PUNGUTAN dana ketahanan energi bakal menjadi pro kontra di tengah masyarakat. Pasalnya, langsung atau tidak langsung, dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat, semua kalangan. Bedanya kalau kalangan yang kecukupan akan tanggapi biasa saja karena mereka 'punya', tapi bagi kalangan yang tidak kecukupan karena mereka 'tidak punya', hal seperti ini dianggap serius.
Seperti Marto, sarjana yang nasibnya tidak sama seperti para sarjana lain yang bekerja di kantoran, menjadi PNS atau karyawan perusahaan. Dia sarjana yang nasibnya sama seperti sarjana lain yang tidak bekerja di kantoran, bahkan masih pengangguran (itu kalau kita berasumsi sarjana harus bekerja di kantoran). Dia menanggapinya tentu beda dengan seorang manajer perusahaan terkait rencana Kementerian ESDM tersebut.
Marto sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek dengan motor 'laki' yang sudah usang sebelum lunas kreditnya. Meski tukang ojek, dia tidak seperti tukang ojek yang lain, tergabung dalam tekno-jek (saya menyebutnya begitu) atau ojek online. Dia mandiri mencari penumpang secara konvensional.
Beberapa hari terakhir ini dia mengeluhkan kebijakan pemerintah yang dulu mencabut subsidi BBM sehingga mengakibatkan harga bensin untuk motornya naik. Dia makin mengeluh terkait rencana pemerintah menarik pungutan Rp300-Rp500 per liter dengan dalih untuk dana ketahanan energi. Dia mengumpat-ngumpat saat bertemu sama saya.
"Bagaimana sih pemerintah ini mas, subsidi sudah dicabut, masih dipungut biaya lagi. Masa kita sebagai rakyat kecil yang harus bayar iuran untuk kepentingan program pemerintah. Saya ini sudah susah, pendapatan tidak seberapa tapi biaya untuk bekerja saja harus tinggi," katanya dengan nada tinggi.
Marto ini dulunya bekerja di sektor pertambangan di Kaltim. Namun karena harga batu bara anjlok, perusahaanya tutup. Dia dirumahkan, meskipun entah sampai kapan. Uang yang didapat dari perusahaan sudah dibelikan mobil pick up bekas untuk usaha dagang sembako keliling. Tapi usahanya mandeg. Mobil terjual. Modal habis.
Untung dia masih punya motor untuk ngojek. Sempat berpikir melamar bekerja di kantoran tapi usianya yang di atas 40 tahun tidak ada yang menerima. Sehari-hari untuk menghidupi istri dan tiga anaknya yang masih sekolah dia mencari penumpang ojek. Mangkalnya di depan pasar yang dulunya pasar tradisional tapi sekarang dimoderenkan, dicampur atau satu kawasan dengan mall.
Bagi Marto, kebijakan memungut biaya di setiap pembelian BBM dan dibebankan ke pembeli adalah kebijakan yang keliru. Salah alamat. Bentuk keputusasaan pemerintah untuk mendapatkan sumber pendapatan negara.
Rakyat yang seharusnya menikmati hasil sumber daya alam yang dikelola negara, justru harus membayar mahal. BBM menurut Marto adalah hasil sumber daya alam negara ini yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan diolah untuk kemakmuran rakyatnya. Seperti halnya listrik, jalan dan air. Diperlukan campur tangan negara agar rakyatnya bisa menikmati, bisa menjadi makmur.
Lha ini campur tangannya pemerintah justru membebani rakyat sendiri. Aneh, kata Marto dan kata saya juga.
Saya hanya diam mendengarkan omongan Marto, yang benar-benar dari dalam hati. Dia adalah rakyat yang merasakan langsung segala kondisi akibat kebijakan pemerintah. Terlalu serius dia membahas soal rencana pemerintah itu, seserius dia harus bertahan hidup, menghidupi keluarganya. Dia tidak anggap hal ini main-main karena soal hidup.
Saya berkelakar untuk menghibur dengan mangatakan, wajar saja kondisinya seperti ini karena namanya saja pemerintah, bukan pelayan. Mereka itu orang-orang yang memerintah rakyat. Meskipun seharusnya mereka dipilih untuk melayani rakyat. Tapi kita sedari awal sudah tau dan kita sadar memilih orang untuk memerintah kita, bukan memilih pelayan yang melayani kita. Jangan-jangan rakyat di sini hanya dijadikan subjek, dijadikan sebagai pelakon dari skenario mereka-mereka yang sebenarnya kita sendiri yang memilihnya.
Bagaimana tidak, lha wong minyak dibor dari bumi kita sendiri tapi harus bayar mahal. Jalan yang membentang di tanah negeri sendiri kita harus bayar jika melewatinya, listrik tarifnya diberlakukan seperti mekanisme pasar, air pun kita harus bayar mahal.
Justru mereka yang dari luar negeri ke negara kita membolongi setiap bumi diberikan kemudahan bekerja, diberikan keleluasaan mencari keuntungan sendiri. Mereka sedot minyak, gas dan keruk mineralnya, kemudian diolah dan dijual lagi ke kita. Begitu juga dengan jalan dan listrik. Mereka mendapat keuntungan yang besar dari kegiatan itu. Sementara kita?
Kemana pemerintah? Bukannya hal-hal seperti itu yang mengolah negara untuk kepentingan rakyat. Marto menanyakan ke saya. Pemerintah jelas ada. Kalau tidak ada pemerintah mana mungkin orang asing itu bebas mengebor minyak kita, membangun jalan tol dan menentukan tarifnya, membangun pembangkit listrik.
Pemerintah ini sebagai palang pintu yang mempersilahkan mereka masuk dengan segala perangkat undang-undang yang mereka buat sendiri. Alasannya yang diberikan pemerintah enteng, "lha wong bangsa kita belum sanggup mengelola sendiri."
Pemerintah juga punya perusahaan besar, punya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tapi ngakunya selalu rugi. Lha kalau rugi kenapa malah mengajukan uang untuk penyertaan modal terus dari APBN?. Bisa bikin negara ini bangkrut. Itu logika saya sebagai rakyat kecil yang hitung-hitungan statistiknya kurang tajam. Meskipun sebenarnya saya sendiri tidak paham, apakah benar rugi atau seperti apa kondisi sebenarnya.
Yang jelas setahu saya, gaji karyawan di BUMN migas itu sangat tinggi. Jauh di atas rata-rata gaji buruh yang tiap tahun harus 'berkelahi' minta kenaikan standar upah minimumnya. Fasilitas mereka juga memadahi. Rumah nyaman huni dan mobil. Kalau mereka rugi, masa iya masih mampu memberikan gaji tinggi dan fasilitas yang mumpuni.
"Kalau gaji mereka (karyawan BUMN) tinggi berarti bukan rugi tapi karena banyak yang dikeluarkan di operasional dan gaji. Saya ini bodoh tapi juga sama seperti sampean mas, ngerti gaji mereka, fasilitas mereka," sahut Marto yang rupanya sepemikiran dengan saya.
Jika pemerintah mau mengadakan program dana ketahanan energi, seharusnya dengan keahlian personelnya, mampu merumuskan cara mendapatkan anggaran itu bukan dengan memungut iuran dari masyarakat. Pencabutan subsidi BBM serta mengaplikasikan mekanismenya sesuai pasar itu saja sudah berdampak besar kepada kehidupan rakyat. Lha sekarang malah dipungut biaya. Entahlah!
Soal harga BBM yang mengikuti harga minyak dunia saja sepenuhnya tidak diterapkan dengan benar. Buktinya saat harga minyak dunia turun, harga BBM kita tidak bergerak turun. Masih saja bertengger sombong di atas seperti sejak awal dinaikkan ketika subsidi dicabut.
Ini baru satu Marto dan saya yang merasakan langsung dampak dari setiap kebijakan pemerintah (bukan pelayan). Masih banyak Marto lainnya yang juga punya pemikiran sama. Bahkan mungkin jutaan yang kalah beruntung dibandingkan dengan Marto.
Akibat kebijakan ini, Marto tidak bisa berbuat apa-apa, selain ikut menaikkan tarif ojeknya. Dia pun seolah masa bodoh apa kata pelangganya, sebagaimana pemerintah yang tidak mau tahu meskipun sejuta Marto mengumpat.
Tapi, jika pun program ini tetap dijalankan pada Januari nanti, pemerintah harus menjamin transparansi dana hasil pemungutan itu. Anggaran untuk ketahanan energi ini mudah dihitung dan dipertanggungjawabkan apabila bersumber dari APBN. Namun akan berbeda jika bersumber dari pungutan langsung karena tidak bisa dipatok pelanggan BBM ini per hari membeli berapa liter.
Marto hanya berharap, jika pemerintah tidak bisa merubah keberuntungan rakyatnya, jangan malah membuat sengsara. Dan, jika pemerintah tidak bisa menyubsidi BBM, mbok ya jangan malah dipungut iuran. Silakan hitung-hitungan logika pemerintah dimainkan, asal jangan membebani rakyat yang sudah makin susah.
Orang sejenis Marto ini tidak banyak menggunakan logika, tapi perasaan. Jangan sesekali memainkan perasaan mereka. Selamat Tahun Baru 2016. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H