Mohon tunggu...
Sandiego Himawan
Sandiego Himawan Mohon Tunggu... -

ein Student in Medizintechnik und biomedizinischer Wissentschaftler

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tiga Cerita Pendek

8 Februari 2016   01:00 Diperbarui: 8 Februari 2016   01:17 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Perhentian yang Sama

Seorang pria tua paruh baya terlihat sedang mengamati pemandangan dari balik jendela kereta yang pula aku tumpangi saat ini. Ia termenung dengan tatapan penuh ganjil seolah pikirannya hilang dari pusat sarafnya. Jika kuperhatikan, ia sepertinya menyesal dengan apa yang telah ia lakukan di masa lalunya. Mungkin saja hanya pikiranku saja yang mengatakan seperti itu. Mentari tersipu malu pada hari itu, terkadang sekumpulan awan berlari diantara lapangnya angkasa yang biru bagai samudera. Tak lama kemudian terdengar suara masinis kereta dari speaker di kereta tersebut.

“Kepada para penumpang dimohon bersiap-siap. Pintu yang dibuka sebelah kanan dari arah datangnya kereta. Mohon diperiksa kembali barang bawaannya. Terima kasih.”

Aku pun tak ingat bagaimana aku bisa berada dalam kereta ini. Namun rasanya seperti hari biasanya ketika aku hendak berangkat ke kantor dan menjalani kegiatan yang tak berarti. Pria tua paruh baya itu sekarang terlihat agak lebih tenang dari sebelumnya. Pandangannya namun tetap waspada melihat keadaan di luar kereta. Ia memakai jas warna abu, aku pikir itu adalah jas kantor yang kebanyakan para pekerja kantor kenakan saat bertemu dengan client mereka di sebuah lobby hotel atau kedai kopi ternama, sekadar membicarakan bisnis dan kesepakatan mereka. Jas itu terlihat sedikit usang dan bergaya lama namun dapat kukatakan terawat dengan baik. Celana bahan yang ia kenakan seperti milik ayahku yang beberapa tahun lalu meninggalkan kami sekeluarga. Tidak selamanya kanker menjadi penyakit yang paling mematikan di kehidupan ini, bahkan hanya karena pembuluh darah yang tersumbat akibat penumpukan lemak dapat menjadi penyebab yang mengirimkan ayahku ke alam yang lain. Bukan karena keinginannya juga ia pergi dengan cara seperti itu, bukan aku dan adikku atau pula almarhumah ibuku, namun Tuhan yang telah meriwayatkannya seperti itu.

Sepatu pantovel yang ia pakai dikedua kakinya itu, mengingatkanku dengan pemberian ayah pada ulang tahunku yang ke-24, tahun ketika aku mendapatkan gelar sarjana teknik di akhir masa studiku selama 4 tahun lamanya. Warna hitamnya seperti baru saja disemir oleh para petugas pabrik sepatu, mengkilap bagai kaca. Dasi kerja yang terpasang diantara kerah kemejanya seperti dasi yang kulihat bersama dengan almarhumah istriku setahun yang lalu, menurutnya aku terlihat seperti kakaknya yang telah menikah dengan teman baiknya. Tak lama setelah itu, ia dan kakaknya tewas terbakar di rumah sakit tempat ia bekerja, meninggalkan aku dengan buah hati kami, Alex.


Namun dari semua hal yang kuperhatikan saat ini, pria tua paruh baya itu adalah hal yang paling aneh yang aku perhatikan. Ketika melihatnya, ia selalu mengingatkanku pada orang yang kusayangi dan meninggalkanku dengan semua kesedihan ini, padahal aku tak pernah mengenal pria tua itu. Seakan ada sensasi yang akrab dan familiar hanya dengan melihatnya duduk tak jauh dari tempatku berada. Kereta ini juga tak terlihat asing bagiku, seperti kereta yang kutumpangi setelah pulang dari pemakaman Alex tadi siang. Tiga puluh gram metil dioksi metamfetamin tidak menjadikan seseorang lebih sehat ketika ia meminumnya bahkan menjadi candu karenanya. Alex memang sudah lama menjadi pecandu narkotika, mungkin karena tekanan hidupnya yang tak tertahankan lagi, akibat kehilangan ibunya dan pria malang sepertiku yang menjadi ayahnya. Hanya saja andai aku cepat berpikir untuk memalsukan kematianku sebelum ia menjadi seorang pecandu, mungkin ia telah mendapatkan uang asuransiku yang banyak tertanam dan tak perlu merisaukan dengan kebutuhan finansialnya. Tapi semuanya sudah berlalu, itulah mengapa kupikir ini adalah perhentian terakhir untukku. Perhentian yang sama dengan pria tua itu, yang telah menyambut kematiannya dengan damai. Akhirnya aku tersadar, Ia adalah kenanganku, kenangan manis bersama dengan orang-orang yang kusayangi, mungkin ia sedih melihat diriku yang sekarang. Namun hidupku di alam sebelumnya telah tiada dan sekarang kulangkahkan pula kakiku untuk keluar menuju stasiun terakhir ini. Jika sebuah kesempatan diberikan padaku, aku takkan menyia-nyiakannya untuk terus berjuang dan bertahan, karena hidup adalah anugerah dari Tuhan dan pada akhirnya manusia kembali pada perhentian yang sama, kembali kepada Tuhan.

“Kepada para penumpang diingatkan untuk berhati-hati ketika melangkah dan memperhatikan barang bawaannya. Pintu akan dibuka.”

-end-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun