300 Halaman/Detik
Oleh : Sandiego Himawan
Chapter 1 : Buku, Cahaya dan Masa Lalu
Dua anak kecil bermain dengan riang di ruang tamu yang sederhana namun penuh dengan rak-rak buku. Ketika kita memperhatikan lebih dekat lagi, ada banyak macam buku yang dapat ditemukan di tiap-tiap raknya. Mulai dari buku anak-anak, seperti buku menggambar dan dongeng, buku masak dari berbagai negara, hingga novel misteri yang tersusun rapih tak jauh dari jurnal ilmiah. Dari balik jendela yang terdapat di ruang tamu tersebut, terlihat salju yang turun perlahan menutupi halaman rumah. Malam musim dingin tahun 2030 kala itu. Anak pertama, Edgar, yang berumur 8 tahun bermain-main bersama dengan adiknya, Emily. Mereka berdua hanya berselisih setahun. Sang adik hampir selalu menjadi korban kejahilan kakaknya yang terkadang kelewat nakal. Tak lama kemudian, Emily sambil terisak datang ke ibunya yang sedang mencuci piring di dapur.
“Kamu kenapa ? Ko nangis begitu ? Kakak nakal ya sama kamu ?”
“Iyaaaaa, kakak rese banget !! masa' aku lagi main-main terus dianya gangguin aku”
“Digangguinnya gimana ?”
Tiba-tiba, Edgar menghampiri mereka sambil membawa mainan Emily.
“Aku ga ngerusakin ko mainannya, bener dehhh, dia Ma yang rese, aku cuman pengen tau gimana cara kerjanyaaa, aku balikin deh nih”, Edgar dengan polosnya mengembalikan mainan Emily yang sudah setengah rusak.
“Ah mainankuuuuuu !! Kak Edgarrrrrr aaaahh ...”, Emily sekarang nangis tak karuan.
“Nikola Edgar Prabangkara ! Udah berapa kali mama bilang sama kamu, jangan ngerusakin mainannya adik kamu lagi. Pa, siniii, Edgar bikin ulah lagi sama adiknya ..”, Sang ibu memanggil suaminya yang sedang seru membaca sebuah buku di dekat perapian.
“Ada apa sih, Sayang ?”
“Bilangin sama Edgar tuh biar ga gangguin adiknya lagi, sama mamanya ga mau denger.”
“Tapi Pa , aku ga ngerusakin mainannya diaaa, aku cuman penasaran aja.”, timpal Edgar.
“Gar... denger kata mama kamu”, ucap ayahnya dengan tenang dan simple.
“Tapi Paa...”
“Ga ada tapi-tapian, sini sama Papa, Emily juga.. Papa mau cerita sesuatu sama kalian.”
“Cerita ?! Yeaaaayyyyyy, Emily pengen denger cerita Papaaa”, Emily terlihat ceria seketika.
“Duh, bakal lama deh... Cerita apa sih Pa ?”, Edgar sepertinya sudah cukup bosan mendengar cerita dari ayahnya, karena sejak kecil ia selalu mendapat cerita pengantar tidur yang menurut dia cukup tidak masuk akal dan aneh.
Sang Ayah menggendong mereka sampai ke tempat tidur yang ada di lantai dua rumah itu. Tempat tidur Edgar dan Emily berada dalam satu ruangan dan masing-masing tempat tidurnya terletak dekat satu sama lain. Malam itu cukup dingin walaupun sudah memakai penghangat di dalam ruangan mereka. Dekat dengan saklar kamar tersebut terdapat termometer ruangan yang menunjukkan skala suhu 10 derajat celcius. Mereka berdua diselimuti oleh ayahnya dengan selimut tebal dari wol. Lampu di kamar mereka sengaja di redupkan oleh ayahnya. Tiba-tiba, sang ibu masuk ke kamar mereka membawa sebuah buku yang diminta oleh suaminya sebelum ke kamar atas.
“Pa, mau cerita apa sih ? Ko tumben kaya gini ?”, tanya Edgar yang penasaran.
“Ih diem deh, papa belom mulai juga udah berisik aja”, timpal Emily.
“Udah-udah, hahaha, kalian ini sama aja. Sebelum Papa cerita, kalian tau ga arti nama kalian ?”
“Engga, Emang ada artinya, Pa ?”, tanya Emily.
“Ada laah, kalo kamu artinya gadis kecil yang suka cengeng”, Edgar kembali berulah.
“Maaa, Kak Edgar nyebelinnn !”
“Edgar ! Jangan jahilin adik kamu lagi deh.”, Ibu mereka duduk di samping suaminya.
“Dorothea Emily Sakwari. Nikola Edgar Prabangkara. Papa sama Mama kasih nama buat kalian itu ada artinya.”, Ayah mereka menatap lembut penuh arti dan dalam ke kedua mata anaknya.
“Pa, ini bukunya..”, Pria tua yang terlihat muda itu menerima buku yang dibawakan istrinya.
“Terima kasih, Sayang …”, ia menarik nafasnya setelah menerima buku itu, “Malam ini kita akan bertualang melalui buku ini. Cerita yang akan Papa sampaikan berdasarkan buku yang Papa pegang sekarang. Kalian siap ?”
“Papa jangan bikin penasaran deh, cerita aja susah amat daritadi.”, pinta Edgar.
“Bentar Paaa, aku mau tau dulu arti nama kitaaa”, tanya Emily.
“Mmm.. Papa kasih taunya nanti aja ya di akhir cerita, hehehe”
“Ih, penasaran Paa, ya udah deh cerita aja dulu..”,Emily menatap wajah ayahnya penuh sayang.
“Okay, Papa mulai yaa..”, ia membuka buku tua tersebut. Sampul buku itu memang rapih dan terlihat awet namun warnanya sedikit kusam dan pudar, mungkin termakan oleh waktu yang cukup lama. Buku tersebut tak berjudul hanya terlindungi oleh sampulnya yang berwarna merah marun. Tanpa nama penulis di sampulnya pula seperti kebanyakan buku yang ada. Isi Buku tersebut terhitung sebanyak 300 halaman dengan kertas berwarna putih kecoklatan dan ditulis dengan tinta hitam yang tergores oleh pena tua. Dari kumpulan kertas inilah, semua cerita kan berawal.
Halaman 1
Hari itu tanggal 9 November 2021 dan seperti hari biasanya di laboratorium percepatan partikel terbesar di dunia, CERN atau Conseil Européene pour la Recherche Nucléaire. Organisasi Eropa untuk riset nuklir yang terletak di perbatasan antara Perancis dan Swiss tersebut menjadi sebuah tempat kerja impian bagi seorang fisikawan muda bernama, Benedict Adhidrawa, yang biasa disapa oleh teman-temannya Ben. Musim Gugur saat itu, sinar mentari menghangatkan cuaca yang dingin dipadu dengan angin yang berhembus kencang. Disela-sela kesibukannya di laboratorium CERN, Ben mempunyai kegiatan lain sebagai mahasiswa muda yang sedang menyelesaikan disertasi S3-nya di Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule (RWTH) Aachen dengan pemfokusan ilmunya terhadap Fisika Energi Tinggi atau Fisika Partikel. Ketika ia sedang menganalisis sebuah partikel di laboratoriumnya, ia dapat tidak tidur berhari-hari hingga ia merasa lelah dan tertidur di meja kerjanya. Hari ini sepertinya kita beruntung, ia tertidur pulas di meja kerjanya hingga menjatuhkan pena kesayangannya yang bertuliskan, “Pena Angkatan Ikatan Alumni Mahasiswa ITB tahun 2019”.Pena tersebut dipungut kembali oleh seorang pria berjas putih laboratorium sambil membangunkan Ben.
“Ben.. Ben.. Mas Bro, bangun … udah jam 23:00 nih, 1 jam lagi lab mau tutup.”, pinta pria itu.
“Hhh.. bentar lagi Zha... masih ngantuk nih... cewek nya mana cakep lagi.”
“Makanya nikah ! udah mau S3 juga masih jomblo. Jangan Muon sama Neutrino mulu yang dipikirin. Udah bro bangun.. entar didatengin sama Herr Dieter loh.”, di jas lab putih pria itu tersemat sebuah nama : Rheza Balin Rizqiaputra, ia adalah sahabat, peneliti dan partner kerja Ben di CERN dan RWTH Aachen. Mereka berdua adalah generasi muda kebanggaan bangsa sebagai Peneliti CERN yang hanya berasal dari Indonesia.
“Duh, jangan sampe deh, dia lebih merepotkan ketimbang Muon dan Neutrino. Tolong ambilin jas tebal gue Zha yang ada di deket papan tulis sana.”, Ben langsung terbangun dari tidurnya dan segera merapikan kertas-kertas yang berisikan teori dan analisisnya, memasukan ke dalam tas kerjanya yang mulai rusak dan mencuci mukanya.
“Ben, Akhir pekan ini lo ada acara ga ?”
“Hmm, belom tau juga sih, gue mau masuk lab lagi nih, masih banyak yang harus dianalisis. Hari ini aja gue ga tau bisa ngantuk kaya gini. Kenapa Zha ?”
“Ya wajarlah lo ngantuk ! lo belom tidur 3 hari dari kemaren Senin. Gue akuin emang seru sih semenjak kita masuk lab sini, tapi lo harus perhatiin tuh kondisi badan lo.”
“Hahaha, rasa penasaran gue sama ilmu pengetahuan mengalahkan rasa ngantuk gue Zha. Ilmu pengetahuan itu berkembang seperti alam semesta yang memuai. Dan kita sebagai peneliti berkewajiban untuk mengungkap perkembangan semua itu. Semua pasti ada maksudnya Zha, kalo kata Einstein, 'Tuhan itu tidak bermain dadu'.”
“Tapi lo punya kewajiban juga buat merhatiin kondisi kesehatan lo.”
“Iyaa Zha, iyaa... Gue tau ko limit gue, Hahaha. Oh ya, Sabtu ini emang ada apaan ?”
“Lo inget pas kita ambil kelas Matematika Analysis ? lo ngerjain limit barisan udah kaya' ga ada limitnya aja. Belajaaaar mulu, Hahaha. Tadinya gue mau ngajak lo kenalan sama Tunangan gue. Kita mau dinner di Le Pavillon des Boulevards. Gue cerita tentang lo ke dia dan katanya dia mau ketemu sama lo.”
“Ah, masa lalu itu Zha, hahaha. Oh gitu, lo cerita apaan emangnya ? Jangan yang aneh-aneh.”
“Makanya dateng biar gue kagak cerita yang aneh-aneh, hahaha”
“Hahaha, Kok ngancem jadinya ? Ya udah gue usahain dateng deh.”
Mereka berdua tertawa bersama dan keluar dari laboratorium tersebut. Malam itu cukup sepi namun tidak menjadi masalah bagi mereka yang terbiasa pulang malam. Beberapa minggu yang lalu, Rheza telah bertunangan dengan kekasihnya, seorang gadis asal Bandung yang sedang menimba ilmu di Perancis. Mereka berencana menikah tiga bulan lagi.
Ben dan Rheza telah menjadi sahabat semenjak mereka mengemban pendidikan di Institut Teknologi Bandung. Saat itu mereka berdua mempunyai keinginan untuk melanjutkan studi mereka ke Jerman, negeri impian para insinyur dan ilmuwan untuk menimba ilmu. Tuhan pun mengabulkan keinginan mereka. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 nya dari FMIPA ITB, mereka langsung melanjutkan S2 nya ke Technische Universität Berlin dengan jurusan Physikalische Ingenieurwissenschaft dan berhasil mendapatkan gelar Master of Science hanya dalam 3 Semester. Selanjutnya mereka mencoba untuk memulai kariernya sebagai peneliti di laboratorium CERN. Bagi Rheza, sahabatnya itu sangat menyukai bidangnya dengan cara yang unik, walaupun kadang menyusahkan dirinya dengan berbagai kebiasaan aneh, seperti menyetel Simfoni ke-5 dari Beethoven di waktu pagi buta atau melakukan meditasi tiap jam 2 pagi dengan menaruh kertas teori-teorinya diatas kepala. Sedangkan Rheza bagi Ben sudah menjadi seorang kakak dan keluarganya sendiri, atau tanpa ia sadari terkadang Rheza menjadi seperti perawat di rumah sakit jiwa yang mengurus dirinya. Kemampuan Ben dalam menganalisis sesuatu sangat konkret hingga ke detail sekecil apapun. Tak jarang Rheza menjadi korban analisis tak penting dari sahabatnya itu, dari menebak apa yang ia makan tadi pagi hingga ke mana saja ia pergi hari itu. Berkat kemampuan uniknya itu, orang-orang di sekitarnya menganggapnya sebagai Analis Eksentrik namun demikian berbagai analisis yang ia buat hampir semua terbukti dalam dunia Fisika dan ilmu alam.
Halaman 2
Ben melangkah perlahan menuju tempat parkiran mobilnya meninggalkan jejak kaki di atas salju putih yang turun pada hari itu. Ia bergegas menuju sebuah sektor di LHC (Large Hadron Collider), sebuah instrument dan kompleks pemercepat partikel berenergi tinggi terbesar di dunia dan berfungsi untuk menabrakkan dua buah pancaran partikel proton dengan energi kinetis yang sangat besar. Lampu jalanan saat itu tidaklah memadai karena terjadinya pemutusan aliran listrik sementara di beberapa sektor untuk memaksimalkan daya di LHC.
“Ben, lo lagi dimana ? Gue udah di control room nih.”, Rheza menelpon Ben yang sedang menyalakan mobil VW Käfer -nya.
“Iya nih, gue lagi mau kesana bentar lagi. Jangan mulai tanpa gue !”
“Iyaa.. iyaa.. schneller, bitte (tolong cepetan) ! Gue tunggu.”
“Okeee, tschüss (dah) !”
Jum'at minggu itu Ben dan Rheza ingin menguji analisisnya terhadap impuls yang terjadi saat dua partikel proton bertabrakan dengan daya energi dalam LHC sebesar 14 Teraelectronvolt. Tak lupa pula ia telah menyiapkan jas hitamnya untuk dinner besok malam bersama sahabatnya. Tak lama setelah Ben memarkirkan mobilnya, terdengar bunyi ledakan dari sektor LHC yang akan ia kunjungi. Ia berlari menuju arah ledakan dan melihat kebakaran dari dalam sektor tersebut.
“ZHAAA !!! RHEZAAA !!! LO DIMANAA? JAWAB GUE KALO LO DENGER !!”, Ben berusaha mencari sahabatnya itu dan menolong orang yang masih bertahan akibat ledakan.
“RUN ,YOU FOOLS !! THIS PLACE IS GOING TO EXPLODE AGAIN !!”, teriak salah satu orang yang tengah berlari dari reruntuhan bangunan itu sambil menarik Ben yang masih mencari Rheza.
“BEN !!! GUE DISINI !! LO KELUAR DULU SANA !! GUE NANTI NYUSUL !!”, Suara Rheza terdengar dari kejauhan. Ia membawa tas kerja tuanya dan terlihat pincang di kakinya.
“ZHA !!! LARIII !!”, Ben ingin menyusul Rheza dan menolongnya namun ditahan oleh orang yang membawanya keluar. Beberapa waktu kemudian, ledakan kembali terjadi dan seluruh sektor tersebut runtuh seketika. Sebelum runtuhan tersebut mengenai Rheza, ia pasrah dan tersenyum kepada Ben seakan-akan ia ingin berkata,”Everything is gonna be alright”.
“....”, Ben terhenyuh lemas melihat temannya tewas tertimpa reruntuhan tersebut.
“RHEZAAAAAAAAAAAAAAAAAA !!!”
“...”
“...”
Halaman 3
Beberapa jam kemudian setelah peristiwa itu, jasad Rheza ditemukan di balik reruntuhan bangunan. Jasadnya dibawa pulang ke tanah air dan dimakamkan di samping makam ayah dan ibunya. Silvy, tunangan Rheza yang datang ke pemakaman calon suaminya itu tak kuasa menahan air matanya.
Ben duduk termenung di belakang kerumunan orang yang datang pada pemakaman sahabatnya dan pergi meninggalkan tempat itu tak lama kemudian.
Ben memeriksa tas kerja Rheza yang dibawanya saat keluar dari reruntuhan tersebut. Ia mendapati sebuah buku tak berjudul hanya bersampulkan merah marun dan terlihat masih baru. Buku itu masih kosong, belum pernah diisi dengan tulisan. Ben menemukan sebuah amplop kecil di dalam buku itu. Ia membuka amplopnya dan menemukan kartu ucapan selamat ulang tahun dari Rheza untuknya. Malam dimana peristiwa itu terjadi ternyata bertepatan dengan hari ulang tahun Ben. Dalam kartu tersebut, Rheza mengatakan bahwa buku tersebut adalah hadiah ulang tahun darinya. Ben menatap baik-baik buku itu dan menggenggamnya dengan erat. Selain buku tersebut, ia menemukan beberapa carik kertas berisikan teori-teori Rheza terhadap penelitian mereka. Ia membacanya secara teliti dan mengecek balik dengan teori yang ia susun. Ternyata hasilnya berbeda. Namun setelah Ben mengujinya di laboratorium Fisika ITB, ia menemukan sesuatu yang ganjil pada teorinya sedangkan teori yang disusun Rheza lebih menjawab persoalan pada penelitian mereka.
Dua minggu kemudian, ia pergi ke LHC untuk menguji kembali teori Rheza. Walaupun lelah dan masih merasa sedih atas kematian sahabatnya namun ia tetap berusaha mengedepankan logika berpikirnya. Tiga hari sudah berlalu, kini ia ingin mengujinya secara langsung di laboratorium Fisika LHC. Dengan menghamburkan beberapa partikel proton dan membiarkannya bertabrakan pada suatu alat pemercepat partikel tersebut. Jika penelitian mereka berhasil maka mereka telah menemukan pemahaman baru dalam dunia fisika partikel. Ben menyalakan mesin tersebut dengan energi awal dalam sistem sebesar 10 Teraelektronvolt, sistem terlihat stabil pada lingkungan. Ia kemudian menaikkan energinya hingga ketingkatan 14 Teraelektronvolt. Namun setelah ia mengubah tingkatan energinya, ia menyadari ada kesalahan dalam penghitungan energi yang dibutuhkan dalam pengujian tersebut. Loncatan elektron terjadi seketika di ruangan Ben berada. Walaupun berusaha mengendalikan situasinya, Ben tidak dapat mematikan mesin tersebut karena energi yang dikeluarkan mengalami eskalasi secara tiba-tiba dan melindungi sistem untuk dimatikan. Dia mengambil buku peninggalan Rheza yang ia taruh di meja kerjanya dan meninggalkan tempat itu. Loncatan elektron yang tak menentu mengenai buku tersebut sebelum berhasil di ambil oleh Ben. Ia pun terkapar karena terkena paparan elektron sewaktu memegang buku tersebut. Sebelum ia pingsan, ia melihat seberkas cahaya.
Cahaya yang memaksanya mengingat pada peristiwa kematian sahabatnya itu.
“Ben.. Ben.. Mas Bro, bangun … udah jam 23:00 nih, 1 jam lagi lab mau tutup.”, terdengar suara pria samar-samar membangunkan Ben.
“Hhh.. Zhaa.. maafin gue.. gue salah itung ternyata.”, Ben masih setengah sadar saat itu.
“Salah itung gimana ? Udahlah besok-besok lagi deh, pulang dulu sekarang.”
“Iya , gue salah itung, teori lo bener zha.. gue aja yang salah itung.. untung gue ngecek teori lo setelah lo...”, Ben terdiam sejenak.
“Hmm, setelah gue ?”
“ZHA ! LO MASIH HIDUP ?!”, Ben baru tersadar, bahwa ia sedang mengobrol dengan Rheza.
“Ya, iyalah.. gue daritadi disini Ben. Jangan aneh-aneh deh. Lo tadi ketiduran selama 2 jam-an ada kali.”
“LO GA NGERTI ZHA ! LO ITU UDAH MATI !”, Ben pucat dan terlihat kaget.
“Mati ? Ahahaha, lucu banget Ben, lucu. Tapi ini udah malem, gue ga ada waktu buat bercanda lagi. Pulang yuk, gue laper pula.”
“ZHA, DENGER !”, Ben memegang bahu Rheza dan mendorongnya sampai ke dinding.
“Ben ! Lo kenapa sih ?”
“Oke.. tenang dulu..”
“Lo yang tenang itu Ben.”
“Iya, gue yang harus tenang. Gue harus tenang karena GUE BICARA SAMA ORANG MATI !”
“Maksud lo apa Ben ! Lo tenang dulu deh, jelasin sama gue.”
“TAPI INI GAK MASUK AKAL ZHA ! Okee, gue harus tenang, gue harus tenang..”
“Oke bentar ya, gue ambilin air minum dulu buat lo.”
“Bentar Zha... Gue mau nanya sesuatu sama lo.”
“Tanya apa ?”
“....”, Ben mengambil nafasnya dalam-dalam.
“Sekarang tanggal dan tahun berapa Zha ?”
“Lo lupa apa ? Padahal lo ga pernah lupa sama tanggal.”
“Udah jawab aja Zha.. Tanggal dan tahun berapa sekarang ?”
“9 November 2021... Kenapa Ben ?”
“....”
“....”
To Be Continued...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H