Sebagai produk kerakyatan, tarling memang dinamis. Dekade 1980-an wabah Rhoma Irama dengan Soneta-nya benar-benar membuat seniman tarling berpaling padanya. Lagu-lagu pun mulai mendangdut.Â
Demikian pula panggung, dekorasi panggung, lampu panggung, busana penyanyi dan pemain. Bahkan model rambut penyanyi pria pun meniru gaya Rhoma.
Skenario pertunjukan berubah. Dalam sebuah grup seperti ada dua kelompok: tarling klasik dan dangdut berbahasa daerah. Tetapi satu hal yang positif yakni sejak saat itu lagu-lagu seperti berlahiran sangat banyak. Banyak sekali.
Sampai dekade 2000-an perubahan itu tampak pada alat musik yang hanya diringkas dalam satu organ saja. Fase inilah seperti 'migrasi bunyi dari tarling ke satu organ'.
Â
Berikutnya, organ ditambahi dengan gitar, suling, dan kendang. Bahkan juga kemudian lengkap layaknya orkes melayu. Lalu, seperti inikah orang awam atau orang di luar menyebutnya tarling?
Konon, pada akhir dekade 2010 mulai ada kebosanan. Sehingga tuntutan adanya tembang klasik, drama humor, dan drama keluarga harus tetap ada. Konsekuensinya, grup tarling dangdut atau apapun namanya, harus menyediakannya, dikutip dari Supali Kasim 2020.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H