga sempat masuk ke RM Khasanti 16 di jalan Pemuda. Restoran ini mempertahankan bentuk asli rumah gaya kolonial.
Paling berkesan kedua yaitu ketika mengunjungi Jembatan Panus yang dibangun untuk melintasi Sungai Ciliwung pada masa kolonial lalu.
Meski dibangun oleh insinyur Belanda bernama Andre Laurens tahun 1917 (di badan jembatan tulisan ini bisa terlihat), yang menarik bagi saya adalah nama Panus sendiri malah mengacu pada warga samping jembatan pada masa itu yang bernama Stevanus Leander (hal 4). Mengapa jadi Panus? bagi warga Depok, sepertinya "Panus" lebih mudah diucapkan daripada nama londo sang warga samping jembatan.
Disini kami menuruni jalan lumayan curam nan licin untuk melihat situasi bawah jembatan. Selain pengukur ketinggian air untuk Sungai Ciliwung, kami juga menemukan pancuran yang dicurigai sebagai mata air. Dan tentu saja, hal paling menyebalkan untuk ditemukan adalah aneka sampah di pinggir hingga ikut mengalun mengarungi Ciliwung.
Sejarah Pahit hingga Olok-Olok Belanda Depok
Yano Jonathans pun enggan mengangkat peristiwa ini dalam bukunya, meski orang tuanya mengalami langsung kejadian kelam dimana Depok saat itu dicekam perampokan dan pembunuhan.
"Saya coba menggali dari beberapa orang, tetapi semua tampaknya enggan mengenang peristiwa buruk itu. Orang tua saya pun menghindari berbicara tentang itu. Seperti masih trauma". kata Yano, kelahiran Bandung tahun 1951.