Saya berkelakar untuk menghibur dengan mangatakan, wajar saja kondisinya seperti ini karena namanya saja pemerintah, bukan pelayan. Mereka itu orang-orang yang memerintah rakyat. Meskipun seharusnya mereka dipilih untuk melayani rakyat. Tapi kita sedari awal sudah tau dan kita sadar memilih orang untuk memerintah kita, bukan memilih pelayan yang melayani kita. Jangan-jangan rakyat di sini hanya dijadikan subjek, dijadikan sebagai pelakon dari skenario mereka-mereka yang sebenarnya kita sendiri yang memilihnya.
Bagaimana tidak, lha wong minyak dibor dari bumi kita sendiri tapi harus bayar mahal. Jalan yang membentang di tanah negeri sendiri kita harus bayar jika melewatinya, listrik tarifnya diberlakukan seperti mekanisme pasar, air pun kita harus bayar mahal.
Justru mereka yang dari luar negeri ke negara kita membolongi setiap bumi diberikan kemudahan bekerja, diberikan keleluasaan mencari keuntungan sendiri. Mereka sedot minyak, gas dan keruk mineralnya, kemudian diolah dan dijual lagi ke kita. Begitu juga dengan jalan dan listrik. Mereka mendapat keuntungan yang besar dari kegiatan itu. Sementara kita?
Kemana pemerintah? Bukannya hal-hal seperti itu yang mengolah negara untuk kepentingan rakyat. Marto menanyakan ke saya. Pemerintah jelas ada. Kalau tidak ada pemerintah mana mungkin orang asing itu bebas mengebor minyak kita, membangun jalan tol dan menentukan tarifnya, membangun pembangkit listrik.
Pemerintah ini sebagai palang pintu yang mempersilahkan mereka masuk dengan segala perangkat undang-undang yang mereka buat sendiri. Alasannya yang diberikan pemerintah enteng, "lha wong bangsa kita belum sanggup mengelola sendiri."
Pemerintah juga punya perusahaan besar, punya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tapi ngakunya selalu rugi. Lha kalau rugi kenapa malah mengajukan uang untuk penyertaan modal terus dari APBN?. Bisa bikin negara ini bangkrut. Itu logika saya sebagai rakyat kecil yang hitung-hitungan statistiknya kurang tajam. Meskipun sebenarnya saya sendiri tidak paham, apakah benar rugi atau seperti apa kondisi sebenarnya.
Yang jelas setahu saya, gaji karyawan di BUMN migas itu sangat tinggi. Jauh di atas rata-rata gaji buruh yang tiap tahun harus 'berkelahi' minta kenaikan standar upah minimumnya. Fasilitas mereka juga memadahi. Rumah nyaman huni dan mobil. Kalau mereka rugi, masa iya masih mampu memberikan gaji tinggi dan fasilitas yang mumpuni.
"Kalau gaji mereka (karyawan BUMN) tinggi berarti bukan rugi tapi karena banyak yang dikeluarkan di operasional dan gaji. Saya ini bodoh tapi juga sama seperti sampean mas, ngerti gaji mereka, fasilitas mereka," sahut Marto yang rupanya sepemikiran dengan saya.
Jika pemerintah mau mengadakan program dana ketahanan energi, seharusnya dengan keahlian personelnya, mampu merumuskan cara mendapatkan anggaran itu bukan dengan memungut iuran dari masyarakat. Pencabutan subsidi BBM serta mengaplikasikan mekanismenya sesuai pasar itu saja sudah berdampak besar kepada kehidupan rakyat. Lha sekarang malah dipungut biaya. Entahlah!
Soal harga BBM yang mengikuti harga minyak dunia saja sepenuhnya tidak diterapkan dengan benar. Buktinya saat harga minyak dunia turun, harga BBM kita tidak bergerak turun. Masih saja bertengger sombong di atas seperti sejak awal dinaikkan ketika subsidi dicabut.
Ini baru satu Marto dan saya yang merasakan langsung dampak dari setiap kebijakan pemerintah (bukan pelayan). Masih banyak Marto lainnya yang juga punya pemikiran sama. Bahkan mungkin jutaan yang kalah beruntung dibandingkan dengan Marto.