Mohon tunggu...
Diekdock
Diekdock Mohon Tunggu... -

Karyawan swasta pemilik blog ruangkita.co

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dalang Pembunuhan Itu Mantan Pejabat

4 Januari 2016   12:52 Diperbarui: 4 Januari 2016   12:52 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PRAAAANG..., suara pintu besi ditutup. Kemudian tak lama suara gembok dikunci. Dua polisi yang mengenakan seragam lengkap meninggalkan sebuah ruangan di ujung lorong kantor polisi Polres Kota Metro Baru. Salah satu di antara mereka menggenggam kunci-kunci gembok.

Ruangan itu, yang dikunci polisi tadi, berukuran 5x7 meter, dinding dari tembok cat warna kuningnya sudah mengelupas, lantai dari semen. Di atas lantai tanpa alas, lima pemuda baru saja dimasukkan pagi tadi. Mereka adalah Jhon, Amro, Tio, Nadi, dan Rudi. Iya, ruangan itu adalah sel tahanan.

Ruangan yang di bawah plafon dilengkapi jeruji besi itu nampak kusam karena lama tidak ditempati. Baunya pun agak pesing. Hanya satu kamar mandi, termasuk WC ukuran 1x1 meter. Ruangan itu  tampak sesak dihuni lima pemuda yang baru saja ditangkap polisi. Tak ada televisi. Sementara di samping ada ruang kecil untuk para petugas jaga.

“Hei, kamu dan kamu, ikut saya,” kata petugas berpakaian preman menunjuk Tio dan Rudi. Mereka berdua digiring keluar ruangan dengan  dikawal petugas berseragam menenteng senjata laras panjang. Mereka dibawa menyusuri lorong menuju sebuah ruangan.

Tio berperawakan pendek kekar dengan kulit sawo matang. Potongan rambutnya cepak. Sorot matanya tajam. Sedangkan Rudi berperawakan sedang. Rambutnya panjang sebahu diikat dengan karet gelang.

Di dalam sel tersisa tiga orang, Jhon, Nadi dan Amro. Jhon pemuda gondrong yang bertato di punggung hanya diam bersandar di dinding. Tampak ada bekas luka memar di pelipisnya. Celana jeans yang dia pakai pun tampak kotor.

Nadi pemuda kurus pun sama tampak lusuh. Ada bekas luka di lengannya, seperti tergores benda tajam. Sedangkan Amro badannya lebih gemuk dengan perawakan tinggi besar, kulitnya hitam serta rambunya keriting.

Mereka bertiga adalah kawan Tio dan Rudi. Ketiganya nampak lelah sehingga tak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Sesekali mereka mencoba memejamkan mata melepas lelah.

Tak lama kemudian terdengar percakapan di sebelah ruang sel itu. “Lubangnya hampir tidak cukup Ndan. Kami masukkan paksa saja. Tapi sudah kami semen atasnya,” kata salah seorang petugas yang terdengar dari balik tahanan. Ketiga pemuda yang hampir ngantuk itu terjaga mendengar suara dari luar. Mereka kemudian serius menguping percakapan di ruang sebelah.

“Kurang bersih ngepelnya itu. Masih banyak ceceran di lantai,” suara pria lainnya yang nampak baru masuk ke ruangan.

“Iya bang nanti saya bersihkan lagi. Tadi kami seret saja,” kata petugas yang sebelumnya melapor soal lubang tadi.

“Perintah Ndan, berikutnya bagaimana,” kata pria yang baru masuk ruangan.

“Sama seperti sebelumnya, kalau tetap sama ya selesaikan saja. Eh katanya pelurumu habis, minta ke logistik,” kata pria yang dipanggil komandan itu. Pria itu adalah perwira, komandan di satuan yang ada di kantor polisi itu. Dia menerima laporan tugas anak buahnya dan kemudian memberikan perintah dengan suaranya yang tegas.

Ketiga pemuda yang di dalam tahanan tampak gelisah setelah mendengar percakapan petugas itu. Berbagai dugaan mereka simpan dalam pikiran masing-masing. Ketiganya pun tampak masih saling diam, tenggelam dalam kecemasan yang tergambar dalam raut wajahnya.

Suara orang berjalan menuju sel tahanan makin dekat. “Siapa namanya Jhon. Ikut!” kata petugas di di pintu sel. Jhon bangkit saat petugas berseragam membukakan pintu. Jhon pun ikut dibawa dua petugas seperti dua rekannya sebelumnya. Dua teman Jhon yang tersisa di sel tampak berdiri memandang Jhon digiring melewati lorong.

Hampir 10 jam, Tio, Rudi dan Jhon tidak dibawa kembali ke sel. Hari sudah sore. Amro dan Nadi pun semakin gelisah dan cemas. Hanya mereka berdua yang ditinggal di sel.

Apalagi sebelumnya mereka mendengar percakapan ‘lubang penuh’ ‘disemen’ ‘ceceran’ ‘diseret’. Dalam pikiran kedua pemuda yang diduga terlibat kasus pembunuhan, itu pun menyimpulkan perkiraan-perkiraan yang terjadi pada tiga rekannya.

Nadi yang di antara lima pemuda itu tampak paling muda mulai berkeringat dingin. “Kemana mereka dibawa tadi. Kenapa tidak dikembalikan ke sini,” tanyanya kepada Amro.

“Ah tenang saja,” jawab Amro yang berusaha menyembunyikan kecemasannya, sama seperti Nadi. Amro kemudian membuka kaos polo berwarna birunya. Tampak berbagai macam tato digambarkan di tubuhnya yang berwarna gelap itu hingga nyaris tak jelas gambar apa semua di tubuh maupun lengannya itu.

12 jam sudah berlalu. Belum ada tanda-tanda tiga pemuda yang dibawa polisi keluar sel tadi dikembalikan ke ruang sel. Kemudian di ruang sebelah sel tampak orang masuk.

“Bagaimana Yan?” kata pria di ruangan itu sepertinya sedang menelepon. “Kalau batrei habis, pakai saja setrum listrik itu. Kalau sudah diselesaikan, nanti buang saja yang jauh,” tambah pria yang sejak awal dipanggil komandan itu memerintahkan anak buahnya via telepon.

Nadi yang mendengar ucapan itu semakin menggigil ketakutan. Dalam pikirannya apa yang dibicarakan petugas dari ruang sebelah adalah mengenai nasib rekannya. “Bagaimana nasib mereka kok tidak balik-balik ke sini. Sebentar lagi giliran kita,” katanya lagi ke Amro.

“Seandainya saja aku menolak ajakanmu. Uang tidak seberapa,” katanya. Entah apa maksudnya dia menyebut uang.

“Sudahlah, semua sudah terjadi, jangan banyak dipikir. Kita juga belum tahu apa yang terjadi dengan Jhon, Rudi dan Tio. Sekarang kamu bisa bilang menolak, kemarin kamu berharap. Uangnya juga sudah kamu pakai dengan cewek. Pokoknya kalau ditanya jangan mengaku!” tiba-tiba Amro marah menjawab ucapan Nadi.

Keduanya pun kembali diam larut dalam pikiran masing-masing. Nadi masih bertanya-tanya apa yang menimpa tiga rekannya. Dia berpikir saat ini tiga rekannya sudah ‘habis’ dan dia menunggu giliran. Dia pun hanya pasrah dan tetap diam.

Sementara di luar sel sudah tampak sunyi. Sebagian besar polisi di kantor itu sudah pulang. Hanya beberapa polisi jaga yang terdengar suaranya dari sel.

“Siap Ndan 86,” kata perwira yang berada di ruangan sebelah tampak menerima telepon dari komandannya. Kemudian tak lama terdengar percakapan lagi, “Kami akan bersihkan, Ndan.”

Nadi kembali terbangun dan menguping apa saja yang dibicarakan di ruang sebelah. Sementara di ruang jaga tahanan, dua petugas jaga tampak memandang tajam ke arah sel yang tersisa dua tahanan. Suasana kembali sunyi dan hari semakin gelap.

Mungkin karena kelelahan, rasa ketakutan dan cemas mampu membuat Nadi mengantuk. Sementara Amro sudah tertidur pulas di pojok ruangan yang bau pesing itu.

Suasana tahanan itu memang sepi karena sel yang menampung lima pemuda itu memang sel khusus untuk para penjahat kelas berat.

Di ruangan lain, sebuah ruangan agak besar dan sejuk, tampak empat polisi berdiskusi. Ruangan yang di atas pintunya ada papan nama bertuliskan ‘Kasat Reskrim Komisaris Polisi Sarjana Sik’ itu pun tampak rapi.

Iya, di dalam ada Sarjana, sang Kepala Satuan Reserese dan Kriminal Polres Metro Baru, kemudian ada Ajun Komisaris Polisi Rahman Sik, Kepala Unit Buru Sergap Satuan Reserese dan Kriminal Polres Metro Baru. Kompol Sarjana ini yang dari tadi berada di ruang sebelah tahanan. Sementara dua pria lainnya adalah bintara, anggota buru sergap bernama Sofyan dan Teguh. Meskipun kedua bintara ini polisi, tapi penampilannya tidak seperti polisi.

Sofyan rambutnya gondrong dengan kumis dan jenggot lebat, sementara postur tubuhnya tinggi besar. Sedangkan Teguh yang sebelumnya menggiring Jhon, postur tubuhnya atletis dengan gaya rambut tipis samping kiri kanan seperti penampilan musisi.

“Kita press (tekan) yang kurus-kurus itu. Kalau strategi halus tidak bisa, sekali-kali keras tidak masalah. Ini kasus atensi pimpinan dan sudah terpublikasi luas. Tadi Kapolres baru saja telpon saya menanyakan perkembangan penyelidikan. Kita harus dapatkan pengakuan mereka dan siapa di balik kasus ini. Nanti saya yang bertanggungjawab,” kata Sarjana kepada tiga anak buahnya.

“Siap,” kata mereka bertiga serempak. Malam pun makin larut.

Tepat pukul 23.00 waktu setempat, Rahman, Sofyan dan Teguh mendatangi sel. Tampak di dalam sel si Nadi duduk merenung, sementara Amro tidur pulas. “Nadi, ikut kami,” kata Rahman. Amro pun terbangun. Dia ditinggal sendirian, sementara Nadi digiring tiga polisi itu melewati lorong ruangan.

Mereka berempat tiba di dalam ruangan pemeriksaan. Ruangan itu berukuran 4x4 meter. Ada sofa yang usang, meja, beberapa kursi dan berkas yang menumpuk di lemari berkas. Nadi dipersilahkan duduk.

Wajah Nadi tampak pucat karena tidak melihat ketiga rekannya yang sebelumnya diambil petugas dari sel. Dia berpikir, jika ketiga temannya diperiksa, kenapa tidak ada di ruangan itu, begitu juga kenapa tidak dibawa kembali ke sel.

“Ketiga temanmu nasibnya sama karena tidak mau cerita siapa yang menyuruh kalian mengeroyok Roshan. Kalian dapat duit kan? Saya dengar kamu yang mengajak teman-temanmu,” kata Rahman membuka pemeriksaan.

Nadi diam ketakutan. Dia juga tidak beraani langsung menjawab. Dia ingat perkataan Amro. Namun, dia juga tidak mau bernasib sama seperti tiga temannya yang belum diketahui kejelasannya. Dia hanya menunduk. Suasana sunyi.

“Hai, kamu bisu? atau tuli?. Jawab pertanyaan tadi,” bentak Teguh sambil menggebrak meja. Nadi pun kaget bukan kepalang dan semakin takut. Teguh mendekatkan kepalanya ke wajah Nadi sambil melotot. Suasana berubah saat Rahman menerima telepon.

“Siap Ndan, ini lagi riksa (memeriksa) satu tsk (tersangka). Siap. Siap. Mohon izin ndan, jika tidak dapat keterangan, kami akan selesaikan di sini,” kata Rahman di ujung telepon seluler. “Siap Ndan, 86,” dia menutup telepon.

Rahman mendekat ke Nadi. Belum terucap pertanyaan, Nadi sudah mulai buka mulut. Wajahnya tampak semakin pucat.

“Ampun Pak, bukan saya yang mengajak mereka. Saya hanya diajak Amro dan dikasih uang sejuta. Uangnya habis buat mabuk kemarin malam. Kata Amro uang itu dari Jhon Pak. Sungguh Pak saya tidak bohong. Jangan bunuh saya Pak,” ujar Nadi tampak bergetar.

Nadi pun menceritakan kronologi kejadiannya. Malam itu, saat dia nongkrong di kawasan parkiran pasar, dia didatangi Amro. Di situ Amro mengajak Nadi ikut. “Kamu ikut saya. Ada pekerjaan. Nanti ada uangnya sejuta. Kamu bawa parangmu,” ajak Amro.

Tanpa banyak tanya, Nadi pun pergi mengambil parang dan menyimpannya di jok motor. Nadi dan Amro pun berboncengan menemui Jhon. Nadi dan Amro sudah lama berteman. Mereka tidak punya pekerjaan tetap. Sehari-hari menarik parkir di pasar. Keduanya sudah sering diajak Jhon menjaga lahan sengketa.

Keduanya pun sampai di depan sebuah tempat hiburan malam. Di sana, di tempat parkir, Jhon sudah menunggu bersama Rudi dan Tio. Mereka tampak menenggak minuman keras. Nadi dan Amro pun bergabung pesta minuman keras. Di situ, Jhon memaparkan rencana mereka sambil menunjukkan segepok uang. “Ini nanti dibagi kalau pekerjaaan sudah rampung,” kata Jhon kepada empat rekannya.

Tepat pukul 02.00 dini hari, mereka berlima mengendarai dua motor menuju sebuah hotel yang letaknya jauh dari perkotaan. Hotel itu berada di pinggir jalan raya tapi masuk ke dalam melewati jalan khusus yang dibangun pengelola hotel. Sekitar 50 meter dari jalan raya. Hotel itu meskipun bukan bintang lima, tapi selalu ramai pengunjung, khususnya yang transit chek in bersama pasangan, atau bukan pasangan sumi istri.

Mereka duduk di simpang tiga, di depan jalan masuk menuju hotel. Sejam kemudian, dia melihat seseorang keluar dari jalan mengendarai motor sport 250 CC. Mereka pun cepat-cepat mengikuti dan mengejarnya. 

Tepat di jalan yang sepi, Jhon dan kawan-kawan mencegat pengendara motor tadi. Jhon turun dan menanyakan nama pengendara motor tadi. “Roshan?” tanyanya dengan ketus.

“Iya, kenapa?” kata lelaki berbadan tegap itu. Pengendara motor itu adalah Roshan, anggota polisi lalu lintas di Polres Metro Baru. Dia tak gentar dicegat lima pria.

Tiba-tiba Jhon langsung menghujamkan parang ke badan Roshan. Saat Roshan terjatuh, keeempat rekan Jhon pun ikut menghajar menggunakan balok serta senjata tajam.  Roshan pun terkapar bersimbah darah. Jhon dan kawan-kawan pun kabur tepat menjelang Subuh.

“Saya tiga kali membacok Pak. Setelah melihat dia tak bergerak, saya tidak membacok lagi. Kemudian Jhon mengajak kami pergi. Saya tidak tahu kalau korban itu polisi. Jhon hanya cerita kalau dia punya masalah dengan orang itu dan dia ditantang berkelahi dengan korban,” kata Nadi di depan Rahman, Teguh dan Sofyan.

“Kamu tidak diberitahu siapa yang menyuruh Jhon setelah diberi uang pembagian?” tanya Teguh.

“Enggak Pak. Saya juga tidak sempat tanya karena kami karaoke dan mabuk setelah pembagian uang sampai saya ditangkap dan dibawa ke sini,” jawan Nadi.

“Kamu yakin itu uangnya Jhon? Tidak ada orang lain lagi yang menyuruh? Jujur jawab kalau tidak mau kami selesaikan,” tanya Rahman.

“Demi Tuhan Pak, apa yang saya ceritakan apa adanya,” jawab Nadi.

Rahman keluar ruangan. Nadi ditinggal dengan penjagaan Sofyan dan Teguh. Dia masuk ke ruangan lain. Rupanya di ruangan itu ada Jhon yang diikat tanganya di kursi besi. Di situ ada satu anggota polisi lain berpakaian preman.

“Siap Ndan. Masih bungkam,” kata Joe, polisi yang bertugas mengiterogasi Jhon.

Rahman mendekati Jhon yang sudah lemas dengan kepala tertunduk duduk di kursi dengan tangan dan kaki terikat. “Bos, temanmu sudah cerita semuanya. Tapi mereka semua sudah kami kirim ke neraka. Sekarang tinggal kamu, mau katakan siapa yang menyuruh atau menyusul ke neraka,” kata Rahman sambil menaikkan kepala Jhon dengan cara menjambak rambutnya.

“Ini tinggal kamu sendiri. Oh iya,  teman-teman korban malam ini berkumpul, dia mau menculik keluargamu. Saya masih bisa menahan mereka. Tapi kalau sampai jam 12 ini kamu diam, saya tidak bisa menahan kemarahan mereka,” tambah Rahman.

“Ampun Pak, jangan diapa-apakan keluarga saya. Ampun Pak,” kata Jhon memelas.

Joe menyiapkan rekaman. “Iya Pak saya yang mengajak teman-teman mengeroyok Pak Roshan. Saya yang membagi uangnya. Saya hanya disuruh Pak Abdul. Dia sakit hati dengan korban karena mengganggu pacarnya di karaoke (ladies). Dia pernah mengingatkan korban tapi malah ditantang dan dipermalukan di depan orang banyak,” ujar Jhon terbata-bata.

“Dia memberi saya uang 10 juta,” tambah Jhon.

Keterangan Jhon yang sudah direkam pun dianggap cukup. Rahman lega akhirnya bisa mendapat pengakuan siapa dalang di balik kejadian itu.

Tepat jam 11 malam, semua tersangka, Jhon, Nadi, Tio dan Rudi dikumpulkan kembali ke ruang tahanan. Saat satu per satu digiring ke sel, mereka semua kaget. Awalnya Nadi berpikir ketiga rekannya itu, yakni Jhon, Tio dan Rudi sudah dibunuh oleh polisi. Begitu juga dengan Jhon dan lainnya, juga berpikiran sama. Rupanya itu hanya jabakan polisi.

Mereka pun kembali berkumpul di sel dan saling diam seribu bahasa. Mereka hanya menunggu proses hukum selanjutnya.

Sementara itu, setelah mendapat keterangan dari Jhon, malam itu juga para polisi itu dipimpin Sarjana langsung menjemput Abdul. Menggunakan satu mobil, mereka bergerak menuju rumah Abdul di kawasan perumahan elit. Abdul adalah pengusaha yang juga mantan anggota DPRD. Tak sulit mencari rumahnya karena banyak dikenal orang.

Setelah berhasil menciduk Abdul, si dalang pembunuhan seorang anggota polisi, Sarjana melapor ke Kapolres. Esok paginya, Kapolres merilis ke wartawan melalui jumpa pers terkait pengungkapan kasus pembunuhan yang menghebohkan Kota Metro Baru itu. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun