Halte Bus
Kau tahu apa yang menarik dari hujan ? Menurutku hal yang paling menarik adalah suara yang diciptakannya ketika rintik perlahan mengecup daratan. Itu karunia yang Tuhan telah berikan pada manusia, karena pada dasarnya manusia sendiri sebagian besar terdiri atas air. Hujan adalah salah satu cara Tuhan memberikan kehidupan pada semesta ini, dari lautan yang luas lalu menguap hingga turunlah rintik air yang membasahi daratan bumi. Aku bukanlah seorang dosen geografi yang memberikan kuliah umumnya tentang proses terciptanya hujan. Lelaki tua ini hanyalah seorang veteran dari medan perang yang merindu pada sahabatnya.
Tidak kusangka waktu telah memakan usiaku jauh lebih cepat dari yang aku kira. Melihat sahabatku tewas di tangan sendiri adalah hal yang tak bisa kulupakan dalam hidupku. Walaupun pada akhirnya waktu akan berlalu seperti bus yang berangkat dari perhentiannya siang ini menuju halte selanjutnya. Mungkin Aku adalah penumpang dari waktu yang tak pernah turun dari bus nya dan selalu melihat setiap halte yang pernah kulalui. Pertanyaan yang sama selalu terlintas dalam pikiranku ketika hujan turun, apa hal yang menarik dari hujan. Hal itu yang kutanyakan pada sahabatku sebelum kami melangkah ke garis pertahanan musuh.
Rintik hujan membasahi daratan malam itu, namun suara ledakan ranjau menutupi suara hujan yang kusukai. Kami kehilangan banyak tentara, salah satunya adalah sahabatku yang tewas tertembak oleh musuh. Aku teringat dengan perkataannya sebelum ia tewas, yaitu sebuah janji yang telah kutepati pada hari ini. Di perhentian bus ini, aku melihat tunas muda yang kelak akan menjadi pohon yang kuat dan kokoh. Ia akan tegar dengan angin yang kencang serta tumbuh hingga masa tuanya tiba. Masa tuaku telah menjemputku sekarang, mungkin ini adalah perhentianku yang terakhir, tapi jika itu terjadi, aku pun tak khawatir untuk bertemu dengan sahabatku. Janjiku padanya telah kutepati, yaitu melihat generasi muda yang akan menjadi pilar pertahanan tanah yang kami cintai.
Kau tahu apa yang ada di pikiranku sekarang ? Aku akan turun di perhentian selanjutnya, menuju negeri antah berantah yang tak bertuan. Pada semesta langit yang sedang kupandang, aku titipkan padamu apa yang kami perjuangkan kemarin hingga saat ini.
Pesawat Terbang
Secara ilmiah, manusia disebut sebagai homo sapiens bukan sebagai aves. Ia dikaruniai oleh Tuhan dengan kemampuan berpikirnya untuk menalar situasi dan keadaan. Manusia tak pernah terbayang sebelumnya akan mencapai langit bagai burung yang terbang di angkasa. Sedangkan manusia tak memiliki sayap yang memungkinkan dirinya untuk dapat terbang. Itulah mengapa Tuhan sangat baik kepada manusia, hingga manusia dapat berpikir menciptakan sebuah teknologi bernama pesawat terbang.
Sungguh aneh cara kerja perasaan manusia itu. Antara perasaan dengan pikiran terkadang tak sejalan. Sebagai contohnya seperti manusia yang satu ini, terdorong dengan perasaannya yang membuncah akan kesenangan saat mencapai angkasa, ia melupakan prosedur keamanan bagi seorang pilot pesawat terbang. Mungkin dengan kecerdasan yang sedemikian rupa, seorang manusia sempat berpikir bahwa dengan ia terbang ke angkasa, ia telah mendekati tempat Tuhan berada. Hanyalah manusia yang berpikir seperti itu dengan kelebihan dan kekurangannya.
Angin menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mengapa teknologi ini mampu terbang ke angkasa. Modelnya yang aerodinamis memungkinkan pesawat untuk bergerak di lautan awan hingga dapat melihat daratan yang mengecil dari pandangan. Mungkin ketika manusia mencapai titik ini, ia akan mulai berpikir bahwa betapa kecilnya ia di semesta Tuhan. Ia tak lebih dari sekumpulan sel yang menyatu dan memiliki kehidupan. Sungguh Tuhan terlalu baik pada manusia.
Mengapa manusia bukan seperti malaikat yang mempunyai sayap ? Bukankah lebih sederhana jika manusia seperti itu tanpa harus mengubah besi yang dapat terbang ke angkasa. Merasa adalah hal yang istimewa yang Tuhan berikan juga pada manusia. Sebagai makhluk yang dapat merasa dan berpikir, manusia selalu dihadapkan oleh pilihan dalam hidupnya, memutus persoalan dengan logikanya yang terbatas serta menerjemah rasa yang tak terucap olehnya.
Pesawatku adalah sebuah angan yang akan terbang melintasi alam dan angkasa dengan sayapnya yang mengepak tegas. Membelah langit hingga ke ujung horizon dengan paruhnya dan meninggalkan jejak sebagai tanda pesawatku telah berhasil terbang menuju pelabuhannya. Aku adalah manusia, seorang pencipta pesawat terbang yang merasa kecil di tempat indah kepunyaan Tuhan yang kita sebut dengan dunia.
Perhentian yang Sama
Seorang pria tua paruh baya terlihat sedang mengamati pemandangan dari balik jendela kereta yang pula aku tumpangi saat ini. Ia termenung dengan tatapan penuh ganjil seolah pikirannya hilang dari pusat sarafnya. Jika kuperhatikan, ia sepertinya menyesal dengan apa yang telah ia lakukan di masa lalunya. Mungkin saja hanya pikiranku saja yang mengatakan seperti itu. Mentari tersipu malu pada hari itu, terkadang sekumpulan awan berlari diantara lapangnya angkasa yang biru bagai samudera. Tak lama kemudian terdengar suara masinis kereta dari speaker di kereta tersebut.
“Kepada para penumpang dimohon bersiap-siap. Pintu yang dibuka sebelah kanan dari arah datangnya kereta. Mohon diperiksa kembali barang bawaannya. Terima kasih.”
Aku pun tak ingat bagaimana aku bisa berada dalam kereta ini. Namun rasanya seperti hari biasanya ketika aku hendak berangkat ke kantor dan menjalani kegiatan yang tak berarti. Pria tua paruh baya itu sekarang terlihat agak lebih tenang dari sebelumnya. Pandangannya namun tetap waspada melihat keadaan di luar kereta. Ia memakai jas warna abu, aku pikir itu adalah jas kantor yang kebanyakan para pekerja kantor kenakan saat bertemu dengan client mereka di sebuah lobby hotel atau kedai kopi ternama, sekadar membicarakan bisnis dan kesepakatan mereka. Jas itu terlihat sedikit usang dan bergaya lama namun dapat kukatakan terawat dengan baik. Celana bahan yang ia kenakan seperti milik ayahku yang beberapa tahun lalu meninggalkan kami sekeluarga. Tidak selamanya kanker menjadi penyakit yang paling mematikan di kehidupan ini, bahkan hanya karena pembuluh darah yang tersumbat akibat penumpukan lemak dapat menjadi penyebab yang mengirimkan ayahku ke alam yang lain. Bukan karena keinginannya juga ia pergi dengan cara seperti itu, bukan aku dan adikku atau pula almarhumah ibuku, namun Tuhan yang telah meriwayatkannya seperti itu.
Sepatu pantovel yang ia pakai dikedua kakinya itu, mengingatkanku dengan pemberian ayah pada ulang tahunku yang ke-24, tahun ketika aku mendapatkan gelar sarjana teknik di akhir masa studiku selama 4 tahun lamanya. Warna hitamnya seperti baru saja disemir oleh para petugas pabrik sepatu, mengkilap bagai kaca. Dasi kerja yang terpasang diantara kerah kemejanya seperti dasi yang kulihat bersama dengan almarhumah istriku setahun yang lalu, menurutnya aku terlihat seperti kakaknya yang telah menikah dengan teman baiknya. Tak lama setelah itu, ia dan kakaknya tewas terbakar di rumah sakit tempat ia bekerja, meninggalkan aku dengan buah hati kami, Alex.
Namun dari semua hal yang kuperhatikan saat ini, pria tua paruh baya itu adalah hal yang paling aneh yang aku perhatikan. Ketika melihatnya, ia selalu mengingatkanku pada orang yang kusayangi dan meninggalkanku dengan semua kesedihan ini, padahal aku tak pernah mengenal pria tua itu. Seakan ada sensasi yang akrab dan familiar hanya dengan melihatnya duduk tak jauh dari tempatku berada. Kereta ini juga tak terlihat asing bagiku, seperti kereta yang kutumpangi setelah pulang dari pemakaman Alex tadi siang. Tiga puluh gram metil dioksi metamfetamin tidak menjadikan seseorang lebih sehat ketika ia meminumnya bahkan menjadi candu karenanya. Alex memang sudah lama menjadi pecandu narkotika, mungkin karena tekanan hidupnya yang tak tertahankan lagi, akibat kehilangan ibunya dan pria malang sepertiku yang menjadi ayahnya. Hanya saja andai aku cepat berpikir untuk memalsukan kematianku sebelum ia menjadi seorang pecandu, mungkin ia telah mendapatkan uang asuransiku yang banyak tertanam dan tak perlu merisaukan dengan kebutuhan finansialnya. Tapi semuanya sudah berlalu, itulah mengapa kupikir ini adalah perhentian terakhir untukku. Perhentian yang sama dengan pria tua itu, yang telah menyambut kematiannya dengan damai. Akhirnya aku tersadar, Ia adalah kenanganku, kenangan manis bersama dengan orang-orang yang kusayangi, mungkin ia sedih melihat diriku yang sekarang. Namun hidupku di alam sebelumnya telah tiada dan sekarang kulangkahkan pula kakiku untuk keluar menuju stasiun terakhir ini. Jika sebuah kesempatan diberikan padaku, aku takkan menyia-nyiakannya untuk terus berjuang dan bertahan, karena hidup adalah anugerah dari Tuhan dan pada akhirnya manusia kembali pada perhentian yang sama, kembali kepada Tuhan.
“Kepada para penumpang diingatkan untuk berhati-hati ketika melangkah dan memperhatikan barang bawaannya. Pintu akan dibuka.”
-end-
