Mohon tunggu...
DiNie Az ZAhra
DiNie Az ZAhra Mohon Tunggu... -

Aku HanyaLah insan Biasa yg ingin Membangkitkan Semangat Tuk Terus Menyelami Hakikat HIdup..,,MEMBERIKAN INSPIRASI HIDUP..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Suatu Petang di Negeri Andalusia

7 April 2011   00:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:03 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabat….

Tahukah anda bahwa Islam pernah berjaya selama 800 tahun di bumi Andalus (Spanyol) ???.. Tahukah Bahwa Thariq Ibnu Ziad adalah seorang yang sangat berandil besar dalam pembebasan Andalus dari embarator kadzaliman orang orang kafir…???. Tahukah anda bahwa penyebab terusir dan terbunuhnya ratusan ribu kaum muslimin dari bumi Andalus dikarenakan berpalingnya Kaum Muslimin dari Agama mereka, tersebarnya kerusakan dari berbagai sudut kehidupan dan diperparah lagi oleh lemahnya generasi…??? Mungkin kisah ini tlah terlupakan atau mungkin tak lagi ingin di ingat, hanya saja… aku rasa engkau butuh untuk tahu tentang hal ini.. Agar rasa cemburu terhadap umat ini bangkit dan mendarah daging dalam diri kita, dan agar semangat juang itu menjadi seperti nafas hidup yang mangalir dalam darah kita….

  Tulisan dibawah ini adalah kiriman dari grup Himpunan pelajar Muslim dan saya hanya sekedar memberikan prolog saja. Selamat membaca…..

Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap banduan penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika algojo penjara itu melintas di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu boot keras milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. “Hai! Hentikan suara jelekmu! Hentikan!”, teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu’nya.

 

Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekedar cukup untuk satu orang. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib, tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata “Rabbi, wa ana ‘abduka”. Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah, wahai ustadz. Insya Allah tempatmu di syurga.”

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, algojo penjara itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai. “Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tau, aku tidak suka bahasa hinamu itu? Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan Bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan suara-suara yang seharusnya tidak didengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk agama kami.”

Mendengar “khutbah” itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap, “Sungguh, aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”

 

Sejurus saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika

itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah buku kecil. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat. “Berikan buku itu, hai lelaki dungu!”, bentak Roberto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun