Siapa yang Peduli dengan Nasib Tenaga Honorer?

Hari ini Senin 20 November 2017 ribuan guru honorer dari tingkat SD, SLTP dan SLTA dari berbagai daerah di Indramayu Jawa Barat menggelar aksi unjuk rasa untuk menuntut SK (Surat Keputusan) dari Bupati Indramayu untuk diangkat menjadi tenaga honor daerah.

Mereka sebenarnya menuntut penghasilan yang layak sebagai seorang pendidik yang bertugas mendidik putra-putri harapan bangsa. Karena selama ini mereka hanya mendapatkan honor tidak lebih dari 500 ribu per bulan bahkan ada yang di bawah itu dan dibayar setiap dana BOS cair.

Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) pun tidak boleh lebih dari 15 % untuk membayar gaji honorer padahal kenyataannya jumlah tenaga honorer jumlahnya lebih banyak dengan guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau sekarang disebut ASN (Aparatur Sipil Negara).

Sebagai seorang yang pernah merasakan sebagai tenaga honorer, saya merasakan sendiri ketar-ketirnya mengatur keuangan. Beruntung saya mempunyai aktivitas sebagai seorang blogger yang bisa membantu perekonomian keluarga dari bayaran pay per post, pay per click dan lain-lain.

Bagi mereka yang murni hanya mengandalkan gaji dari honorer, tentu sangat tidak cukup untuk kelangsungan hidupnya bahkan hanya cukup untuk transportasi sehari-hari dari rumah ke sekolah bagi mereka yang menggunakan sepeda motor.   

Saat ini pemerintah pusat belum membuka lowongan CPNS untuk pendidik dan tenaga kependidikan dengan alasan anggaran dan belum validnya kebutuhan guru dan tenaga kependidikan di seluruh Indonesia.

Padahal sudah sejak tahun 2014 hingga sekarang belum ada pengangkatan lagi. Sementara guru yang sudah pensiun dan meninggal dunia dalam kurun waktu selama 3 tahun jumlahnya sudah ribuan orang dan belum ada penggantinya.

Di berbagai daerah, memang pengangkatan guru honorer atau tenaga kependidikan tidak melalui sistem seleksi melainkan melalui kedekatan dan kekerabatan. Sehingga pemerintah daerah dan pusat tidak tahu menahu akan hal tersebut.

Pihak sekolah sendiri berdalih, dengan guru yang jumlahnya tidak seimbang antara guru dengan siswa maka salah satu caranya adalah dengan merekrut tenaga pendidik dan kependidikan honorer dari lingkungan terdekat dengan sekolah.

Polemik ini semakin hari semakin berlarut-larut karena tenaga honorer menuntut gaji sesuai dengan UMK (Upah Minimal Kabupaten). Sedangkan pemerintah daerah sendiri belum bisa memenuhi tuntutan tersebut karena anggarannya tidak mencukupi.

Komentar dari warganet (Facebook Arya Tio)

Untuk itu harus dicarikan solusi terbaik untuk tenaga honorer tidak hanya berkomentar negatif di media sosial terhadap guru honorer dengan kata-kata "Tinggal berhenti saja dan mencari pekerjaan lain", atau "Siapa suruh jadi pegawai honorer, kamu sendiri yang milih harus siap dengan resikonya, harus punya komitmen jangan cuma mengeluh, mending dagang cilok atuh".

Menurut pemikiran saya, sebenarnya ada beberapa solusi untuk mengatasi masalah guru honorer ini :

Pertama, Pendataan Ulang. Dinas Pendidikan setempat harus mendata ulang guru honorer terutama yang masuk kategori 2 dan juga mengkalkulasi kebutuhan guru di setiap sekolah. Jika ditemukan ada sekolah yang memiliki jumlah guru lebih banyak dari kebutuhannya maka harus ada perampingan dan dipindahkan ke sekolah yang masih kekurangan guru.

Kedua, Pengiriman Data Terverifikasi. Jika data tersebut sudah valid dan terverifikasi maka data tersebut dilaporkan ke pemerintah pusat untuk ditindaklanjuti dengan perekrutan tenaga guru sesuai dengan anggaran pemerintah pusat dan daerah.

Ketiga, Komitmen Tenaga Honorer. komitmen dari para guru honorer untuk disiplin dalam mengajar, dan mengajar dengan jumlah jam yang setara dengan guru PNS. Jika tidak ada komitmen itu maka sebaiknya guru tersebut diminta untuk mengundurkan diri.

Keempat, Upah yang Layak. Pihak sekolah mengusahakan memberikan gaji yang layak kepada guru honorer sesuai dengan UMK (Upah Minimum Kabupaten) agar mereka bisa hidup layak dan mengajar dengan semangat.

Kelima, Tunjangan Daerah. Pemerintah daerah memberikan tunjangan daerah untuk tenaga honorer yang sudah terverifikasi atau sudah masuk kategori 2 sesuai dengan anggaran dan kemampuan daerahnya masing-masing.  

Keenam, Tidak Ada Perekrutan Honorer Baru. Pemerintah harus mengeluarkan aturan kepada SKPD atau instansi pemerintah untuk tidak mengangkat tenaga honorer baru dengan cara asal masuk atau kolusi dan nepotisme. Karena dampaknya semakin banyak tenaga honorer yang ikut-ikutan menuntut untuk diangkat dan menjadi beban pemerintah.   

Ketujuh, Sistem tes yang transparan. Pada saat merekrut ASN baru baik dari tenaga honorer maupun umum, pemerintah harus transparan dan terbuka sehingga akan mempersempit tindakan kolusi dan nepotisme seperti yang sudah dilakukan sekarang dengan sistem CAT (Computer Assisted Test). Sehingga pemerintah dapat menghasilkan tenaga-tenaga yang profesional dan berkualitas di bidangnya masing-masing.

Kedelapan, Pemberian pelatihan kewirausahaan.  Bagi Tenaga Honorer yang masih muda, atau mereka yang baru beberapa tahun menjadi tenaga honorer sebaiknya diberikan pelatihan ketrampilan tentang kewirausahaan agar mereka bisa hidup mandiri dengan ketrampilan yang dimilikinya tidak terlalu mengandalkan untuk diangkat menjadi tenaga ASN atau Aparatur Sipil Negara. Kalau pun pemerintah akan menghapuskan tenaga honorer yang masih muda atau baru maka mereka bisa menjadi pengusaha di daerahnya masing-masing sesuai dengan ketrampilan yang dimilikinya.

Mudah-mudahan pemikiran ini menjadi solusi terbaik bagi pemerintah, wakil rakyat dan seluruh tenaga honorer di Indonesia. Mereka sudah lelah dengan janji-janji manis para pemimpin dan wakil rakyat hanya untuk menyenangkan pada saat ada maunya. Mereka butuh kehidupan yang layak untuk kehidupan mereka bersama keluarganya.